Brilio.net - Jalanan penuh tanjakan, turunan, dan berkelok-kelok jadi satu-satunya akses menuju ke Kampung Pitu. Apalagi kalau kondisi cuaca sedang hujan, jalan akan jadi berlumpur dan sangat licin. Sepanjang jalan menuju kampung ini terasa begitu sunyi, mungkin hanya bisa sesekali bertemu dengan penduduk setempat. Namun senyum ramah tamah dari wajah mereka selalu terlihat senang ketika ada orang asing datang.

Meskipun perjalanan terasa ekstrem, namun jalan sunyi itu kini sudah bisa dilalui dengan baik. Kamu bisa mencapai puncak Kampung Pitu dengan kendaraan roda dua atau empat. Sayangnya penerangan belum terlihat sama sekali di sepanjang jalan itu. Kampung Pitu merupakan kampung yang berada di atas Gunung Api Purba Nglanggeran, Pathuk, Gunung Kidul.

Kampung yang berada di atas gunung api purba itu tak hanya terkenal karena pesona alamnya. Di kampung itu ada keunikan tersendiri yang mungkin tidak akan bisa kamu jumpai di tempat lain. Seperti julukannya, kampung itu hanya boleh dihuni oleh 7 KK alias pitu atau tujuh kepala keluarga. Karena itu kampung di atas gunung api purba tersebut dijuluki 'Kampung Pitu'.

Kampung Pitu Nglanggeran © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Ivanovich Aldino



Konon katanya, jika dihuni lebih dari tujuh KK, maka salah satu keluarga akan pergi dengan sendirinya. Entah karena tidak betah dan memilih pergi, atau pergi untuk selamanya dari dunia atau meninggal. Sedangkan jika jumlah KK-nya kurang, secara otomatis akan terisi dengan sendirinya.

Menurut catatan dari berbagai sumber, nama asli kampung itu pada awalnya adalah Tlogo Goyangan. Sebelum kamu mencapai puncak dari Kampung Pitu, kamu akan melihat sebuah jalan yang tertuliskan Tlogo Goyangan. Kini setelah sekian lama, entah sudah berapa ratusan tahun lalu kampung itu disebut Kampung Pitu.

Redjo Dimulyo, juru kunci Kampung Pitu menuturkan, dirinya sudah tinggal di kampung tersebut sejak 1917 silam. Terhitung sudah lebih dari 100 tahun ia jadi warga Kampung Pitu. Hingga kini, simbah yang berusia satu abad itu masih terlihat segar.

"Lahir kulo wonten mriki (saya lahir di sini)," kata Redjo saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu.

Kampung Pitu Nglanggeran © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Ivanovich Aldino



Sebagai juru kunci, ia dengan fasih menjelaskan segala hal tentang tanah kelahirannya tersebut. Menurutnya, terjadinya 'Kampung Pitu' sudah tercipta sedemikian rupa oleh Tuhan.

"Dados mriki niki pun dicipto kaleh kang Maha Kuasa, mboten liya daerah mboten keno. Niki muk sak turun, pitu niku (Jadi di sini itu sudah diciptakan oleh Tuhan, tidak bisa dihuni beda daerah. Ini hanya keturunan, tujuh itu)," jelasnya.

--

Mitos Kampung Pitu Nglanggeran

Seberapa pun banyaknya warga punya anak atau keturunan, Kampung Pitu tetap hanya boleh dihuni tujuh KK. Sudah pernah lima kali terjadi dihuni lebih dari tujuh KK. Salah satunya ada kisah anggota keluarga meninggal semua karena tetap memaksa tinggal di situ, meski di kampung tersebut sudah berjumlah 7 KK.

"Pun enten sek kedadean. Kulo ngendikani wong seje daerah ajeng manggon mriki, kulo elekke mboten keno. Lemah niku lemahe negara, ajeng melu manggon. Neng riki niki mboten keno pun docipto kalean kang Maha Kuasa. Pun manggon mriku. Setengah sasi, batehe papat rampung kok. Mati rampunge niku, mboten urip (Sudah pernah ada kejadian. Saya bilang tidak bisa pada orang beda daerah yang ingin tinggal di sini. Tanah itu milik negara, jadi (dia) mau ikut tinggal. Setelah tinggal di situ, setengah bulan, keluarganya berjumlah empat orang meninggal semua)," tegasnya.

Kendati beberapa kali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan itu, bukan berarti Kampung Pitu tidak bisa dihuni banyak orang. Menurut Redjo, kampungnya mampu menerima hingga seribu orang, apabila mereka mau masuk jadi keluarga atau KK salah satu penghuni asli.

"Ujug-ujug masuk angin, pun langsung mati (tiba-tiba masuk angin, langsung meninggal)," pungkasnya.

Kampung Pitu Nglanggeran © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Syamsu Dhuha



Redjo sendiri memiliki jumlah anak 16 orang. Namun karena hanya dapat menampung 7 KK, ia pun meminta ke-15 anaknya untuk keluar dari kampung. Dia tinggal bersama anak paling kecil, yang suatu saat akan ia jadikan penerus juru kunci berikutnya.

Ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh penduduk asli, yakni melakukan 'aksara empat dan aksara lima'. Ketika ia meninggalkan aksara tersebut, kemungkinan besar ia akan tiada. Sayangnya ketika disinggung apa maksud dari aksara tersebut, Redjo mengatakan kalau itu sebuah rahasia dan ada unsur syarat tersendiri jika ingin diketahui orang lain.

Berat bagi orang luar yang punya keinginan untuk tinggal di Kampung Pitu. Orang yang sudah boleh tinggal di situ adalah mereka yang sudah mendapatkan 'wahyu'. Percaya atau tidak, seperti itulah yang terjadi. Masyarakat asli harus senantiasa menjalankan kejujuran, langgeng, dan melestarikan kampung. Misalnya tidak boleh marah-marah kepada keluarganya. Kendati demikian, selama ini kehidupan warga tetap berkecukupan. Gunung Kidul yang dikenal sering susah air, justru persediaan air tetap melimpah ruah di Kampung Pitu.

Kampung Pitu Nglanggeran © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Ivanovich Aldino



Ada sebuah sumur yang dianggap keramat. Sumur tersebut disebut-sebut punya karunia tersendiri. Nama sumur tersebut adalah Telogo Guyangan, nama awal Kampung Pitu. Di dalamnya terdapat Air Suci Purwitosari, tapak tilas bidadari.

"Larangan nek umpomo manggon teng mriku, nek mboten purun lungo nggih niku wau. Sing digusah nyawane, ragane ditinggal (larangan kalau tidak boleh tinggal di situ, kalau tidak mau ya tadi itu. Yang diusir nyawanya, tubuhnya ditinggal)," tutur Redjo.

--

Penjelasan Ketua RT Kampung Pitu Nglanggeran

Dedy Setyawan, selaku ketua RT Kampung Pitu turut berujar. Dirinya termasuk orang baru di kampung itu. Selama enam tahun, awal mula masuk sampai saat ini sudah punya keluarga sendiri, namun ia masih ikut KK mertua. Hingga kini Kampung Pitu hanya dihuni satu RT, yaitu RT 19 RW 04, Pedukuhan Nglanggeran Wetan, Nglanggeran Patuk, Gunung Kidul.

Menurut Dedy, cikal bakal adanya Kampung Pitu berasal dari seorang eyang bernama Eyang Iro Kromo. Eyang itu adalah orang yang pertama kali tinggal di situ.

"Eyang mengetahui di sini ada sebuah pohon, namanya Kinah Gadungwulung. Dari pihak keraton, siapa yang bisa menjaga pohon tersebut, akan diberi lahan untuk anak cucunya kelak, " jelas Dedy.

Kampung Pitu Nglanggeran © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Ivanovich Aldino



Dari 31 jumlah orang, kini tersisa 23 saja. Hal itu lantaran ada beberapa orang lulus sekolah, kemudian memilih merantau. Dari ketujuh KK itu, tidak ada yang pernah kepikiran untuk pindah.

"Nggak ada kepikiran seperti itu (pindah). Soalnya rumah di sini juga udah turun dari temurun. Ibaratnya tunggu tabon. Udah beberapa generasi rumahnya sini," ujar Dedy.

KK di kampung ini berarti KK yang tertulis dan ada juga yang tidak. Ibarat kata, satu rumah dihuni satu keluarga. Sama halnya dengan apa yang dirasakan Dedy saat ini. Dia masih ikut atau mendompleng KK mertua. Ketika kepala keluarga kelak meninggal dunia, secara otomatis digantikan langsung (menurun) ke anaknya.