Brilio.net - Di tengah pandemi Covid-19 di hampir seluruh negara di dunia, masih tampak kereta komuter di Tokyo yang masih beroperasi dengan jumlah penumpang yang cukup padat. Beberapa perusahaan di Tokyo, Jepang pun bertindak seolah-olah sedang tidak ada yang terjadi di negaranya dan tidak melakukan pengubahan peraturan di perusahaannya saat wabah virus corona.

Dilansir brilio.net dari washingtonpost pada Senin (6/4), masyarakat Tokyo memang masih melakukan aktivitas di luar rumah, seperti bekerja di kantor seperti biasanya.

Sebabnya di sana ada budaya kerja yang menuntut interaksi tetap muka yang konstan. Sebagian untuk menunjukkan rasa hormat pada orang lain.

Karyawan biasanya dinilai berdasarkan jumlah jam kerja daripada output yang mereka hasilkan di perusahaan. Karena pada perusahaan di Jepang, para manajer tidak dapat mempercayai hasil kerja karyawannya jika dikerjakan dari rumah dan banyak perusahaan yang tidak siap untuk melakukan work from home.

"Bos saya mengatakan dengan jelas dan keras, 'Jika saya mengizinkan kalian pulang, kamu mungkin tidak akan fokus pada pekerjaan. Siapa yang tahu? Kamu bahkan minum saat menyelesaikan perkejaan di rumah',", kata seorang pegawai bank investasi yang tidak mau menyebutkan namanya, ketika diwawancarai Washington Post.

Sementara itu, klien sudah tidak ingin melakukan pertemuan tatap muka lagi saat pandemi Covid-19. Namun, tetap saja atasan dari pegawai tersebut mengharuskan karyawannya untuk tetap berada di kantor untuk menerima panggilan telepon dari klien atau nasabah, hanya untuk menunjukkan rasa hormat kepada mereka.

"Sikap seperti itu merupakan suatu kebanggaan di Jepang," ujar karyawan tersebut.

Budaya kerja yang unik dan kaku telah membuat negara Jepang berada di antara negara yang paling tidak siap melakukan realitas kerja jarak jauh atau kerja dari rumah pada saat wabah virus corona.

Agar adil, beberapa perusahaan telah memberlakukan telework atau work from home. Tetapi, banyak juga yang tidak membuat kebijakan tersebut, karena kurangnya persiapan yang menjadi alasan besar sebuah perusahaan tidak melakukan work from home.

Salah seorang konsultan manajemen di Jepang, Rochelle Kopp, juga menganalisa alasan mengapa Perdana Menteri Shinzo Abe tidak menyatakan keadaan darurat dan memaksakan lockdown, meskipun baru-baru ini telah terjadi penyebaran infeksi virus corona.

Teknologi merupakan faktor penting, terlepas dari citra berteknologi tinggi di Jepang, namun hal tersebut tidak dapat diatur untuk melakukan pekerjaan dari rumah. Jepang mengibaratkan seperti halnya kelinci dalam cerita dongeng, terasa seperti negara yang melaju kencang ke masa depan dan kemudian pada tahun 1991, dan membiarkan semua orang mengambilnya.

Perusahaan Jepang mengaku sudah tertinggal oleh rekan-rekan perusahaan di Amerika dalam investasi teknologi. Selain itu di Jepang banyak yang masih terjebak 20 tahun di masa lalu dengan software lama dan sedikit kesadaran alat konferensi video.

Departemen teknologi Jepang sangat paranoid dalam melindungi kekayaan intelektual dan informasi rahasia dari klien, sehingga memungkinkan karyawan untuk mengakses sistem kerja hanya dengan melalui komputer kantor.

Banyak karyawan bahkan tidak memiliki laptop dan jaringan internet di rumah untuk bekerja. Bahkan jika mereka melakukannya, banyak yang akan dipaksa untuk bekerja di meja ruang makan di apartemen Tokyo yang sempit.

Jepang merupakan negara dengan bisnis yang masih mengirim fax dan dokumen yang harus dicap dengan stempel atau hanko yang dicelupkan ke dalam tinta. Bahkan orang yang bekerja dari rumah harus pergi ke kantor untuk mendapatkan cap dokumen dari seorang manajer perusahaan.

Sekolah juga telah ditutup, namun memiliki sedikit ketentuan untuk pembelajaran online. Karena adanya budaya perusahaan Jepang di masa lalu dengan tingkat diskriminasi yang tinggi terhadap perempuan, menjelaskan kenapa seorang pegawai harus mengenakan kemeja, dasi saat bekerja meski dari rumah.

Budaya kerja di Jepang didasarkan pada konsep yang dikenal sebagai ho-ren-sou, yang merupakan akronim untuk laporan informasi berkonsultasi. Daripada diberikan tugas-tugas tersendiri untuk melaksanakannya, karyawan justru diharapkan untuk selalu berkonsultasi dengan manajer di setiap pekerjaannya. Dan hal tersebut, menjadi sangat sulit ketika mereka tidak berada di lokasi yang sama jika melakukan work from home.

Deskripsi pekerjaan yang cenderung tidak jelas, membuat karyawan cenderung dihakimi di perusahaannya sendiri. Jika diberlakukan lockdown dan harus melakukan work from home, beberapa perusahaan siap namun beberapa lainnya akan beradaptasi. Namun perusahaan lain juga bisa saja menutup dan memberhentikan aktivitas pekerjaan di perusahaannya, dengan memaksa karyawannya cuti tanpa dibayar saat pandemi Covid-19.