Brilio.net - Windi, pelajar SMA di Jogja, baru saja keluar dari bioskop akhir pekan lalu.

Wajahnya tegang, dan teman-temannya menyebut tangan Windi sedingin es. "Tegang banget. Habis nonton Pengabdi Setan," katanya sembari membuka tutup botol air mineral yang dibelinya.

Bersama teman sekolahnya, Windi menyempatkan menonton film yang dibuat ulang oleh sutradara Joko Anwar. Windi bukan pencinta film horor sebenarnya, tetapi karena ajakan teman dan ramainya pembahasan film ini di media sosial membuatnya terhasut untuk menontonnya.

Pesan dari media sosial ternyata ampuh sebagai sarana memancing pasar milenial, yakni mereka yang ada di rentang umur 18-35 tahun, untuk mengonsumsi hiburan film Tanah Air.

Itu dilakukan Joko Anwar sendiri dalam mempromosikan film Pengabdi Setan. Melalui sarana Twitter dan Instagram, sutradara kelahiran Medan, 41 tahun silam ini, melakukan interaksi mayanya, yang mampu membuat mereka yang belum menonton semakin penasaran. Terlebih beberapa pancingan Joko Anwar terbilang berhasil. Warganet ada yang mengedit foto-foto, membuatkan meme pemeran tokoh Pengabdi Setan dst.

Seorang warganet dengan akun Twitter @Mayasitta sampai menuliskan, "Demam pengabdi setan sampai nama grup jadi gini wkwkwkwkw" disertai foto Ibu dengan nama grup WA "Ibu Minta Sisir".

Pengguna internet di Indonesia terbilang besar. Ini yang coba dimanfaatkan. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menyebut ada 132,2 juta pengguna di Tanah Air. Dan rentang usia 18-35 adalah pengguna terbesar. Angkanya hampir 60 %.

Apa yang dilakukan Joko Anwar dan Pengabdi Setan mencoba menguras pasar milenial sebenarnya sudah jauh hari dilakukan film-film dengan segmen yang coba menyasar pasar serupa.

Berawal dari Ada Apa dengan Cinta
Ada Apa dengan Cinta 2, misal. Memanfaatkan ketokohan Dian Sastro dan Nicholas Saputra, serta genre cinta yang mengundang rasa "terbawa perasan" atau baper membuat film ini mendapatkan 3,5 juta penonton. Film ini juga tercatat meraih sukses di Brunei Darussalam dan Malaysia.

Sebelumnya Ada Apa dengan Cinta (2002) disebut-sebut sebagai tonggak kelahiran kembali perfilm-an Tanah Air di industri modern.

Ada Apa © thejakartapost

foto: thejakartapost.

Kebiasaan menonton dengan tema-tema yang berdekatan dengan mereka rupanya memengaruhi para milenial dalam mengambil keputusan. Dan menonton adalah kebiasaan milenial yang dianggap masuk kategori memuaskan saat mereka membelanjakan uangnya.

Hasil penelitian terbaru dari Common Cents Lab, laboratorium penelitian finansial di Duke University, AS, menyebutkan, 60%-85% milenial tidak menyesal menghabiskan uangnya untuk komunitas lokalnya, perawatan kesehatan, seni dan hiburan, pendidikan, elektronik, kebutuhan sehari-hari, dst. Seni dan hiburan masuk peringkat keempat tingkat kepuasaan milenial dalam membelanjakan uangnya.

Pangsa ini juga yang coba dibidik sejumlah jaringan bioskop Tanah Air, salah satunya CGV. Jaringan bioskop dari Korea Selatan ini menyasar pasar anak muda sebagai basis pemasarannya.

Salah satunya yang tampak pada CGV di J-Walk Sahid, Jogjakarta. Saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu, Manager on Duty (MOD) CGV J-Walk Pandu mengatakan, konsep yang mereka usung memang untuk segmen anak muda. Itu pula yang membuat setting bioskop dibuat menyerupai semacam pabrik, dengan nuansa adanya semacam peti kemas dalam beberapa bagiannya.

Industri film © 2017 brilio.net

Kostum pegawai CGV J-Walk Jogja yang tidak biasa. (foto: Brilio.net/Sugeng Wahyudi)

Film yang diputar pun menyesuikan selera milenial. Biasanya tema horor, Indonesia atau lokal. "Di luar itu biasanya nggak laku," ujar Pandu.

Secara keseluruhan, pasar bioskop dinilai masih potensial. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) 2016, total layar bioskop mencapai 1.175 layar, meningkat 6% dari tahun sebelumnya.

Tetapi, rasio jumlah penduduk dengan jumlah layar bioskop masih timpang. Idealnya, menurut GPBSI, jumlah layar bioskop di Indonesia berkisar 9.000 hingga 15.000 layar.

Dikutip dari Marketeers, kue yang masih bisa diperebutkan tersebut membuat operator hiburan Tanah Air terus berekspansi.

Pemain lokal kawakan Cinema XXI diketahui juga sudah melakukan ekspansinya. PT Nusantara Sejahtera Raya (NSR), yang mengelola merek Cinema 21, Cinema XXI dan The Premiere, memperoleh suntikan modal dari GIC, firma investasi global milik Pemerintah Singapura. Cinema XXI telah mengoperasi 157 bioskop di 36 kota Indonesia.

Begitu pun dengan Lippo Group yang berambisi membuka 2.000 layar, 300 kompleks bioskop di 85 kota Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan. Lewat bendera Cinemaxx, Lippo berharap dapat mengantongi pendapatan sebesar USD 500 juta pada 2020. Untuk memuluskan langkah itu, Cinemaxx menunjuk Deutsche Bank sebagai pihak penggalang dana sebesar USD 100 juta.

Melalui kolaborasi rumah produksi, sutradara, lalu bioskop menawarkan sensasi menonton, rasanya film Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, khususnya dalam memanjakan mata milenial sebagai segmen terbesarnya.