Brilio.net - Pandemi virus corona atau Covid-19 memang membuat banyak pihak kewalahan. Setiap negara melalui otoritasnya meminta rakyatnya untuk tetap di rumah. Di Indonesia sendiri, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah dan menjaga jarak fisik (physical distancing), untuk menghambat penyebaran virus covid-19.

Pandemi ini tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan. Akibat penerapan physical distancing membuat aktivitas melambat. Banyak perusahaan yang sudah melakukan PHK karyawan. Walhasil mencari pendapatan untuk mencukupi kebutuhan pun menjadi hal yang sulit di masa pandemi saat ini.

Sulitnya mencari pendapatan ini menyisakan kisah pilu. Seperti halnya dialami oleh seorang anak yang merasakakan lapar karena sang ayah sudah tak memiliki pekerjaan lagi.

Kisah pilu ini datang dari seorang siswi SD asal NTT, bernama Merci. Gadis kecil ini hidup seorang diri di rumahnya, NTT sejak ia duduk di kelas tiga SD. Kedua orang tuanya memilih merantau di Kalimantan untuk memperbaiki hidup mereka.

Saat pandemi corona merebak luas, orangtua Merci berhenti mengirimkan anaknya uang untuk kebutuhan hidupnya. Setiap hari, Merci berharap dari pemberian tetangga untuk bisa bertahan hidup. Ia makan seadanya seperti jagung dan sayur setiap hari.

Hidup sebatang kara diusianya yang masih sangat kecil bukanlah hal mudah. Namun salut melihat semangatnya untuk tetap menempuh pendidikan. Dilansir brilio.net dari Merdeka.com, Merci Kase merupakan siswi kelas VI Sekolah Dasar Negeri Oevetnai, Desa Weulun, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.

Demi memperbaiki kehidupan keluarganya, kedua orangtua Merci memilih merantau. Sebelumnya, ayah Merci merantau seorang diri ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan. Sepeninggal ayah ke tanah perantauan Merci membantu sang ibu menjual kue dan sayur usai pulang sekolah.

"Bapak ingin memperbaiki rumah dan ingin saya bisa sekolah, makanya merantau cari uang," ujar Merci.

Lantas ibu Merci terpaksa menyusul ke Kalimantan pada akhir 2019 lalu. Sehingga, Merci pun hidup sendirian di rumah mereka. Menurutnya, di Kalimantan kedua orangtuanya bekerja di perusahaan kelapa sawit. Sehingga dari masak hingga mengurus rumah, selalu ia lakukan sendiri.

Sebelum adanya wabah Covid-19, orangtua Merci rutin nmengirimkan uang untuk anaknya. Namun sekarang, kondisinya benar-benar memprihatinkan karena kedua orangtuanya di rumahkan oleh perusahaan. Mereka tidak bisa pulang menemani Merci karena larangan mudik oleh pemerintah, guna memutus mata rantai penyebaran covid-19.

"Kalau beras habis, biasa diberi keluarga atau tetangga. Kadang hanya jagung saja," ungkapnya.

Desa Weulun memang masih terisolir seakan luput dari perhatian pemerintah. Akses jalan menuju wilayah ini pun masih rusak. Di dusun Wetalas, sebanyak 44 rumah warga belum menikmati listrik. Mereka menggunakan lampu pelita sebagai penerangan, termasuk di rumah Merci.

"Saya dari kelas satu sudah biasa belajar pakai pelita. Kalau jam tidur dimatikan, agar hemat minyak tanah," kata Merci.

Merci bercita-cita menjadi seorang dokter, sehingga bisa berguna bagi banyak orang.

"Biar pakai pelita, tetapi saya dari kelas satu sampai kelas enam, selalu juara satu atau dua. Saya ingin jadi dokter, Doakan supaya orang tua saya bisa kumpul uang," pinta Merci.

Kondisi tempat tinggal Merci sangat memprihatinkan, selain tidak memiliki listrik, rumah Merci pun belum memiliki WC. Merci pun terpaksa harus ke hutan jika hendak BAB.

Menurut kepala dusun Weulun, Yakomina Bano, sebanyak 48 Kepala Keluarga (KK) di dusun itu, belum menggunakan listrik. Bahkan dari 48 rumah itu, hanya satu rumah yang memiliki WC.

"Sudah kita ajukan, tetapi sampai sekarang belum terjawab," ungkapnya.

Meski Merci lahir dari keluarga kurang mampu dan hidup berkurangan, namun Merci dikenal sebagai anak yang berprestasi di sekolah. Ia selalu menyandang juara di kelasnya. Bahkan anjuran pemerintah untuk tetap tinggal dan belajar di rumah, benar-benar dijalankan Merci. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar, hingga menulis puisi.

Merci ternyata baru saja merayakan ulang tahunnya pada 2 Mei lalu. Hari lahirnya bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kemarin. Tak ada kue ulang tahun atau ucapan seperti anak-anak lain seusia dia.

Airmatanya menetes saat ia mengaku tak bisa menelepon orang tuanya di hari bahagianya. Padahal, ia sudah rela berjalan kaki ke desa tetangga hanya untuk mengecas handphonenya.

"Malamnya bapa dengan mama telepon dan minta saya siap cas handphone, karena besoknya tanggal 2 Mei, saya ulang tahun. Paginya saya jalan kaki cas di rumah keluarga. Setelah cas, saya kembali ke rumah untuk menelepon, tetapi tidak diangkat, mungkin bapa dengan mama sedang bekerja," tuturnya dikutip brilio.net dari Merdeka.com.

Untuk membuang kesedihan, Merci membacakan puisi untuk guru-gurunya berjudul: Pahlawan Pendidikan. Puisi ini ditulis, Ayu Pratiwi Saleh.

"Jika dunia kami yang dulu kosong

tak pernah kau isi

Mungkin hanya ada warna hampa, gelap

tak bisa apa-apa, tak bisa kemana-mana

Tapi kini dunia kami penuh warna

Dengan goresan garis-garis, juga kata

Yang dulu hanya jadi mimpi

Kini mulai terlihat bukan lagi mimpi

Itu karena kau yangmengajarkan

Tentang mana warna yang indah

Tentang garis yang harus dilukis

Juga tentang kata yang harus di baca

Terimakasih guruku dari hatiku

Untuk semua pejuang pendidikan

Dengan pendidikanlah kita bisa memperbaiki bangsa

Dengan pendidikanlah nasib kita bisa dirubah

Apa yang tak mungkin kau jadikan mungkin

Hanya ucapan terakhir dari mulutku

Di hari Pendidikan Nasional ini

Gempitakanlah selalu jiwamu

Wahai pejuang pendidikan Indonesia".