Brilio.net - Peristiwa kematian Letty Sultri menambah daftar kematian istri di tangan suami. Dokter cantik yang sehari-hari berpraktik di klinik Azzahra, Cawang, Jakarta Timur ini dihabisi Helmi, pria yang telah menjadi suaminya selama 5 tahun, dengan berondongan enam timah panas.

Menurut pengakuan Arip, Ketua RW 4 Kelurahan Cawang Kecamatan Kramat Jati, ada tiga peluru bersarang di perut korban, satu di dada kiri atas, satu di perut kanan atas, dan satu di pinggul kiri. Helmi tega membunuh istrinya hanya karena alasan susah komunikasi sejak dirinya digugat cerai pada Juli 2017.

Sebelum Letty, ada Indria Kameswari di Jakarta yang mati ditembak karena mendesak dibelikan mobil mewah kepada suaminya Abdul Aziz Malik. Ada lagi Dewi Supartini di Garut, Jawa Barat yang mati dilindas truk Fuso yang dikemudikan suaminya, Is setelah cekcok.

Is cemburu akibat ada lelaki tak dikenal yang menelepon si istri. Di Sambas, Kalimantan Barat ada Rizka Devianggita yang mati ditusuk pisau di bagian perut oleh suaminya Azwar Anas karena sebulan belakangan si istri kerap meminta cerai.

Beberapa kasus di atas punya motif berbeda, namun berakhir sama yaitu kematian istri di tangan suami.

Keributan merupakan sesuatu yang lumrah dalam keseharian pasangan suami istri. Namun, itu seyogyanya bisa dikelola dengan komunikasi yang tepat sehingga tidak membesar bak bola salju.

Pernikahan adalah hubungan antara dua orang yang saling mencintai, sehingga sikap saling memahami selalu diutamakan dalam interaksi. Pun, keinginan saling menyayangi dan melindungi dikedepankan.

Maka, peristiwa kekerasan apalagi pembunuhan terhadap pasangan membuat kita bertanya-tanya. Mengapa ada yang bisa begitu tega melakukannya?

Dalam dunia psikologis, terdapat konsep uxoricide yaitu pembunuhan seorang istri, berasal dari kata uxor (istri) dan cide/caedere (membunuh). Lawannya adalah mariticide yaitu pembunuhan terhadap suami.

Dikutip dari 'Psychodynamics of homicide committed in a marital relationship' yang ditulis B. M. Cormier (1982) dimuat dalam Corrective Psychiatry and Journal of Social Therapy, pria yang tega membunuh pasangan memiliki ketergantungan yang tak disadari terhadap istri, namun terlanjur menyimpan kebencian terhadap pasangannya.

Orang-orang ini ingin meninggalkan hubungan itu, tapi beranggapan diri mereka terlalu tidak berdaya untuk melakukannya, yang berujung pada keyakinan bahwa membunuh istri adalah satu-satunya cara untuk bebas dari itu.

Pengalaman menjadi korban kekerasan di masa kanak-kanak juga kemungkinan membuat seseorang melakukan uxoricide. Dari laporan berjudul 'Predisposing Childhood Factors for Men Who Kill Their Intimate Partners' oleh David Adams (2009) yang terbit di Jurnal Victims & Offenders, menjadi korban pelecehan di masa kanak-kanak menyebabkan seseorang terdorong menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga di masa dewasa.

Dalam kasus ini, kekerasan adalah bentuk adaptasi pertahanan diri tidak disadari yang dipicu trauma masa kanak-kanak dan kejadian buruk lainnya.

Menurut Aaron Ben-Zeev dalam artikel berjudul 'Why Do (Some) Men Murder the Wives They Love?' terbit di laman Psychology Today mengungkapkan bahwa para pria yang tega membunuh istrinya memiliki dua alasan besar.

Pertama, pembunuhan bermula dari sifat posesif maskulin dengan kecemburuan dan kemarahan merupakan dua emosi yang memicunya. Kedua, pembunuhan adalah klimaks dari riwayat kekerasan yang mendahuluinya.

Pernyataan untuk berpisah dari pihak istri adalah penyulut, dipandang sebagai ancaman yang terasa begitu menekan bagi seorang suami. Lebih lanjut menurut Aaron, beberapa kondisi utama yang mendorong aksi kekerasan berujung pembunuhan antara lain sebagai berikut.

Pertama, merasakan bahwa istrinya adalah dunianya sehingga dia merasa bahwa pisah berarti kehilangan identitas dirinya.

Kedua, persepsi lama pria tentang maskulinitas yang beranggapan bahwa pria memiliki kekuatan, kehormatan, dan kontrol dalam kehidupan rumah tangga, yang mana bertentangan dengan realitas ketergantungannya pada istrinya.

Ini membuat persepsi bahwa ketergantungan pada istri adalah bentuk kelemahan dan penghinaan terhadap kehormatan maskulin.