Brilio.net - Gunung Semeru kembali memuntahkan Awan Panas Guguran (APG) pada Minggu (4/12) sejak pukul 02.46 WIB. Adanya peningkatan aktivitas erupsi yang terjadi, membuat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMG) menaikkan status Gunung Semeru dari siaga menjadi awas.
Dari pengamatan visual, abu vulkanik teramati berwarna kelabu dengan intensitas sedang hingga tebal ke arah tenggara dan selatan. Dilansir dari BNPB, sebanyak 1970 jiwa mengungsi di 11 titik setelah terjadi Awan Panas Guguran (APG) dan peningkatan aktivitas vulkanik.
BACA JUGA :
9 Potret terkini kondisi Gunung Semeru, jalanan tertutup awan guguran panas
Diketahui, Gunung Semeru bukan pertama kali ini memuntahkan awan panas. Sehingga warga memiliki trauma tersendiri ketika gunung Semeru tengah menunjukkan aktivitas erupsi, seperti halnya yang dialami Ngadiyono.
Dilansir brilio.net dari merdeka.com pada Senin (5/12) Ngadiyono merupakan warga Desa Curah Kobokan, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang yang baru saja menempati hunian di Bumi Semeru Damai (BSD). Kendati sudah menempati rumah baru, pikirannya langsung teringat kampung lamanya yang sudah hancur tepat setahun lalu.
Ngadiyono mengaku kaget saat melihat Awan Panas Guguran (APG) membumbung tinggi di langit pada Minggu (4/12). Kepulan awan itu tampak tak biasa seperti yang sering dilihatnya setiap pagi dari Bumi Semeru Damai (BSD).
BACA JUGA :
Terjadi guguran awan panas, status Gunung Semeru naik dari level siaga menjadi awas
foto: Twitter/@BNPB_Indonesia
Melihat kepulan awan tersebut, Ngadiyono pun cemas dan khawatir memikirkan heran ternak miliknya yang masih tinggal di kampung lamanya, terlebih setelah ia mendapat kabar kalau kampung lamanya itu juga diterjang banjir lahar panas dari material erupsi Semeru.
Ngadiyono mengaku sehari-hari bolak balik dari tempat tinggal barunya di BSD ke Curah Kobokan untuk bekerja di tambang pasir, selain mengurus hewan ternak. Saat hujan deras turun mengguyur BSD. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa untuk keselamatan ternaknya. Sekitar 3 jam hatinya gelisah.
Begitu hujan mulai mereda, Ngadiyono pun langsung bergegas melihat kondisi ternaknya di kampung lamanya itu. Ia berangkat bersama adik dan beberapa warga lain.
Kondisi perjalanan pun sudah dinyatakan tidak aman. Ia dicegah oleh petugas yang berjaga di perbatasan Dusun Kamar Kajang dan Kajar Kuning. Kata Petugas BPBD kondisi Kajar Kuning dan Curah Kobokan tidak aman, kondisinya sudah habis diterjang lava panas.
"Sempat dicegah sama yang jaga, katanya di atas kampungnya sudah parah," katanya.
Meski sudah mendapatkan peringatan, Ngadiyono tetap nekat untuk memasuki wilayah zona merah itu dengan alasan menyelamatkan hewan ternaknya.
"Ya saya izin, bilang buat ngecek dan menyelamatkan ternak," lanjutnya.
Mendampingi sang adik, Ngadiyono akhirnya berhasil sampai di rumah lama milik adiknya di Kajar Kuning. Saat itu melihat kondisi Dusun Kajar Kuning, terutama di jembatan Kali Lanang sudah tertutup material erupsi.
foto: Twitter/@BNPB_Indonesia
Bau belerang yang menyengat ditambah tanah yang masih berasap panas terlihat dari kejauhan. Namun, kondisi ini tidak membuat Ngadiyono pasrah.
Setelah sampai di rumahnya yang lama, Ngadiyono pun harus menelan rasa kecewanya. Sebagian bangunan sudah tertutup material erupsi termasuk kandang kambing miliknya.
"Pas sampai di rumah, kondisinya sudah tertutup lumpur panas. Ya mau gimana lagi saya ikhlaskan saja," ujarnya.
Ngadiyono mengaku balik arah sambil berjalan lemas meratapi nasib rumah dan 3 ternaknya yang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Ia kembali ke tempat hunian dengan penuh harap mempunyai pekerjaan baru yang dapat menopang hidupnya.
Ngadiyono pun kembali menjadi korban erupsi Gunung Semeru. Ia telah sekuat upaya untuk bangkit, tetapi bencana itu kembali datang memberinya ujian.
Atas kejadian tersebut, Ngadiyono berharap pemerintah dapat memberikan alternatif pekerjaan guna menyambung hidup. Apalagi lokasi tambang, yang menjadi mata pencahariannya saat ini yang tertutup abu vulkanik. Nasib, Kajar Kuning dan Curah Kobokan kini seperti Kampung Renteng di Desa Sumberwuluh yang tertelan lava panas.