Brilio.net - Bulan Ramadhan datang setahun sekali. Pada bulan itu, seluruh umat muslim diwajibkan melaksanakan ibadah puasa. Namun ada beberapa kondisi yang tidak diperbolehkan puasa. Utamanya kerap dialami wanita, yakni datang bulan atau haid, mengandung, dan nifas. Kendati di antara mereka yang tak bisa berpuasa di bulan Ramadhan, diwajibkan atas mereka mengganti puasa tersebut.

Mengganti puasa atau qadha hukumnya wajib. Berbeda dengan sholat, ketika wanita haid dibebaskan dari qadha. Dasar kewajiban qadha tertera pada firman Allah SWT pada Alquran QS Al Baqarah ayat 184.

puasa qadha dan arti pixabay

foto: Liputan6.com

"Ayymam ma'ddt, fa mang kna mingkum maran au 'al safarin fa 'iddatum min ayymin ukhar, wa 'alallana yuqnah fidyatun a'mu miskn, fa man taawwa'a khairan fa huwa khairul lah, wa an tam khairul lakum ing kuntum ta'lamn"

Artinya:
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Untuk melakukan puasa qadha tidak bisa asal. Terdapat ketentuan dan tata caranya yang perlu kamu tahu. Simak rangkuman niat puasa yang dihimpun brilio.net dari berbagai sumber pada Sabtu (2/5).

1. Niat puasa qadha.

puasa qadha dan arti pixabay

foto: dream.co.id

"Nawaitu shauma ghodin 'an qadhain fardla ramadhana lillahi ta'ala"

Artinya:
"Saya niat puasa esok hari qadha fardlu Ramadhan karena Allah Ta'ala."

 

2. Waktu.

Puasa qadha boleh dilakukan kapan saja. Namun makruh hukumnya jika mendahulukan puasa sunah daripada puasa qadha. Puasa sunah di sini misalnya puasa Senin dan Kamis, puasa Syawal, Ayyamul Bidh, Tasu'a, Asyura, Daun, dan lainnya.

Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata, "kewajiban meng-qadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya."

Namun demikian, ada pendapat lain yang menyebutkan puasa qadha dilakukan selama setidaknya satu tahun. Setelah Ramadhan selesai hingga sebelum Ramadhan kembali datang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari Aisyah RA yang berbunyi: ”Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah."

Bagi yang belum bisa mengganti puasa Ramadhan karena alasan tertentu sampai bulan Ramadhan datang lagi, ada ketentuan tersendiri. Puasa qadhanya ditangguhkan atau tertunda hingga Ramadhan berikutnya lagi. Kasus ini bisa terjadi pada umat yang sedang sakit parah, selalu ada halangan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, bagi yang ingin ditangguhkan tapi tanpa halangan yang sah, hukumnya haram dan dosa.

 

3. Hukum menggabungkan dua puasa.

Seringkali dijumpai umat Islam menggabungkan dua puasa sekaligus. Menggabungkan puasa qadha dan puasa lain (sunah) sah hukumnya. Bahagianya lagi, kamu bisa mendapatkan pahala dari masing-masing puasa itu (wajib dan sunah). Hal ini dijelaskan juga oleh Syeikh Zainuddin Al Malibari dalam kitab Fathul Mu'in.

"Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta'yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardu, yaitu puasa sunah, maka sah berpuasa sunah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama."

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syeikh Abubakar bin Syatha dalam I'anatuth Thalibin, seperti dikutip dari laman Nahdlatul 'Ulama.

"Ucapan Syekh Zainuddin, meski puasa sunah yang memiliki jangka waktu, ini adalah ghayah (puncak) keabsahan puasa sunah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam keabsahan tersebut antara puasa sunah yang berjangka waktu seperti puasa Senin-Kamis, Arafah, Asyura' dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa' dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunah mutlak."

 

4. Dilakukan sebanyak hari yang ditinggalkan.

Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 184, wajib mengganti puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Misalnya, seorang muslim tidak bisa puasa Ramadhan selama 7 hari. Maka ia wajb menggantinya dengan jumlah sama, yakni 7 hari juga. Begitu pula dengan total jumlah lainnya.

 

5. Dilakukan secara terpisah atau berurutan.

Ada dua pendapat pada kasus ini. Pertama, ada yang menyatakan kalau puasa qadha dilakukan secara berurutan. Apabila puasa Ramadhan yang ditinggalkan juga bersifat berurutan. Sedangkan pendapat kedua menyatakan kalau puasa qadha boleh dilakukan secara terpisah. Hal itu didasari tidak adanya dalil yang menyatakan qadha harus urut.

Pendapat tidak berurutan didukung oleh hadits Rasulullah yang artinya: "Qadha' (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan." (HR. Daruquthni, dari Ibnu 'Umar)

Dengan begitu, pendapat kedua lebih kuat hukumnya dibanding dengan pendapat pertama. Kendati demikian, alangkah baiknya puasa qadha dilakukan sesegera mungkin.