Brilio.net - Keberadaan media massa, baik cetak maupun online, terus menggeliat dan memunculkan banyak media baru. Geliat tersebut menunjukkan bahwa bisnis informasi masih terus berlanjut dan tampaknya masih dibutuhkan hadir di hadapan pembaca.

Namun, di sisi lain, perusahaan media massa, mesti bersiasat dengan tingginya biaya produksi bagi media cetak dan ketersediaan teknologi situs web yang memadai bagi media online. Hal inilah yang kemudian membuat Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat menggelar seminar media bertajuk "Jurnalisme Kreatif Untuk Keberlanjutan Bisnis Media" Rabu (30/3).

Dari iklan ke berlangganan.

Dalam kesempatan tersebut, Wahyu Dhyatmika dari CEO PT Info Media Digital menyatakan bahwa bisnis media saat ini masih bertumpu pada iklan. Media cetak bertumpu pada iklan konvensional, sementara media online pun bertumpu pada iklan Google. Karena itu, media massa masa depan mesti beralih dari iklan ke subscribe atau berlangganan.

"Nilai user dari subscribe (berlangganan), nilainya lebih besar dari pengunjung biasa," ucap Wahyu di hadapan hadirin para pengelola media dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu, Wahyu juga menjelaskan bahwa bisnis media ke depan tidak hanya bertumpu pada konten, melainkan juga kepada medium, platform hingga target audiens yang ingin dituju. Karena itu, tiga hal tersebut juga harus menjadi perhatian para pengelola media.

Bagi Wahyu, potensi bisnis media digital di Indonesia masih sangat besar dan masih bisa menjadi bisnis yang potensial. Namun, dari potensi tersebut, "yang dapat manfaat dari potensi tersebut masih terbatas," ungkap Wahyu.

Konten masih menjadi hal utama.

Sementara itu, Leak Kustiya dari Jawa Pos, masih cukup optimis dengan keberadaan koran. Hal ini dibuktikan dengan koran Jawa Pos yang menjadi pemasukan tertinggi dari perusahaan yang dikelolanya.

"Jawa Pos koran dengan sirkulasi terbesar di Indonesia," ungkap Leak yang dikutipnya dari versi Imogen Communication Institute (HPN 2022).

Namun, prestasi ini bukan tanpa kendala. Leak mengatakan bahwa pada 2021, terjadi tiga kali kenaikan bahan baku kertas dan pada awal 2022, ongkos cetak koran di Jawa Pos mengalami kenaikan sebanyak 19%.

"Sementara itu, harga koran tidak bisa naik setiap saat karena akan ditinggal oleh para pembeli," ungkap Leak di forum yang sama.

Karena itu, di Jawa Pos, menurut Leak, menggunakan dua strategi. Pertama, strategi harga yang harus dijual di atas Harga Pokok Produksi (HPP). Hal ini untuk menghindari perang harga di pasaran dan para penjual koran masih mendapatkan keuntungan.

Selain itu, strategi kedua, konten masih menjadi hal utama yang menjadi hal ditampilkan. "konten koran harus dipetakan selama 365 hari atau setahun, yang dievaluasi secara berkala setiap bulan triwulan," ucap Leak.

Model baru bisnis media massa online.

Pada kesempatan yang sama, Agus Sulistriyono, CEO Pikiran Rakyat Media Network dan Promedia Teknologi Indonesia memaparkan pengalamannya saat menjalankan Pikiran Rakyat Media Network. Baginya, Pikiran Rakyat Media Network menerapkan model koresponden gaya baru. "Selama ini, koresponden hanya dibayar satu tulisan dengan nominal tertentu. Namun, dalam model koresponden gaya baru ini, para penulis akan dibayar per page view yang didapatkan dari artikel yang ditulis oleh koresponden tersebut," ucap Agus.

Selain itu, selama ini, Pikiran Rakyat Media Network menerapkan gotong royong mengelola media. Pikiran Rakyat Media Network terdiri dari media dari berbagai tempat sebagai subdomain dari domain utama pikiranrakyat.com.

Walaupun begitu, ada beberapa hal yang mesti disiapkan. Bagi Agus, ada empat pilar utama yang diperlukan. Mulai dari penulis, sales-marketing, tim teknologi informasi, dan juga server situs web yang besar. Semua hal ini, bagi Agus, membutuhkan biaya yang banyak.

Karena itu, menurut Agus, bisnis media online ini harus benar-benar dikonsep betul. Mulai dari artikel yang disajikan hingga infrastruktur situs web agar server tidak down saat dikunjungi banyak pembaca.