Brilio.net - Hanya 49 hari setelah Soekarno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, suasana Lapangan Kridosono di Yogyakarta tiba-tiba menjadi mencekam. Sore hari usai ibadah salat Asar, ratusan pemuda dari berbagai penjuru kampung di Yogyakarta berkumpul. Mereka tengah merencanakan salah satu aksi paling heroik sepanjang sejarah Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan. Ya, mereka sepakat untuk menyerbu markas tentara Jepang yang belum juga mau angkat kaki dari Yogyakarta meski Indonesia telah menyatakan merdeka.

Mau tak mau, penyerbuan harus dilakukan karena tentara Jepang masih saja berjaga dengan persenjataan lengkap. Sebelumnya, berbagai upaya untuk mengusir Jepang sudah dilakukan, mulai dari pengibaran bendera Merah Putih di sepanjang Jalan Malioboro hingga upaya perundingan damai agar Jepang menyerahkan senjata.

Dari ratusan pemuda yang hadir di Lapangan Kridosono saat itu, ada pemuda yang masih berusia 17 tahun bernama Soekirno. Dengan keberaniannya, Soekirno bergabung dengan para pemuda lain untuk mengusir tentara Jepang dari Yogyakarta.

monumen kotabaru © 2019 brilio.net

Kesaksian tersebut disampaikan Bagus Sumbarja (52) kepada brilio.net, Sabtu (3/8). Ia menceritakan sang ayah, Peltu Purnawirawan Soekirno yang pada saat itu masih sangat muda harus turut menenteng bambu runcing bersama pemuda lain dari berbagai penjuru Yogyakarta.

"Sehabis waktu Asar, pemuda-pemuda dari wilayah Pakualaman, Jetis, Tegalrejo, Gedongtengen, kampung-kampung seluruh kota berkumpul di Kridosono. Di sana, mereka merencanakan penyerbuan markas Jepang," kisah Bagus.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali di tengah udara dingin usai salat subuh, para pemuda kampung dibantu tentara pelajar telah mengepung markas tentara Jepang di Kotabaru. Setelah aliran listrik berhasil diputus, dengan kode ledakan granat, mereka mulai melakukan penyerbuan. Hanya bermodalkan bambu runcing dan kegigihan para pejuang, markas Jepang di Kotabaru berhasil dikuasai sore harinya.

Sebanyak 35 orang tentara Jepang dilaporkan tewas dalam penyerbuan tersebut. Di sisi lain, 21 orang pejuang harus gugur atas nama merebut kedaulatan. Mereka adalah Trimo, Djoewadi, Faridan M Noto, Soperano, Soenardjo, Mohammad Saleh, Djasman, Djohar Noerhadi, Bagong Ngadikan, Sabrinin, Amat Djazuli, Oemoem Kalipan, Atmosukarto, Sudjijono, I Dewan Nyoman Oka, Sarwoko, Soebarman, Mohammad Wardani, Soeroto, Abubakar Ali, dan Soepadi. Nama-nama tersebut kini abadi sebagai nama jalan di kawasan Kotabaru.

Sebuah prasasti sederhana pun dibangun untuk mengenang peristiwa heroik Serbuan Kotabaru. 21 Nama pejuang yang gugur tertulis dalam sebuah prasasti di halaman bangunan bekas markas Jepang di Kotabaru. Di tempat itu, peringatan untuk mengenang jasa para pejuang digelar setiap tanggal 7 Oktober.

monumen kotabaru © 2019 brilio.net

Kondisi monumen

Bagi warga Yogyakarta dan sekitarnya, kawasan Kotabaru tentu tak asing. Kawasan yang terletak di jantung Kota Yogyakarta itu terkenal dengan ruas jalan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar di samping kanan dan kirinya. Tak hanya itu, Kotabaru juga menyimpan nilai historis yang tinggi bagi Bangsa Indonesia.

Kawasan yang pada zaman Belanda disebut dengan Nieuwe Wijk itu menyimpan banyak bangunan bersejarah. Sebut saja Gereja Santo Antonius, Jembatan Kewek, hingga bangunan sekolah kuno seperti SMAN 3 Yogyakarta.

Namun, dibandingkan dengan sederet bangunan tersebut, bangunan bekas markas tentara Jepang di Kotabaru yang susah payah direbut pejuang tersebut ternyata kurang populer. Hingga kini, bangunan tersebut masih berdiri kokoh. Tak banyak yang berubah dari segi bangunan, hanya bagian pos penjagaan dan sel tahanan di sisi selatan yang kini telah berubah menjadi sebuah masjid.

monumen kotabaru © 2019 brilio.net

Didominasi cat berwarna hijau, bangunan tersebut kini menjadi tempat tinggal bagi para kerabat purnawirawan TNI. Bagus yang juga bertindak sebagai Kepala Rukun Warga (RW) setempat menceritakan awal mula bangunan tersebut berdiri. Bahkan, menurut Bagus, bangunan tersebut telah berdiri sebelum Kotabaru didirikan.

"Bangunan ini sudah dibangun tahun 1913 bersamaan dengan rumah sakit dr. Soetarto yang tak jauh dari sini. Iya, sebelum Kotabaru berdiri," terang Bagus.

Beralihnya kekuasaan dari Belanda membuat bangunan tersebut dikuasai Jepang pada 1942. Usai jatuh ke tangan Indonesia, bangunan tersebut sempat menjadi asrama kepolisian. Sejak tahun 1955 hingga saat ini, bangunan itu menjadi tempat tinggal sebanyak 185 kepala keluarga. "Status tempat tinggal di sini adalah rumah dinas TNI yang merupakan tanah Sultan Ground sebagai bangunan rampasan perang," tutur Bagus.

monumen kotabaru © 2019 brilio.net

Terlupakan

Bagi masyarakat Indonesia dan Yogyakarta pada khususnya, peristiwa Serbuan Kotabaru tak sepopuler peristiwa Serangan Umum 1 Maret atau pun Jogja Kembali. Hal itu pun diamini Bagus. Padahal menurutnya, peristiwa Serbuan Kotabaru merupakan kunci yang menginisiasi aksi heroik lainnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.

Menurut catatan sejarah, Serbuan Kotabaru adalah gerakan bersenjata pertama yang dilakukan rakyat Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi tersebut memelopori munculnya gerakan bersenjata di berbagai daerah lain hingga berkembang menjadi perjuangan diplomatik.

"Ya, peristiwa Jogja Kembali itu kan terjadi 1948, sedangkan Serangan Umum 1 Maret itu 1949. Nah, Serbuan Kotabaru ini terjadi sebelum dua peristiwa itu, hanya 50 hari setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan. Makanya, saya selalu mengingatkan bahwa sebenarnya kuncinya itu ada di sini (Kotabaru)," imbuh Bagus.

Ia mengaku prihatin dengan kondisi yang terjadi tersebut. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menggaungkan kembali sumbangsih Serbuan Kotabaru bagi kedaulatan Indonesia, terlebih kepada generasi muda.

"Kita selalu menyampaikan tiap malam tirakatan dan berbagai kegiatan lain, Serbuan Kotabaru merupakan bagian dari sejarah bangsa yang harus disampaikan kepada generasi muda agar mereka punya cita-cita luhur bagaimana dulu para pejuang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan," tutup Bagus sekaligus mengakhiri perbincangan kami.