Brilio.net - Sampah plastik, bak “monster” bagi lingkungan di berbagai belahan dunia dalam beberapa tahun belakangan. Indonesia, dituding sebagai negara yang punya kontribusi besar sebagai pencipta monster itu. Tapi benarkah demikian?

Mari tengok ulasan Jambeck Science Article (2015). Dalam analisa itu disebutkan, sebenarnya Amerika Serikat adalah penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Angkanya mencapai 38 juta ton per hari. China menyusul dengan 32 juta ton.

Penghasil sampah terbanyak juga dilakukan Jepang dengan 20 juta ton per hari. Sementara Indonesia tercatat menghasilkan 11 juta ton tumpukan limbah plastik setiap hari. Inggris juga menjadi negara penghasil limbah plastik sebesar 9 juta ton saban hari diikuti Filipina dengan total 6 juta ton sampah plastik.

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Lantas kenapa Indonesia justru yang dituding sebagai negara kedua penghasil sampah plastik terbesar di dunia setelah China? Persoalannya terletak pada masalah manajemen pengolahan sampah. Yuk lihat kembali data Jambeck. Dari total limbah plastik yang dihasilkan Negeri Tirai Bambu, sekitar 24 juta ton dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).     

Begitu juga dengan Indonesia. Dari total 11 juta ton sampah plastik per hari yang dihasilkan, sebagian besar atau sekitar 9 juta ton limbah plastik itu berakhir di TPA. Artinya, tingkat manajemen pengolahan limbah plastik di Indonesia di bawah 10% dari total sampah. Sedangkan tingkat pengurangan semua limbah padat kota kurang dari 3%. Jadi nggak heran jika TPA di Indonesia ibarat gunung sampah. Karena itu tadi, sebagian besar sampah yang dihasilkan berujung di TPA. Mirisnya lagi, dari total limbah plastik di Indonesia sebagian jutsru merupakan impor dari negara lain.  

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Sementara Amerika Serikat yang notabene penghasil sampah plastik terbesar di dunia justru punya manajemen pengolahan sampah plastik yang baik. Hampir seluruh sampah plastik di Negeri Paman Sam itu berhasil didaur ulang. Begitu juga dengan Jepang dan Inggris.

Nah belakangan muncul kampanye pengurangan penggunaan plastik. Alasannya karena plastik sulit terurai secara alamiah. Sementara saat ini masyarakat sangat bergantung kepada plastik. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (2019), konsumsi plastik akan meningkat dalam 5 tahun ke depan dari 17-23 kg per kapita per tahun menjadi 25-40 kg pr kapita per tahun.

Di tengah keterantungan masyarakat akan plastik, tepatkah kampanye ini digaungkan? Bukankah persoalan utamanya terletak pada manajemen pengolahan limbah? Itu di satu sisi.

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Di sisi lain, jika ditelisik lebih jauh ternyata limbah plastik punya nilai ekonomi yang cukup tinggi. Lihat saja datanya. Kegiatan perdagangan barang plastik di Indonesia mencapai USD 2,6 miliar (impor) dan USD 1,5 miliar USD (ekspor) pada 2017. Total kebutuhan konsumsi plastik saat ini mencapai 5,6 juta metrik ton per tahun. Dari angka itu, sekitar 1,67 juta metrik ton merupakan impor.

Lantas dengan limbah plastik yang begitu besar, jika mampu diolah dengan benar, bukankah bisa mengurangi angka impor bahan baku plastik? Artinya jika 1,67 juta metrik ton bahan baku impor untuk industri plastik itu bisa dikonversi dari hasil daur ulang. Efek dominonya pun sangat luar biasa.

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Setidaknya bisa mengurangi 40% sampah plastik yang diangkut ke TPA. Artinya bisa menyelamatkan lebih dari 200 hektar per tahun lahan di TPA. Yang tak kalah penting, pengolahan limbah plastik bisa menciptakan lapangan kerja baik di sektor formal maupun informal yang dapat menyerap 400 ribu tenaga kerja.

Syaratnya tadi, mampu menciptakan manajemen pengolahan limbah plastik dengan brilian. Pendekatan ekonomi sirkular bisa menjadi salah satu formula jitu. Sebab, lewat cara ini banyak manfaat yang bisa diambil. Diantaranya pengurangan ekstraksi sumber daya alam, penambahan lapangan kerja, peningkatan ekonomi langsung dan tidak langsung, pengurangan sampah ke TPA, dan terpenting adanya peningkatan kualitas lingkungan.  

Cara ini juga yang dilakukan salah satu industri minuman terbesar di Indonesia yakni Coca-Cola. Lewat gerakan Plastic Reborn #BeraniMengubah, perusahaan ini mengajak masyarakat mengubah perilaku mereka terhadap sampah, khususnya limbah plastik. Tujuannya untuk menciptakan ekonomi sirkular menjadi lebih baik.

Tambang emas masa depan

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Boleh jadi kebanyakan dari kita sering menyaksikan sejumlah orang mengais botol bekas kemasan minuman. Bagi sebagian orang, sampah itu adalah limbah yang menjijikan. Kotor dan bau. Tapi sebaliknya, untuk sebagian lagi, sampah adalah sumber mata pencaharian.

Asal tahu saja ya, botol-botol bekas itu ternyata bernilai ekonomi yang cukup besar lho. Berdasarkan situs pengolahan barang bekas (rongsok) harga jual untuk botol plastik saat ini berkisar Rp 2.200 per kg. Sementara untuk plastik bening campur sekitar Rp 1.500 per kg. Plastik kemasan dihargai (Rp 100/kg), plastik kresek (Rp 500/kg), paralon (Rp 900/kg) dan yang termahal adalah putihan atau polietilena berdensitas tinggi (high density polyethylene atau HDPE) yang harganya mencapai Rp 4.100 per kg. Plastik ini terbuat dari minyak bumi.

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Terbukti, di balik limbah plastik tersimpan nilai ekonomi yang tidak sedikit. Tentu saja prinsip 3R (reduce-reuse-recycle) dapat menjadikan plastik kemasan bekas pakai memiliki "hidup kedua" serta menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi banyak orang.

“Kini pemerintah semakin giat memaksimalkan penerapan 3R demi perbaikan pengelolaan sampah yang lebih baik di Indonesia. Tetapi secara hirarki, Reduce adalah prioritas pertama sebelum reuse dan recycle,” ujar Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti di Jakarta belum lama ini.

Karena itu gerakan Plastic Reborn #BeraniMengubah ala Coca-Cola Indonesia ini yang merupakan bagian dari komitmen World Without Waste sejatinya sebagai langkah melihat pengelolaan sampah kemasan botol plastik dari sudut pandang ekonomi sirkular.

Sampah Plastik © 2019 brilio.net

Caranya dengan mengintegrasikan elemen-elemen pengelolaan sampah kemasan plastik mulai dari collectionrecylingupcyling sehingga dapat menciptakan sebuah model bisnis baru. Pada akhirnya memberikan nilai pakai kembali (second life) dari kemasan plastik bekas pakai ini.

“Plastic Reborn pada dasarnya ingin mengubah cara pandang terhadap plastik kemasan bekas pakai menjadi sebuah bahan baku yang memiliki potensi untuk menghasilkan dari segi ekonomi secara terus menerus,” ungkap Public Affairs and Communications Director Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo.

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pelaku Daur Ulang Plastik (Indonesian Plastics Recyclers/IPR) Wilson Pandhika menimpali. Pekerjaan di sektor industri kelola sampah menyerap jutaan pekerja. Banyak pihak yang bergantung pada industri daur ulang, salah satunya pemulung. Kelompok ini menggantungkan hidupnya pada tumpukan sampah plastik. Besarnya kebutuhan plastik menunjukkan bahwa peluang bisnis industri daur ulang sangat besar.

Sampah Plastik © 2019 brilio.net (Ki-ka) : Sekretaris Jenderal IPR Wilson Pandhika, Public Affairs and Communications Director Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo, dan Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti.

“Potensi rupiah yang dihasilkan dari daur ulang plastik selama ini relatif baik dan menarik. Hal tersebut terlihat dari industri dan ekosistemnya yang telah ada lebih dari 30 tahun memberikan lapangan pekerjaan dan menghidupi banyak orang di Indonesia,” ujar Wilson.

Saat ini industri minuman dan makanan terus tumbuh yang tentunya ini akan berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah plastik kemasan bekas pakai. Sementara kapasitas pengolahan limbah plastik masih terbilang minim. Artinya peluang bisnis di sektor ini masih sangat terbuka.

Jika industri daur ulang sebagai tahapan penerapan model ekonomi sirkular dapat dikelola lebih baik, kemasan plastik bekas pakai dapat terus dipertahankan nilainya serta dimaksimalkan penggunaannya. Tak heran jika ada anggapan, limbah plastik sejatinya adalah “tambang emas” masa depan.