Brilio.net - Sebagai negara yang terkenal dengan pilar kehidupan Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat Indonesia seharusnya bisa hidup berdampingan di atas segala perbedaan yang ada. Namun sayang, masih ada beberapa masyarakat Indonesia yang justru belum bisa menerima perbedaan tersebut. Salah satu yang masih menjadi polemik di Tanah Air adalah adanya perbedaan keyakinan.

Diskriminasi agama masih saja terus terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti baru-baru ini, satu keluarga mendapatkan penolakan dari pengurus kampung saat akan mengontrak rumah di Padukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Mereka mendapatkan penolakan lantaran adanya aturan padukuhan yang melarang warga beda keyakinan untuk tinggal di sana.

Dalam aturan padukuhan yang disahkan pada 19 Oktober 2015 lalu tersebut, warga Padukuhan Karet sepakat tidak mengizinkan warga yang berbeda keyakinan untuk bermukim di wilayahnya. Slamet Jumiarto, selaku keluarga yang akan mengontrak rumah baru tahu jika ada peraturan tersebut saat melaporkan kepindahannya ke Ketua RT.

Kepala Dukuh Karet, Iswanto, membenarkan peraturan tersebut. Iswanto mengungkapkan aturan tersebut sudah disepakati warga yang melarang warga non-Muslim untuk tinggal di wilayahnya.

"Aturannya itu intinya, penduduk luar Karet yang beli tanah itu tidak diperbolehkan yang non-Muslim. Sudah kesepakatan warga masyarakat," ujar Iswanto seperti dikutip brilio.net dari merdeka.com, Selasa (2/4).

beda keyakinan tak boleh tinggal © 2019 brilio.net

foto: merdeka.com


Sama seperti mengurus surat kepindahan pada umumnya, Slamet membawa persyaratan seperti kartu tanda penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan buku nikah. Ketua RT yang melihat keterangan agama Slamet pun menyampaikan keberatannya. Mendapat keberatan dari Ketua RT, Slamet pun mencoba menemui ketua kampung, namun dirinya tetap mendapat penolakan yang sama.

"Kemudian paginya saya ketemu ketua kampung, itu pun juga ditolak kemudian saya ingin ketemu Pak Dukuh (dusun) cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya dan belum tahu namanya. Mungkin karena saya terlalu emosi dengan hal ini, kemudian saya langsung melaporkan hal ini ke sekretaris Sultan HB X (Hamengku Buwono X)," ungkap Slamet.  

Setelah melaporkan penolakan tersebut ke Sekretaris Sultan HB X, laporan tersebut kemudian diteruskan ke Pemerintah Kabupaten Bantul. Setelahnya baru digelar media antara Slamet dengan pengurus Padukuhan Karet, tokoh masyarakat dan Pengurus Desa Pleret.

Dalam mediasi tersebut keinginan Slamet dan keluarga untuk tetap tinggal masih mendapat penolakan. Namun Slamet tetap bersikeras lantaran sudah membayar uang kontrakan sebesar Rp 4 juta kepada pemilik rumah. Tak menemukan jalan keluar, Slamet kembali bertemu dengan perwakilan warga untuk mediasi pada Senin (1/4) malam.

Hasilnya, sempat ada alternatif Slamet akan diizinkan tinggal selama enam bulan, sedangkan enam bulan sisanya akan dikembalikan dalam bentuk uang.

beda keyakinan tak boleh tinggal © 2019 brilio.net

foto: merdeka.com


"Kalau tidak satu tahun saya mending minta uangnya lagi full satu tahun kepada saya. Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama aja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh, kalau enggak ya enggak gitu aja," ujar Slamet.

Setelah mediasi tersebut berakhir, Slamet pun memilih untuk mengikuti aturan padukuhan dan siap pindah asalkan uang yang dibayar dikembalikan utuh. Meski demikian, Slamet berkeras agar aturan yang dianggap diskriminatif tersebut dihapus.

"Saya mengalah asalkan surat (aturan) mereka direvisi karena bagi saya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Aturan itu mengharuskan supaya warga pendatang yang ngontrak atau tinggal harus beragama Islam itu tertulis di dalam di surat peraturan. Itukan nggak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945," tutup Slamet.