Brilio.net - Semenjak wabah virus COVID-19 menyerang Wuhan, China, pemerintah Indonesia mengevakuasi ratusan WNI dari Wuhan. Namun rupanya beberapa orang yang tidak kembali ke Tanah Air lantaran tidak lolos pemeriksaan kesehatan bandara. Sementara sisanya menolak pulang karena alasan pribadi.

Di balik tidak lolosnya pemeriksaan kesehatan bandara, baru-baru ini rupanya terselip sebuah kisah pilu yang dirasakan Humaidi Zahid (28) mahasiswa Indonesia yang masih berada di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Humaidi satu dari sekian WNI yang masih tertinggal di kota yang kini berstatus lock down itu.

Padahal, semenjak Kota Wuhan diisolir 23 Januari 2020 lalu, tanggal 2 Februari 2020 merupakan hari yang paling ia tunggu-tunggu. Yah, pada tanggal itu Pemerintah Indonesia mengirimkan tim untuk mengevakuasi WNI yang berada di kota yang hampir mati tersebut.

Sayangnya, Humaidi terganjal pemeriksaan kesehatan di Bandara Wuhan.

"Kan waktu itu semua harus isi formulir, di kolom kesehatan saya centang kolom batuk. Harapannya ya enggak mau ngerepotin temen-temen, barang kali nanti di pesawat dapat tempat duduk khusus," ujar Omed, dikutip brilio.net dari merdeka.com, Senin (2/3).

Omed tak sendiri. Saat itu ada tiga mahasiswa, termasuk dirinya, yang tidak lolos pemeriksaan kesehatan di bandara. Setelah tiga kali diperiksa secara berkala, ketiganya akhirnya dilepas. Namun sayang, pesawat yang menjemputnya sudah terbang pulang ke Indonesia.

"Setelah tiga kali dicek suhu, ternyata suhu kita bertiga itu normal. Andaikan pesawat itu masih menunggu, mungkin kita bertiga masih bisa ikut pulang ke Indonesia," katanya.

Terkulai lemas, Omed dan dua temannya pun dikembalikan ke asrama kampusnya. Hingga kini, mereka hanya bisa menghabiskan hari-harinya di dalam asrama mahasiswa tanpa tahu kepastiannya kapan akan berkumpul dengan keluarga di Tanah Air.

"Awalnya ya nggak kuat. Awakku jomplang (tubuhku jatuh). Semua pintu kamar (asrama) saya gedor-gedor, tapi sepi," ucap Omed.

Omed kesepian. Dari puluhan pintu yang digedor, hanya ada dua jawaban. Namun dua penghuni yang tersisa itu tak berani keluar kamar. Mereka ketakutan berada di bawah bayang-bayang virus yang mematikan. Bahkan sekedar interaksi dengan orang-orang sehat di sana, mereka takut.

Kini Omed mulai menguatkan hatinya. Dia belajar menerima keadaan. Meski perasaan sepi terus menggelayutinya.

"Saya tiap salat itu niatnya imaman (jadi imam), barang kali ada yang mau ikut. Saya itu pengin banget merasakan kehadiran makhluk di sini, mosok demit saja enggak ada," selorohnya.

Omed kini hanya berteman dengan ikan-ikan, keong, dan kecoa yang ada di akuarium kamarnya. "Kecoa ada itu di atas akuarium. Ini sengaja enggak saya bersihkan, biar tambah banyak keongnya yang muncul," katanya sambil memperlihatkan akuarium yang mulai dipenuhi lumut.

Hari-hari Omed di Wuhan dihabiskan dengan mengurung diri di dalam kamar. Dia hanya sesekali keluar kamar, turun ke lobi asrama hanya untuk mengambil makanan atau logistik yang disediakan kampus.

"Alhamdulillah (kondisi sekarang) sehat. Kalau kondisi kesehatan baik-baik saja, cuma ya mental ini kadang naik turun, namanya berada di dalam kondisi seperti ini," ujar alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.

Kini hanya doa yang terus mereka panjatkan agar Wuhan dan kota-kota lain yang terdampak virus Corona segera pulih. Mereka juga berharap pemerintah membukakan akses agar bisa keluar dari Kota Wuhan dan kembali berkumpul dengan keluarga di Indonesia.