Brilio.net - Pandemi Covid-19 di Indonesia mengakibatkan peningkatan beban yang sangat berat terhadap sistem pelayanan kesehatan di Tanah Air, termasuk pada tenaga kesehatan. Risiko yang paling terlihat adalah aspek keselamatan tenaga kesehatan terutama di lini terdepan, yang sangat rentan terpapar virus Covid-19 hingga berisiko mengancam keselamatan jiwa.

Hingga saat ini tercatat sudah lebih dari 100 dokter dan ratusan tenaga medis lainnya meninggal dunia karena terinfeksi virus corona pada saat menjalankan tugas pelayanan kesehatan.

Selain aspek keselamatan dan perlindungan dari infeksi, pandemi ini juga menyerang kesehatan mental para tenaga medis. Burnout syndrome atau keletihan mental salah satu gangguan mental yang banyak dialami oleh tenang medis. Burnout syndrome itu muncul akibat tingkat stres yang sangat tinggi, namun belum ada aturan atau kebijakan yang dapat melindungi mereka dari segi kesehatan mental.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menunjukkan ternyata sebanyak 83% tenaga kesehatan di Indonesia telah mengalami burnout syndrome, derajat sedang dan berat yang secara psikologis berisiko mengganggu kualitas hidup dan produktivitas kerja dalam pelayanan kesehatan.

Menurut Ketua Tim Peneliti dr Dewi Soemarko, MS, SpOK, penelitian ini juga menemukan fakta bahwa dokter umum di Indonesia yang menjalankan Tugas Pelayanan Medis di garda terdepan selama masa pandemi Covid-19 memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami burnout syndrome.

"Tingginya tingkat stres yang dialami para tenaga medis mengakibatkan efek jangka panjang terhadap kualitas pelayanan medis karena para tenaga kesehatan ini bisa merasa depresi, kelelahan ekstrem, bahkan merasa kurang kompeten dalam menjalankan tugas. Dan ini tentu berdampak kurang baik bagi upaya kita memerangi Covid-19," ujar dr Dewi Soemarko kepada media dalam konferensi pers virtual, Sabtu (5/9).

Selain itu juga, menurut Tim Peneliti dari Prodi Magister Kedokteran Kerja yang terdiri dari dr Ray W Basrowi, MKK; dr Levina Chandra Khoe, MPH dan dr Marsen Isbayuputra, SpOK, temuan lain yang juga sangat mengkhawatirkan adalah sekitar 83% tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome derajat sedang dan berat.

Sebanyak 41% tenaga kesehatan mengalami keletihan emosi derajat sedang dan berat, 22% mengalami kehilangan empati derajat sedang dan berat, serta 52% mengalami kurang percaya diri derajat sedang dan berat.

Dokter yang menangani pasien Covid-19, baik dokter umum maupun spesialis, berisiko dua kali lebih besar mengalami keletihan emosi dan kehilangan empati dibandingkan mereka yang tidak menangani pasien Covid-19.

Bidan yang menangani pasien Covid-19 berisiko dua kali lebih besar mengalami keletihan emosi dibandingkan mereka yang tidak menangani pasien Covid-19.

Ternyata juga masih ada tenaga kesehatan sebanyak 2% yang tidak mendapatkan alat pelindung diri (APD) dari fasilitas kesehatannya. Dan sekitar 75% fasilitas kesehatan tidak melakukan pemeriksaan swab rutin dan 59% tidak melakukan pemeriksaan rapid test rutin bagi tenaga kesehatannya.

Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa selain aspek proteksi keselamatan dan kesehatan fisik, manajemen rumah sakit, fasilitas kesehatan dan pemerintah harus mulai memprioritaskan aspek intervensi kesehatan mental seperti pendampingan dan konseling psikologis untuk tenaga kesehatan terutama yang bertugas selama masa pandemi ini.

Aspek lain yang juga harus dilakukan adalah menciptakan suasana aman dan nyaman bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan fungsi medis dengan menerapkan prinsip kedokteran okupasi yang komprehensif.

"Berbagai temuan dari penelitian ini bisa menjadi sumber rekomendasi untuk strategi intervensi proteksi dan peningkatan kualitas kesehatan tenaga medis Indonesia agar maksimal dalam menjalankan tugas pelayanan medis tetapi juga tetap sehat," tutup Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB.