Brilio.net - Sering kali kita mendengar dan menggunakan kata passion. Passion adalah sesuatu yang tidak akan membuat kita bosan dalam melakukannya. Passion juga sering kali dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Biasanya, orang akan memilih pekerjaan sesuai passionnya. Ketika seseorang berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai passionnya, maka seseorang itu akan lebih bisa mengerjakannya dengan ikhlas tanpa paksaan.

Meski kadang pekerjaan yang didapat terasa menyulitkan, dengan passion seseorang akan merasa pekerjaan tersebut dapat ia tuntaskan dengan hati yang senang. Namun, tak sedikit orang yang baru saja meniti karier mengalami kebingungan memilih pekerjaan sesuai passionnya. Beberapa beranggapan bahwa pendidikan yang ia dapat di bangku kuliah akan mengantarkannya pada pekerjaan yang sesuai dengan passion-nya. Nyatanya, saat ini banyak sekali orang yang justru mendapatkan pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan latar belakang pendidikan mereka. Mereka lebih memilih pekerjaan yang sesuai dengan apa yang mereka gemari sesuai keahlian mereka.

Salah satu tokoh publik yang mengalami hal serupa adalah Hanum Rais. Pemilik nama lengkap Hanum Salsabiela Rais ini tak hanya dikenal sebagai putri dari Amien Rais, tokoh politik di Indonesia. Hanum dikenal sebagai seorang penulis novel yang beberapa diantaranya diangkat jadi film layar lebar, salah satunya yakni 99 Cahaya di Langit Eropa.

Merasa terpaksa jadi penulis

cara Hanum Rais tentukan passion © 2020 brilio.net

foto: Hanum Salsabiela Rais

Hanum mengawali kariernya sebagai seorang penulis saat ia menemani sang suami, Rangga Almahendra mengenyam pendidikan di Austria, Eropa pada tahun 2008. Di Austria ia mulai menulis buku pertamanya berjudul Menapak Jejak Amien Rais pada tahun 2009. Untuk menyelesaikan buku itu, Hanum membutuhkan waktu 6 bulan.

Namun, siapa sangka jika cerita asal mula Hanum menjadi penulis berawal dari keterpaksaan? Hanum menceritakan kepada brilio.net pada Selasa (22/12), bahwa Hanum awalnya terpaksa menjadi seorang penulis.

"Awalannya justru karena keterpaksaan, waktu itu di Austria saya tidak bisa bekerja karena tidak boleh. Jadi, izin permitnya itu kayak KTP kita ada tertulis, 'anda tidak boleh bekerja' karena hanya ikut suami," jelas Hanum.

Selain karena pemerintah Austria melarang Hanum untuk bekerja, hanum juga tidak bisa melanjutkan pendidikannya di bidang yang baru. Sebelumnya, Hanum mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan program kedokteran gigi, namun ia justru ingin melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi saat di Austria. Sayangnya untuk mengenyam peididikan di bidang yang baru, pemerintah Austria tidak memperbolehkan karena ada peraturan harus sesuai dengan pendidikan sebelumnya ketika program sarjana.

"Saya mau ambil jurusan komunikasi aja S2, tapi itu nggak boleh. Ternyata harus sesuai dengan S1-nya. Kalau tidak sesuai dengan S1, ya berarti kamu harus ngulang dari awal. Sementara sekolah jurnalistik gitu harus 6 tahun," tutur Hanum.

Dirinya tidak mau mengulang dari awal, karena waktunya di Austria hanya dari 2008 hingga 2011. Awalnya, Hanum berpikiran ingin melanjutkan studi untuk mengisi waktu luang saat suaminya kuliah.

Hanum yang saat itu tidak memiliki pekerjaan akhirnya disarankan oleh suaminya, Rangga untuk menulis. Buku pertama yang ditulis adalah Menapak Jejak Amien Rais. Buku yang mengisahkan tentang perjalanan dari ayahnya sendiri. Sebelum ikut suami ke Austria dan menjadi penulis, Hanum juga pernah menjadi seorang reporter di salah satu stasiun TV swasta. Dirinya sudah mulai jatuh cinta pada dunia jurnalistik dari seringnya menonton acara berita dari CNN, BBC, dan Aljazira. Dirinya menganggap profesinya yang tidak sejalur dengan latar belakang pendidikannya adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan untuknya.

Setelah merilis buku Menapak Jejak Amien Rais, Hanum menulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika yang selanjutnya menjadi buku yang meraih kesuksesan dengan menyandang predikat best seller. Kedua buku tersebut bahkan diangkat ke layar lebar dengan judul sama. Menggandeng Acha Septriasa dan Abimana Arya sebagai pemeran utama, kedua film tersebut juga meraih kesuksesan yang tak kalah dari versi novelnya.

Untuk meraih hal tersebut, Hanum tidak mendapatkannya dengan cara instan. Dirinya mempromosikan bukunya pada beberapa produser film terkenal supaya novel tulisannya bisa diangkat menjadi film layar lebar. Hanum mengaku terinspirasi dari beberapa novel yang saat itu banyak difilmkan, seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi dan lain sebagainya.

"Waktu itu novel difilmkan itu lagi ngetrend, kaget ada produser ngedatengin kita, tau tentang buku 99 Cahaya itu dan dia waktu itu bilang mau mem-film-kan," kata Hanum.

Namun karena produser tersebut memiliki budget terbatas untuk membuat film yang membutuhkan shooting ke luar negeri, Hanum pun menolaknya dan mencari produser lain yang lebih mampu membuat film ini sesuai dengan isi novelnya supaya dapat tervisualisasi dengan tepat.

"Kok sayang sekali kalau filmnya dibikin hanya seadanya. Akhirnya dari situlah saya justru memulai mencari produser, saya pitching gitu," lanjutnya.

Hanum berpikir jika ada satu produser tertarik mengangkat cerita novelnya jadi film, berarti masih ada produser lain yang kemungkinan besar juga memiliki keinginan yang sama. Dari keyakinan ini ia akhirnya menemukan produser yang tepat untuk membuat film 99 Cahaya di Langit Eropa. Bahkan menjadi film dengan anggaran termahal kala itu yang dirilis oleh Maxima Pictures.

"Punya cita-cita itu kita yang harus jemput, bukan kita yang dijemput," kata Hanum.

Hanum tak menyangka bahwa berawal dari keterpaksaan bisa membawanya sukses menjadi seorang penulis terkenal. Dalam perjalanannya menjadi seorang penulis, Hanum menemukan suka duka yang harus ia lewati.

"Dukanya ya kalo nggak dapat ide, butuh effort. Kalau sukanya lebih kepada proses menyalurkan emosi ya," tuturnya.

Saat tidak memiliki ide, Hanum pun mencari cara supaya ide itu datang dan berkembang. Hanum memilih menonton film di Netflix bersama suami, berdiskusi, membaca, serta melihat foto dan video. Hal ini ia lakukan saat menulis novel berjudul I am Sarahza. Novel ini mengisahkan perjuangannya dengan Rangga untuk memiliki keturunan. Hingga akhirnya, setelah 11 tahun penantian, Hanum dan Rangga dikaruniai seorang putri bernama Sarahza.

Memutuskan jadi Anggota Dewan

cara Hanum Rais tentukan passion © 2020 brilio.net

foto: Hanum Salsabiela Rais

Kurang lebih 9 tahun menjadi seorang penulis, akhirnya Hanum terjun ke dunia politik. Pada tahun 2019 lalu, Hanum Rais dilantik sebagai anggota DPRD DIY. Dirinya mencoba terjun ke dunia politik karena merasa bisa berkontribusi lebih banyak untuk masyarakat, selain itu ia juga ingin melanjutkan perjuangan sang ayah di dunia politik.

"Kalau bisa, perempuan harus punya andil," kata Hanum.

Keputusannya menjadi seorang DPRD tentu mendapat dukungan penuh dari suami dan ayahnya yang jauh lebih dulu berkecimpung di dunia politik. Peran Amien Rais dalam perjalanan karier Hanum tentu sangat banyak. Dari mulai menjadi penulis hingga menjadi anggota dewan, ia mendapat dukungan dari sang ayah. Dukungan tersebut ditunjukkan dengan cara Amien Rais menjadi profreader novel-novel buatan Hanum.

Meski sudah menjadi politisi, Hanum tetap mempertahankan passionnya di bidang menulis. Dia mengusahakan dirinya setiap hari tetap bisa menulis, membaca untuk memperkaya wawasan dan idenya.

"Sekarang seminggu 6 jam, padahal dulu sehari 6 jam untuk membuat karya," kata Hanum.

Dirinya harus pintar mengatur waktu supaya pekerjaannya saat ini dengan passion yang ia miliki tetap bisa berjalan beriringan.

Tips memilih passion

cara Hanum Rais tentukan passion © 2020 brilio.net

foto: Hanum Salsabiela Rais

Dengan pekerjaannya yang sekarang, Hanum membagikan pesan dan tips kepada generasi milenial supaya tidak salah memilih dan menentukan passion mereka.

"Pesan saya, sedini mungkin sudah bisa mengidentifikasi passion. Passion saya apasih? apa yang saya sukai dan apa yang membuat saya berharga," tutur Hanum.

Cara mengidentifikasi passion ini bisa dilakukan dengan cara mengukur kemampuan diri. Seperti Hanum yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang kesehatan justru memilih bidang jurnalistik, tulis menulis sebagai passionnya.

"Passion itu, kamu harus suka dan kamu bisa. Didukung dengan penghargaan dari orang sekitar berbentuk apresiasi," pungkasnya.