Brilio.net - Nama Sha Ine Febriyanti boleh jadi nggak terlalu dikenal generasi milenial. Maklum, selebritas era 1990-an itu terlalu cepat mundur dari dunia layar kaca. Tapi di zamannya, perempuan kelahiran 18 Februari 1976 itu lumayan ngetop lho. Perempuan yang memulai karier menjadi cover majalah Mode 1992 itu pernah berperan dalam sinetron Darah Biru.

Nggak tanggung-tanggung, saat itu Ine beradu peran dengan aktor senior Sophan Sophiaan. Setelah itu Ine bermain dalam telesinema Siluet (1996) garapan sutradara Aria Kusumadewa. Berkat kemampuan aktingnya, Ine kembali dilibatkan dalam sinetron Dewi Selebriti (1997).   

Ine Teater © 2018 brilio.net

Nggak cuma di layar kaca, Ine juga mengasah kemampuannya di layar lebar dengan berperan dalam film Beth pada 2002, juga karya sutradara Aria Kusumadewa. Namun setelah itu nama Ine jarang tampil di dunia sinetron.

Rupanya sejak 1999, Ine mulai menggeluti dunia teater. Saat itu ia terlibat dalam sebuah lakon Miss Julie karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg. Inilah yang menjadi tonggak karier Ine menggeluti dunia teater. Lakon Miss Julie kembali dipentaskan pada 2012.

Ine Teater © 2018 brilio.net

Tapi kenapa ya Ine lebih memilih dunia teater ketimbang sinetron yang notabene lebih banyak mendatangkan keuntungan finansial? Bagi Ine “tersesat” di dunia teater membawa berkah tersendiri. Di era 1990-an Ine baru dua kali bermain sinetron. Namun dirinya berontak. Dalam benaknya, bukan sinetron yang dia cari.

“Investasi itu nggak selalu berupa uang. Dari teater saya mendapatkan apa yang disebut lebih dari uang. Mungkin pada awalnya saya dibilang selebritas tanggung. Saya memilih di dunia teater memang miskin. Kita latihan tiga bulan dibayar cuma tiga juta rupiah nombok pula. Tapi ternyata dari perjalanan saya itu dapat memetik hasilnya,” ujar Ine.

Ine Teater © 2018 brilio.net

Menurut Ine, jika dirinya memilih jalur sinteron, maka dia merasa tidak bakal memiliki semangat berkesenian. Padahal dulu ia banyak menerima tawaran bermain sinteron, namun ditolaknya. “Dikenal relatif. Tapi saya tidak akan punya semangat. Saya memilih terjun ke dunia teater, Investasi saya ternyata terbayar sekarang,” tegasnya.

Sekadar informasi nih. Ine pertama kali bermain teater di Teater Lembaga di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) saat membawakan lakon Miss Julie lewat  Teater Lembaga. Inilah ruang yang tepat untuk Ine mulai berteater.

Ine Teater © 2018 brilio.net

Ia juga teringat wejangan mendiang budayawan WS Rendra yang pernah berkata, antara sinetron, teater dan film itu berbeda proyeksinya. Teater proyeksinya ruang. Pemainnya berinteraksi dengan ruang. Sinetron proyeksinya besar karena akan bermain di televisi dan penontonnya lebh riuh makanya harus menunjukan ekpresi yang lebay untuk menarik penonton. Sementara di film proyeksinya lebih berdasarkan kehidupan sehari-hari.

“Setiap ruang itu punya energi yang beda. Kita pernah main di tempat yang sangat tidak kondusif untuk sebuah pertunjukkan. Monolog pula. Ini sangat tergantung dengan sound. Jika nggak dapat sound yang bagus habis saya,” kisahnya.

Ine Teater © 2018 brilio.net

Nggak cuma sekadar berteater, Ine pun menggeluti dunia monolog. Jalur yang satu ini justru lebih menantang. Ine bercerita setiap berteater selalu membuat dirinya mual. Malah saat membawakan monolog Warm karya Ronan Chenau garapan sutradara David Bobbee pada 2013 silam membuat dirinya nggak bisa tidur.

Bedanya, ketika bermain teater ia akan berbagi panggung dengan pemain lain. Sedangkan monolog harus menguasai panggung sendirian. Ine berkisah saat mempertunjukan monolog Surti dan Tiga Sawunggaling (2011) di mana tingkat kesulitannya ia harus membuat penonton tidak berkedip atau lengah selama pentas.

Ine Teater © 2018 brilio.net

“Saya harus menjaga intensitas sangat kuat. Ketika main monolog beberapa kali dan saat main beramai-ramai saya jadi bego lagi. Karena harus berbagi peran dengan yang lain kalau yang lain tidak memiliki intensitas yang sama dengan saya maka saya seperti kehilangan,” paparnya.

Karena itu, dalam setiap aktivitas berkeseneian Ine harus adjustment lagi. Ia tidak ingin memperlihatkan segudang pengalaman yang pernah dilaluinya.

Menurutnya, seorang aktris tidak boleh merasa superior. Bagi Ine, teater adalah sarana mengeksplor potensi dirinya sekaligus sekolah gratis karena banyak pelajaran yang bisa ia ambil dari kegiatan itu. Ine pun merasa keputusannya menggeluti dunia teater tidak pernah salah.