Cara menjaga kualitas rasa

Untuk menjaga rasa makanan yang dijual tetap lezat, setiap hari Bu Rum dibantu anak-anaknya memasak sendiri sayuran dan ayam yang akan dijual. Tidak ada karyawan yang membantu di dapur, semua dilakukan secara gotong royong oleh keluarga. 

"Kalau pagi itu masak nasi, sayur, itu udah ditandangi (dikerjakan). Nek (kalau) nggak ya anak dan mantu yang masak. Jadi nggak jagake (mengandalkan) harus pegawai yang masak. Soalnya nanti rasanya itu, yang dijaga rasa." jelas Bu Rum.

Bumbu geprek di Bu Rum sendiri bisa dibilang sederhana. Cuma cabai, bawang, garam, msg (penyedap). Tidak ada resep paten atau rahasia dari Bu Rum, namun semuanya dibuat sendiri baru kemudian dijual. 

“Semua bumbu kita bikin sendiri termasuk untuk toping kecuali keju masih beli. Kalau yang toping itu semua orang bisa bikin jadi nggak paten,” katanya.

ayam geprek bu rum © berbagai sumber

foto: brilio.net/Hapsari Afdilla

Kelezatan ayam geprek milik Bu Ruminah ini juga diakui oleh dua pembeli bernama Khansa Nabila dan Ida setyaningsih. Keduanya sudah pernah makan sejak mereka masih jadi mahasiswa. Dua pembeli ini bahkan punya menu kesukaan masing-masing ketika makan di warung Geprek Bu Rum. 

“Ayam geprek cabe setengah soalnya ga doyan pedes, pas itu makan dada gepreknya sih enak yaa,” kata Khansa.

Senada diungkapkan pembeli lainnya, Ida, “Enakkk, empukk, yg sambal ijo menurutku gabegitu pedes walopun cabe 15 masih bisa kuganyang alias dicemilin.” 

Walaupun pada saat itu warung makan Bu Rum selalu ramai, namun untuk pelayanannya cukup cepat. Porsi ayam geprek Bu Rum dibanderol Rp 14.000. Walau begitu, pembeli bisa mengambil nasi dan sayur sepuasnya karena sistem yang dipakai adalah prasmanan. Setiap pembeli yang datang bisa langsung mengambil piring, nasi, dan bagian ayam apa yang ingin digeprek. 

Per hari 90 kg ayam dan 3 kg cabai

ayam geprek bu rum © berbagai sumber

foto: brilio.net/Hapsari Afdilla

Sambil mengenang masa lalu, Bu Rum bercerita bahwa dulu dalam sehari dia bisa menggeprek sebanyak 60 kilogram ayam. Bahkan ketika persaingan masih sedikit, dalam sehari bisa sampai 80-90 kilogram ayam. Namun sekarang ini setiap gerai hanya memasak 30 kilogram ayam per harinya.

"Waktu ibu masih seger (muda), sehari bisa geprek 60 kilo ayam. Belum nanti kalau jam 1 jam 2 udah habis, nambah. Kadang-kadang sehari bisa 80-90 kg. Tapi itu kan baru satu warung. Tapi karena saya udah buka cabang banyak, jadi ya sudah berkurang. sekarang sehari cuma 30 kilo ayam,” lanjut Bu Rum.

Jenis ayam yang dipakai untuk menu ini adalah ayam potong. Mereka mengambil pasokan ayam dari dua supplier. Sementara itu setiap hari Warung Geprek Bu Rum bisa menghabiskan cabai sampai 3 kilogram, namun jumlah ini tergantung dengan jumlah pesanan dari konsumen. Semua kebutuhan bahan masak seperti bumbu dapur, sayur, di beli pedagang langganan di pasar.

Lebih lanjut, Bu Rum menjelaskan ketika harga cabai sedang mahal-mahalnya, maka setiap pembeli yang meminta cabai lebih dari 5 biji makan akan dikenakan charge. 

“Jadi kalau naik harga cabai dibatasi. Kalau lebih dari 5 kena charge. Bukan kita jualan cabai, tapi buat melancarkan (balik modal)." terangnya.

ayam geprek bu rum © berbagai sumber

foto: brilio.net/Hapsari Afdilla

Bagi orang luar, mungkin kesuksesan Bu Rum ini terasa mudah dicapai. Namun di balik itu, butuh waktu dan usaha keras bagi Ruminah untuk membuat warung ayam gepreknya sebesar sekarang. Bukan cuma persaingan yang kini semakin ketat. Ketika pandemi, 6 gerai ayam geprek miliknya harus tutup selama 3 bulan. 

Belum lagi jika harga sembako naik, seperti cabai, beras, tepung, minyak, dan sebagainya. Hal itu membuat Bu Rum dilema apakah harus menaikkan harga atau tidak. Sebab diakui oleh Bu Rum, banyak konsumen yang komplain meski cuma naik Rp 500 saja.

Tantangan lain yang dihadapi Bu Ruminah selaku pemilik saat ini adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang dirasa kurang optimal dalam bekerja. "Kalau karyawan dulu cuma 3 mbak. Tiga aja dulu udah merantasi (multitasking) nek jaman biyen ki (kalau zaman dulu). Kalau semua ini udah baru, makanya pada manja-manja. Kalau yang dulu itu sampai boyok-boyokan (pegal-pegal)." ujar Bu Rum. 

ayam geprek bu rum © berbagai sumber

foto: brilio.net/Hapsari Afdilla

Walau begitu, Bu Rum tidak pernah menganggap karyawannya sebagai atasan dan bawahan. Dia lebih suka menyebutnya sebagai rekan kerja. Karena bagaimana pun dia membutuhkan tenaga kerja mereka, begitu juga mereka yang membutuhkan uang dari bekerja. 

foto: brilio.net/Hapsari Afdilla

Dari bisnis ayam geprek ini bis mengantarkan Bu Rum dan anak-anaknya kini bisa punya tempat tinggal nyaman sendiri. Empat anaknya yang sudah menikah sekarang tinggal di rumah masing-masing. Sementara itu, Bu Rum dan suaminya menetap di Berbah sambil membuka warung ayam geprek di sana.