Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

Brilio.net - Salah satu momen mengejutkan yang terjadi pada babak grup Piala Dunia 2022 adalah lolosnya Timnas Maroko ke babak 16 besar. Tim berjuluk The Lions Atlas ini tak disangka mampu memuncaki klasemen grup F tanpa mengalami kekalahan satupun dalam tiga pertandingan.

Maroko bermain imbang saat melawan Kroasia, sukses menaklukkan generasi emas Belgia, dan menang melawan Tunisia. Di babak 16 besar, Maroko akan menghadapi Spanyol pada Selasa (6/12) mendatang.

Salah satu kunci dari kesuksesan Maroko di fase grup adalah kehadiran Hakim Ziyech. Pemain berusia 29 tahun ini menjadi salah satu motor serangan Maroko dengan berhasil menorehkan dua assist gol.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: Twitter/@FIFAWorldCup

Hakim Ziyech adalah seorang gelandang paling kreatif yang pernah dimiliki Maroko. Kiprahnya di klub-klub Eropa menjadikan dirinya matang secara permainan kala membela The Lions Atlas di Piala Dunia Qatar 2022.

Namun, ada sisi lain yang barangkali perlu kamu ketahui terlepas dari aksi gemilangnya bersama Timnas Maroko. Perjalanannya untuk menjadi pesepak bola sukses seperti sekarang tidaklah mudah.

Hakim Ziyech lahir pada 19 Maret 1993 di Dronten di Belanda. Dia adalah anak bungsu dari 9 bersaudara yang lahir dari ibu asli Maroko dan ayah asli Belanda.

Ziyech muda tumbuh di kampung halamannya di Dronten bersama kakak laki-lakinya, Faouzi Ziyech, seorang saudara perempuan dengan nama panggilan Jam Ya dan enam saudara kandung lainnya yang tidak banyak diketahui.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: lifeblogger.com

Latar belakang keluarganya yang cukup miskin membuat Ziyech tak punya banyak fasilitas untuk menghabiskan masa mudanya. Saat berusia lima tahun, hiburannya sebagai anak-anak hanya bermain sepak bola jalanan bersama kakak laki-lakinya. Diketahui, ia merupakan pemain sepak bola jalanan yang luar biasa pada saat itu.

Pada usia lima tahun itu, Ziyech mulai bergabung dalam akademi sepak bola. Pada 2001, dia bergabung klub lokal bernama Reaal Dronten. Namun, ketika Ziyech sedang asyik-asyiknya merajut mimpi, sang ayah meninggal lantaran mengidap multiple sclerosis, yakni gangguan saraf pada otak, mata, dan tulang belakang.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

Hakim Ziyech mampu bangkit dari keterpurukan berkat keluarganya

Dilansir brilio.net dari AD.nl, Sabtu (3/12), Ziyech mengungkapkan momen kepergian sang ayah untuk selama-lamanya ini menjadi momen yang begitu emosional baginya.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: lifeblogger.com

"Saya ingat betul, saat itu musim dingin, tepat setelah Natal. Ayah saya berada di tempat tidur di ruang tamu. Dia telah sakit selama beberapa waktu, semakin buruk. Saya harus tidur malam itu, tetapi saya ingin tinggal bersamanya," ujar Ziyech.

"Akhirnya saya tertidur di tepi ranjangnya. Sekitar tengah malam, saya bangun dan pergi ke kamar saya. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 03.00, saya mendengar anggota keluarga menangis di lantai bawah. Saya pergi ke ruang tamu. Ayah saya sudah meninggal," tambah pemain yang kini membela Chelsea itu.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: lifeblogger.com

Momen itu terjadi saat Hakim Ziyech masih berusia 10 tahun. Ditinggal oleh sang ayah, membuat dirinya begitu terpukul. Ziyech menjadi anak yang lesu. Tidak lagi bersemangat bermain bola, bahkan dirinya sampai putus sekolah.

Ditinggal oleh kepala keluarga, ibunda Ziyech pun harus banting tulang untuk menghidupi 9 anaknya seorang diri. Itu juga yang kemudian membuat Ziyech putus asa untuk mengubur mimpinya menjadi pesepak bola profesional.

Namun, berkat motivasi sang ibu perlahan-lahan Ziyech mampu berdamai dengan keadaannya dan mulai kembali latihan bersama akademi sepak bola Reaal Dronten pada 2001-2004 dan di akademi ASV Dronten pada 2004-2007.

Selain mengasah pengetahuan sepak bola di akademi, kemampuan Ziyech juga ditempa dengan permainan sepak bola jalanan. Mentalnya jadi kuat. Dirinya tak gentar untuk beradu fisik dengan pemain yang lebih tua dan berpostur lebih besar darinya.

Dikutip brilio.net dari Mirror, Ziyech mengaku kematian sang ayah saat usianya masih anak-anak justru menguatkan mentalnya kelak sebagai seorang pesepak bola saat dewasa.

"Saya tidak membutuhkan pelatih mental untuk tetap kuat. Saya telah melalui banyak hal dalam hidup saya. Kehilangan seorang ayah adalah hal terburuk yang bisa terjadi pada seorang anak laki-laki. Segala sesuatu yang terjadi selanjutnya dalam hidup adalah relatif," ungkap mantan pemain Ajax Amsterdam itu.

Titik balik Hakim Ziyech pada masa-masa setelah ayahnya meninggal adalah kala ia bertemu dengan Aziz Doufikar. Aziz adalah mentor sekaligus guru yang membimbingnya untuk tetap merawat mimpi menjadi pesepak bola profesional.

Aziz Doufikar adalah pemain Maroko pertama yang merumput di Eredivisie Belanda. Doufikar membimbing Ziyech ketika mengalami banyak masalah pada masa kecil. Karena Doufikar, Ziyech tetap menjaga fisiknya dengan memutuskan tidak merokok dan meminum minuman beralkohol meskipun mengalami stress pada masa mudanya.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: lifeblogger.com

Selain Aziz Doufikar, Hakim Ziyech mampu bangkit dari keterpurukan berkat keluarganya. Ibu dan saudara-saudaranya selalu mendukung mimpinya dan selalu memberikan motivasi untuk terus maju. Kegagalan dua kakak laki-lakinya sebagai pemain sepak bola profesional turut menjadi motivasi bagi Ziyech sebagai anak bungsu untuk mampu mewujudkannya.

Setelah lima tahun menempa diri di akademi junior, Ziyech berhasil memulai karier profesionalnya bersama klub SC Heerenveen pada usia 19 tahun. Dirinya melakukan debutnya di Eredivisie pada Agustus 2012.

Di SC Heerenveen, Ziyech berhasil menorehkan 11 gol dari 36 penampilan selama dua musim. Penampilan anak muda itu menarik minat FC Twente untuk merekrutnya. Di musim pertamanya bersama FC Twente, penampilan Ziyech sangat impresif. Dirinya menjadi perbincangan publik Belanda setelah berhasil menorehkan 11 gol dan 5 assist.

Di musim selanjutnya, Ziyech menggunakan nomor punggung sepuluh dan dipercaya menjadi kapten The Tucker, julukan FC Twente. Di musim terakhirnya ini, ia membukukan 17 gol dan 10 assist.

Performa luar biasa itu, membuat klub tersukses di Belanda, Ajax Amsterdam kepincut untuk mendatangkan Hakim Ziyech. Di klub ini, bersama deretan talenta muda penuh bakat seperti Frenkie De Jong, Matthijs de Ligt, Donny Van De Beek, dan David Nerres, Ziyech berhasil menyabet berbagai prestasi di liga sepak bola kasta teratas Belanda.

Dari musim 2016-2020, Hakim ziyech membantu Ajax untuk memenangkan empat gelar mayor di level domestik maupun Eropa.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: english.ajax.nl

Musim 2017-2018 adalah puncak dari gemilangnya performa Hakim Ziyech. Dirinya terpilih menjadi pemain Belanda terbaik. Saat acara penghargaan, Ziyech mengajak ibunya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan bersama-sama. Sebab, bagi Ziyech doa dan motivasi dari ibunya yang telah membawanya mencapai titik tersebut.

"Saya ingin berterima kasih kepada semua orang. Tapi khususnya kepada ibu saya. Kamu memberi saya kekuatan. Jika bukan karenamu mungkin hidup saya sudah berakhir. Hadiah ini untukmu," ujar Ziyech dikutip dari situs resmi Ajax Amsterdam.

Usai melewati karier gemilang bersama Ajax, Hakim Ziyech direkrut oleh salah satu klub kaya asal London, Inggris yakni Chelsea pada 2020 lalu. Bersama klub London Barat ini, Hakim Ziyech sampai saat ini telah membukukan 51 penampilan dan torehan 6 gol.

Hakim Ziyech: Jika bukan karena ibu, saya sudah berhenti untuk hidup

foto: Twitter/@brfootball

Di level Timnas Maroko, pemain kelahiran Belanda ini sudah mengabdi kepada negara leluhurnya dengan memainkan 46 pertandingan dan 19 gol. Dirinya saat ini tengah bersiap untuk bermain di babak 16 besar Piala Dunia 2022 menghadapi Tim Matador Spanyol pada Selasa (6/12) mendatang.

(brl/jad)