Brilio.net - Bagi beberapa orang, kehidupan pondok pesantren tak terlalu menarik atau bahkan menakutkan. Itulah yang menjadi alasan seorang Dio (nama samaran), pria asal Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan, semula menolak keras keinginan orangtua memasukkannya ke pondok pesantren. Namun, pria yang kini berusia 20 tahun tersebut mengenang pengalaman seru saat dirinya menimba ilmu di sebuah pondok pesantren yang beralamatkan di Desa Purwosari, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

"Semula saya melihat kehidupan kakak saya di pondok pesantren itu dimarahi dan dipukuli. Tapi ternyata setelah masuk ke sana, banyak hal seru bersama kawan-kawan," kata Dio kepada brilio.net melalui layanan story telling bebas pulsa ke 0-800-1-555-999, Kamis (7/1).

Dio tak menampik ada kalanya dia mendapat hukuman saat melakukan kesalahan misalnya salah dalam menghafal pelajaran kosakata bahasa Arab atau justru melanggar aturan. Pria yang masuk pondok pesantren selepas kelas 6 SD ini mengaku pernah minggat bareng kawan-kawannya pulang ke rumah. Kala itu, dia duduk di bangku kelas 3 Madrasah tsanawiyah atau MTs (setingkat Sekolah Menengah Atas/SMP).

Kalau biasanya selepas musim ujian selesai, semua santri boleh pulang, ternyata kali itu belum boleh karena masih ada sekolah diniyah sore yang harus dijalani. Nah, nekatlah Dio dan banyak kawannya minggat.

"Waktu itu ada mungkin 10 orang. Akhirnya, ya kami dihukum dengan kepala dibotakin dan disuruh bayar denda berupa semen satu hari dua sak. Belinya terpaksa pakai uang jajan sendiri," sambungnya sambil tertawa mengenang kekonyolan yang sempat dia lakukan semasa itu.

Selain hukuman kepala diplontos dan membayar denda, Dio menyampaikan bahwa bentuk hukuman lain untuk santri yang tak taat bisa jadi direndam di got, disiram air got, atau dipukul dengan seadanya benda di sekeliling yang memberi hukuman. "Memang sih, hampir mirip kayak militer, tapi semua itu demi mendidik kami menjadi lebih baik," ujar pria yang menjalani kuliah semester 5 Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Selain kisah konyol dan menegangkan seperti di atas, Dio juga menyampaikan sisi seru saat di pondok pesantren selama enam tahun. Menurutnya, sekalipun di pondok harus makan seadanya dan makanannya terkesan hancur, dia dan kawan-kawan tetap gembira.  

"Kadang itu lauk telor yang dibagi dua, terus sayur terong yang bentuknya hancur, atau mi putih yang dimasak kering banget atau malah direbus tapi kuahnya kebanyakan," kelakar Dio.

Kisah lucu juga pernah dialami Dio. Saat itu selepas salat maghrib di masjid pondok pesantren, lampu mati. Teman Dio yang paling jahil bercanda dengan menarik-narik orang di depannya. Tapi siapa sangka kalau itu anak kiai pondok pesantren sekaligus ustaz mereka sendiri.

"Waktu itu kami semua ketawa. Ustaznya juga ikutan ketawa. Eh, habis itu, kondisi masih mati lampu dan di tempat dan waktu yang sama, saya juga nggak sadar narik-narik si ustaz. Ustaznya untung baik," ujarnya.

Masih banyak kisah yang menurut Dio begitu membekas dalam hati dan benaknya. Dia juga mengambil sisi positif dia 'dijebloskan' ke pesantren oleh orangtuanya. Dia lebih bisa menghargai arti persahabatan. Pasalnya, di pondok pesantren, dia banyak berbagi bersama kawan, ngaji bareng, makan bareng, dihukum bareng, saling tolong, dan masih banyak lagi.

Selain itu, Dio juga berterima kasih kepada ustaznya. "Saya mau berterima kasih pada pimpinan pondok dan terutama pada ustaz yang membimbing saya, Ustaz Abu Darda' yang telah mengajari saya banyak ilmu agama."

Cerita ini disampaikan oleh Dio melalui telepon bebas pulsa Brilio.net di nomor 0-800-1-555-999. Semua orang punya cerita. Ya, siapapun termasuk kamu punya kisah tersembunyi baik cerita sukses, lucu, sedih, inspiratif, misteri, petualangan menyaksikan keindahan alam, ketidakberuntungan, atau perjuangan hidup yang selama ini hanya kamu simpan sendiri. Kamu tentu juga punya cerita menarik untuk dibagikan kepada kami. Telepon kami, bagikan ceritamu!