Brilio.net - Pondok pesantren khusus waria ini sulit ditemukan duanya. Ponpes Waria Al Fatah Senin-Kamis itu pendiriannya sebenarnya secara kebetulan saja pada tahun 2008 oleh almarhumah Maryani dan Shinta Ratri. Ketika itu, mereka melihat antusiasme para waria Yogyakarta dalam doa bersama bela sungkawa korban gempa bumi Yogya tahun 2006. Semenjak melihat ketulusan para waria ini terpikirlah untuk mengabadikan kegiatan semacam ini.

"Rasanya sayang kalau bubar begitu saja," terang Shinta kepada brilio.net, Selasa (9/12).

Ponpes waria di Jogja, sempat tertatih karena bingung nyari ustaz

Ponpes waria di Jogja, sempat tertatih karena bingung nyari ustaz

Singkat cerita, lewat jasa Kiai Hamroli Harun serta notaris yang terbiasa membantu kaum marjinal Suparyatun, Maryani dan Shinta memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren. Ide itu didapat dari kiai, sedangkan akta notaris dibuatkan secara cuma-cuma oleh Suparyatun, sementara Maryani yang mencarikan dana dan tempat, dan Shinta menjaring para waria untuk ikut ngaji di pesantren.

Sejak 2008 sampai 2014, pondok pesantren ini bertempat di kampung Notoyudan, Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta. Tempat itu merupakan rumah yang dikontrak Maryani sebagai pimpinan pesantren pada waktu itu. Sepeninggalnya Maryani pada Maret 2014, Shinta yang meneruskan kepemimpinannya dan menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat berikutnya, yakni di kampung Celenan, Jagalan, Kota Gedhe, Yogyakarta.

Sebelum ditinggal Maryani, pesantren ini lebih dahulu ditinggal Kiai Harun. Terpaksa para santri harus mencari ustaz atau cendekiawan untuk suka rela mengajari mereka tentang agama. Oleh sebab itu beberapa kali mereka sempat vakum dari kegiatan. Hingga akhirnya peran Kiai Harun digantikan Kiai Muhaimin, yang juga ketua Forum Persatuan Umat Beragama.

Ponpes waria di Jogja, sempat tertatih karena bingung nyari ustaz

Ponpes waria di Jogja, sempat tertatih karena bingung nyari ustaz

Shinta mengaku, visinya ke depan sebagai penerus perjuangan adalah merestrukturisasi pesantren serta mempertajam manajemen pengelolaannya. Menurut alumni Fakultas Biologi UGM ini, kelemahan selama ini adalah pengorganisasiannya. Sementara dirinya sedikit banyak tahu tentang urusan organisasi. "Sehingga dulunya kami saling melengkapi," tutur waria berusia 53 tahun ini.

Berkat kerja keras dan visinya itu, kini pesantrennya semakin kuat menunjukkan keberadaanya. Selain rutinitas pengajian mingguan, pesantren ini banyak mengadakan kegiatan untuk merayakan hari-hari besar Islam. Dan yang lebih bagus lagi adalah terbukanya kerja sama dengan beberapa institusi-institusi akademis maupun pergerakan di Yogyakarta dan sekitarnya.

Jumlah santri yang terdaftar di pesantren ini meningkat dari yang sebelumnya berkisar 20-an, sekarang menjadi 40-an. Pesantren ini memiliki enam ustaz relawan, tiga di antaranya adalah lulusan master, dan tiga lainnya lulusan sarjana. Tak heran, jika dalam perencanaan program mereka adalah membuat kurikulum kajian agama dalam perspektif dan paradigma kaum waria. "Kami mencari Tuhan, bukan mencari pertobatan," pungkasnya.