Brilio.net - Perjalanan hidup seseorang memang menjadi misteri. Orang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Begitulah perjalanan hidup Sandiman Nur Hadi Widodo (52), pendiri dan pengasuh pondok pesantren serta panti asuhan Al-Ghifari yang terletak di perkampungan Gontan, Desa Sidorejo, Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta.

Pria kelahiran 13 Oktober 1963 tersebut adalah mantan narapidana (napi). Sejak kecil hidupnya memang sudah jauh dari agama, walaupun sebenarnya dia adalah pemeluk Islam. Di usia yang menginjak delapan tahun, anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah mahir bermain judi. Dunia hitam dia jalani sejak kecil, mulai dari mencuri, merampok, berjudi, mabuk, hingga bermain perempuan.

Rumahnya yang berlokasi tidak jauh dari sungai Progo dia tinggalkan ketika menginjak usia 13 tahun. Sandiman malang melintang memperdalam ilmu kejawen. Tidak sedikit dukun yang dia datangi untuk meminta jimat. Bahkan ilmu hitam pun pernah bersarang di tubuhnya.

"Dulu sampai berpuluh dukun saya datangi untuk minta ilmu kebal, Alhamdulillah sekarang sudah bersih semua," ujarnya menceritakan masa lalunya kepada brilio.net, Rabu (1/7).

Pada tahun 1980 Sandiman hijrah ke Jakarta. Karena tak punya pekerjaan, maka mulailah dia merampok untuk memenuhi kebutuhan. Namun uang hasil merampok tersebut digunakan untuk bermain perempuan nakal, judi, dan mabuk.

Tiga tahun merantau, pada tahun 1983 Sandiman pulang ke Kulonprogo. Di kampung halamannya, dia memperistri Ngadiyem yang merupakan tetangganya. Setelah menikah, bukannya sembuh malah kejahatan Sandiman semakin menjadi-jadi. "Karena sudah punya anak dan istri kebutuhan kan makin besar, jadi yang dirampok pun jadi makin besar nilainya," tuturnya.

Sandiman yang menjadi "jenderal" di komplotan perampok tidak pernah gagal menjarah rumah yang dirampoknya. Emas, uang tunai dan harta benda selalu dia bawa. Belakangan diketahui, sebelum merampok, ada ritual khusus yang harus dilakukan, seperti menghitung hari dalam kalender Jawa.

"Jadi ada pantangan tertentu. Misalnya hari itu ketemu 'ciloko' kalau merampok tidak boleh ke arah itu. Kalau tetap nekat nanti nggak dapat apa-apa," jelasnya.

Perampokan terakhir dilakukan Sandiman bersama komplotan di rumah pedangan emas. Hasilnya, Sandiman cs berhasil menguras perhiasan emas seberat tujuh kilogram. Selain itu, sejumlah uang tunai juga turut digasak.

Tapi aksinya kali ini berhasil diendus polisi. Aparat mengetahui pelakunya merupakan kelompok Sandiman. Maka, satu per satu perampok berhasil ditangkap. Mendengar teman-temannya ditangkap polisi, Sandiman melarikan diri ke Lampung.

Dia meninggalkan istri dan dua anaknya. Bahkan, polisi mengejarnya hingga ke Lampung dengan petunjuk orang yang paling dekat dengan Sandiman. "Saya digerebek di Lampung, tetapi lolos. Saya pergi melarikan diri ke Riau. Di sana saya ditangkap karena polisi diberitahu istri. Saya divonis empat tahun, masuk Lapas Wirogunan tahun 1995," kenangnya.

Selama menjalani masa hukuman, Sandiman coba-coba melaksanakan shalat. Namun jangankan bacaannya, gerakan shalat saja dia tidak bisa karena seumur hidupnya dia belum pernah sekali pun melaksanakan shalat.

Tapi dia tidak lantas putus asa. Niatnya untuk berubah menjadi orang yang lebih baik tersebut didukung oleh beberapa napi lainnya yang kemudian mengajarkannya shalat serta membaca Alquran. "Tapi ya nggak semua napi mendukung, banyak juga yang mengejek. Saya dibilang pengikut iblis kok shalat," ceritanya.

Sandiman sempat dikucilkan oleh keluarganya. Sang istri juga sempat menjadi TKW untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Dia hanya bisa pasrah memohon ampun pada Sang Pencipta. Setiap hari Sandiman semakin memperdalam agama Islam, bahkan karena sangat rajin belajar, dalam waktu tiga bulan dia sudah lancar membaca Alquran.

Kelakuan baiknya mendatangkan berkah tersendiri, Sandiman mendapat remisi selama satu tahun. Sehingga dia hanya menjalani hukuman penjara selama tiga tahun saja.

Setelah bebas, Sandiman berdakwah Islam di kampungnya didampingi oleh istri dan anak-anak yang sudah memaafkannya. Dia mengajak para tengangganya untuk shalat. Karena tidak ada masjid, Sandiman mewakafkan seluruh tanah seluas 1.400 meter persegi warisan orangtuanya untuk membangun Masjid Al-Ghifari. Di tanah itu juga berdiri bangunan untuk Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Al-Ghifari.

Sandiman merintis pondok pesantren yang sebagian diperuntukkan kepada anak yatim sejak 1999. Pada 2000, ponpes dan panti asuhan itu diresmikan.

Ponpes Al-Ghifari sendiri terdapat 40 santri tetap dan 48 santri pulang-pergi. Ada enam ustaz yang tinggal di ponpes tersebut. Seluruh santri tidak dipungut biaya. Biaya sekolah para santri tetap menjadi tangung jawab Sandiman. "Yang jelas saat ini hidup saya lebih bahagia dan tentram. Alhamdulillah Allah sudah turunkan hidayahnya pada saya saat di penjara," pungkasnya.

BACA JUGA:

Kisah Asmai kalahkan ratusan penyair berkat syair burung bulbul

Kisah kesederhanaan wali kota di tengah penduduknya yang pemberontak

Kisah keharmonisan antar umat beragama di zaman Rasulullah

Kisah Nabi Zakaria tak henti-hentinya berdoa akhirnya dikaruniai anak

Kisah Wali Sanga, alat musik tradisional bikin orang masuk Islam

Kisah perpindahan agama seorang panglima di tengah tengah perang

Kisah Perang Hunayn, kemenangan kaum muslim yang sempat tercerai berai