Brilio.net - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB,Iman Supriatna, mengatakan populasi kerbau Indonesia terganggu. Berdasarkan data BPS terjadi penurunan populasi sebesar satu juta dalam kurun waktu tiga tahun dan diperkirakan populasi hewan tersebut mendekati kepunahan pada 2031.

"Kalau kita ekstrapolasikan data dari BPS, maka pada tahun 2031 populasi ternak kerbau mendekati zero, istilah lainnya punah. Anak cucu kita tidak akan melihat kerbau lagi," kata Iman di Bogor, Selasa (8/12).

Dijelaskankannya, konsumsi daging di Amerika paling tinggi yakni 120,2 kg per kapita per tahun, Indonesia hanya 11,6 kg per kapita per tahun. Rasio ternak yang dimiliki per penduduk tertinggi diraih Australia yakni 1,2 dan Indonesia 0,065. Artinya seribu penduduk Indonesia hanya punya 65 ekor sapi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2011 hingga 2013 terjadi penurunan populasi sapi potong hingga 2,5 juta ekor dan ternak kerbau sebesar satu juta ekor.

"Namun situasi ini dapat kita cegah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk membantu mengembangkan populasi hewan ternak kerbau maupun sapi potong," terangnya sperti dikutip brilio.net dari Antara.

Lanjut dia, upaya mengembalikan populasi hewan ternak dapat dilakukan karena Indonesia memiliki bioteknologi reproduksi. Teknologi tersebut adalah Inseminasi Buatan (IB), transfer embrio (TE), in vitro fertilizer (IVF) dan transgenik (masih skala penelitian). IB untuk program pemulia-biakkan ternak memanfaatkan gen unggul. Semen atau mani disimpan dan diaplikasikan saat sapi kerbau sedang birahi.

"Teknologi ini untuk meningkatkan kapasitas pejantan unggul," ujarnya.

Menurutnya pejantan alami hanya bisa memberikan anak 80 ekor per tahun. Dengan IB, satu pejantan bisa memberikan 10 ribu hingga 25 ribu dosis semen. Dari angka tersebut, akan dihasilkan 13 ribut pedet pejantan unggul.

"Untuk mendapatkan pejantan unggul, diperlukan enam generasi atau sekitar 25 tahun," tutur dia.

Saat ini Balai Inseminasi Buatan, kata dia, memiliki 25 juta dosis semen sapi dan kerbau sebanyak 100 ribu dosis semen. Namun, perlu ada evaluasi kualitas terhadap IB. Tidak hanya IB, lanjutnya, teknologi lain yang berkembang saat ini adalah transfer embrio juga menjadi salah satu solusi. Para peneliti sudah memisahkan jenis sperma yakni sperma x dan y untuk menghasilkan pedet betina dan pedet jantan.

"Program ini sangat potensial, tetapi jika pengelolaan tidak terkendali akan menyebabkan 'inbreeding depression'. Tingkat keberhasilan memang belum 100 persen baru sekitar 80 persen. Namun capaian ini sudah bagus mengingat untuk menghasilkan pedet jantan secara alami peluangnya hanya 50 persen," katanya.

Solusinya, lanjut dia, dengan melakukan program twinning (kembar) melalui program transfer embrio, di antaranya transfer embrio duplet dan transfer embrio pada akseptor IB yang telah diinseminasi. Misalnya sapi yang sudah diaplikasi IB kemudian diaplikasi transfer embrio selama tujuh hari.

"Sehingga lahir kembar. Program ini menghasilkan pedet 20 persen lebih banyak dibanding jika menggunakan aplikasi kelahiran tunggal menggunakan IB saja atu TE saja," pungkasnya.