Brilio.net - Pengguna internet di setiap negara semakin tumbuh pesat. Wajar jika banyak media offline kini memusatkan perhatiannya ke media online.

Sayangnya, banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan celah ini untuk menyebarkan berita yang provokatif. Padahal, harusnya media bisa memberikan fungsi edukatif kepada pembacanya.

Toruwijaya, salah seorang netter (istilah pengguna internet), mengaku geram dengan keadaan maraknya media provokatif dan menyebarkan fitnah tersebut.

Wijaya, sapaan akrab Toruwijaya, seperti dikutip brilio.net, dari postingannya di Kaskus, Senin (24/8) mengatakan, saat ini sedang berlangsung pesatnya era internetisasi yang menjadikan makin tipisnya antara dunia maya dan dunia nyata.

Kini, untuk mencari informasi tidak melulu harus berlangganan dan menunggu koran pagi datang. Masyarakat dengan gawainya cukup menjelajah di dunia maya untuk mendapatkan informasi yang dicari.

Begitu mudahnya orang untuk berbagi kabar dengan sekali sentuh tombol share, berita akan tersebar mudah di beranda akun sosial. Jika kabar tersebut benar mungkin akan menambah informasi bagi yang lain. Sayangnya, jika berita tersebut tidak benar, maka justru merugikan. "Sama aja ikut serta dalam gerakan 'goblokisasi' serta 'hasutisasi'," kata Wijaya.

Wijaya menuturkan ada dua ciri mencolok dari sebuah media yang dianggapnya "abal-abal". Pertama adalah tidak adanya susunan redaksi dan yang kedua adalah isi artikel dimulai dengan "Judul Heboh", dan disertai dengan artikel yang memutar balikkan fakta.

"Di media abal-abal mana ada susunan redaksinya, silahkan cek. Jika tidak ditemukan redaksinya atau minimal kontak yang bisa dihubungi, berarti itu media abal-abal. Kalaupun ada tidak bakalan ada respons dari yang bersangkutan," tutur Wijaya sembari menyebutkan beberapa nama media yang dianggapnya abal-abal.

Seberapa penting sih redaksi? Wijaya mengatakan susunan redaksi itu penting sekali, karena bisa dikatakan bahwa ia merupakan jantung dari setiap kegiatan pers. Di redaksi inilah orang-orang yang bertanggung jawab dari seluruh artikel yang keluar.

"So, How do we prevent Civil War? Bagaimana kita mencegah perang saudara? Stop Sharing Those Stupid Articles! (Berhenti membagi artikel-artikel bodoh)," ujar Wijaya.

Menariknya, fenomena maraknya media abal-abal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Agustini, salah seorang warga Indonesia yang pernah tinggal di Amerika Serikat menuturkan, fenomena seperti ini juga terjadi di negeri Paman Sam, yang pernah ditinggalinya.

"Bedanya kalo di Indonesia memakai nama-nama agama mayoritas yang ada di Indonesia, jika di Amerika banyak yang memakai nama agama yang mayoritas di Amerika. Mereka memancing emosi orang dengan judul yang bombastis, menyebarkan kebencian, tidak memberikan celah untuk perbedaan," kata Agustini seperti dikutip dari akun sosialnya.