Brilio.net - Di salah satu sudut Jogja, ada satu kawasan yang terkenal dengan warung-warung penjual es dawet atau cendol. Tepatnya di pinggir Jalan Yogyakarta-Solo di daerah Prambanan. Dari semua warung yang berderet-deret, namun hanya ada satu warung pelopornya, yaitu milik Karno (50) yang diberi nama warung Ngudi Roso.

Sudah sejak tahun 1990, Karno memulai usaha ini. Dari situlah dia dapat menafkahi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya. Karno mengaku, awal dia menekuni usaha ini belum ada satupun warung es dawet yang ada. Kebanyakan pelanggan Karno justru berasal dari Solo dan Klaten.

"Jadi awalnya warung saya ini jadi tempat istirahat orang-orang yang bepergian dari Solo ke Jogja, karena kan daerah Prambanan memang pas tengah-tengah antara Solo dan Jogja. Pas orang capek-capeknya berkendara, mereka mampir minum dawet," ujar Karno saat ditemui brilio.net, Jumat (29/5).

Warungnya yang terus ramai tersebut kemudian menginspirasi warga sekitar sana untuk ikut berjualan dawet. Awalnya hanya satu dua orang saja, namun lama kelamaan minat menjadi pedagang es dawet semakin besar. Sehingga, tidak heran saat ini kawasan tersebut terkenal dengan kuliner es dawetnya.

Kisah dan cikal bakal es dawet Prambanan yang terkenal

Es dawet atau es cendol di sini beda dengan es dawet lainya, untuk dawetnya sendiri berwarna putih bening, bukan hijau seperti dawet pada umumnya. Ditambah dengan santan kental yang gurih dipadu dengan manisnya gula Jawa. Pembeli dapat menambahkan irisan tape ketan yang harum, sehingga menjadikan minuman ini begitu menyegarkan. Karno mematok harga es dawet yang dijualnya yakni Rp 2.500 per gelas.

Saat musim panas tiba, Karno bisa meraih omzet sebesar Rp 1 juta setiap harinya. Apalagi jika saat Lebaran tiba, keuntungan yang diperoleh Karno bisa empat kali lipat dari hari biasanya. Karno juga mengaku tidak pernah mempermasalahkan dengan adanya pesaing yang kian hari kian banyak. Dia percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur.