1. Home
  2. ยป
  3. Wow!
10 Januari 2024 22:23

Kisah komunitas santri yang larang terima kiriman orangtua, hidup sendiri dari menulis

Kalau tulisan yang dikirim ke media nggak dimuat, kadangkala nggak makan. Sidratul Muntaha
foto: Komunitas Kutub (arsip)

Brilio.net - Malam itu, di sebuah gang sempit yang tak jauh dari Jalan Parangtritis KM 7,5, berdiri sebuah bangunan kecil berpintu kaca. Meski terdiri dari dua lantai, interior bangunan tersebut sederhana. Berbentuk persegi panjang, satu sisi dindingnya dipenuhi rak buku yang penuh.

Bahkan, salah satu rak yang terbuat dari kayu hampir ambruk karena kelebihan muatan, dipenuhi majalah, novel, buku, hingga dokumen langka macam disertasi.

BACA JUGA :
Belajar mengaji Alquran dengan bahasa isyarat bersama Komunitas Muslim Tuli Yogyakarta


Ada apa gerangan bangunan tersebut dipenuhi buku. Bisa dibilang, buku memang aset utama bangunan tersebut. Terlebih, semua yang tinggal di sana adalah mahasiswa yang sehari-harinya hidup dari aktivitas literasi.

Tempat itu adalah basecamp Komunitas Kutub, komunitas sastra yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Hasyim Asyari.

BACA JUGA :
Kecelakaan hingga buta dan ditinggal istri, kisah sedih tukang pijat tuna netra ini bikin terenyuh

foto: brilio.net/Sidratul Muntaha

Komunitas sastra itu sebetulnya sudah berdiri lama. Ia merupakan bagian dari Pondok Pesantren Hasyim Asyari yang juga terletak di kawasan Jalan Parangtritis. Didirikan oleh (alm.) Zaenal Arifin Thaha--akrab disapa Gus Zaenal--pesantren tersebut menjadikan kajian sastra sebagai kajian pokok.

Saking eratnya hubungan pesantren tersebut dengan sastra, pesantren itu akhirnya mendirikan penerbit Kutub yang juga memiliki divisi kajian sastra. Divisi itulah yang nantinya bakal jadi embrio Komunitas Kutub yang dikenal hari ini.

Sekilas, Komunitas Kutub terlihat biasa saja. Mungkin ada yang menganggapnya sebagai komunitas mahasiswa sebagaimana umumnya. Namun, ada hal yang sedikit berbeda dari komunitas tersebut. Bagi yang pengin bergabung, mereka harus menjalani syarat cukup berat: tidak menerima kiriman dari orang tua sepeser pun.

Alhasil, anggotanya ditempa buat bertahan hidup sendiri. Karena kegiatan utama mereka adalah 'bersastra' dan kegiatan literasi lainnya, jadilah mereka menjadikan itu sebagai pegangan. Misalnya saja, anggota-anggotanya yang kebanyakan mahasiswa perantau kini masih mengandalkan honor dari koran untuk bertahan hidup.

Salah satunya Muhammad Ghufron, mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga yang tinggal di Komunitas Kutub. Dua bulan belakangan, opininya rutin dimuat di koran. November di Lombok Post, Oktober di Riau Pos, belum lagi di tempat-tempat lain.

Selain Ghufron, brilio.net juga bertemu dengan Rifdal Ais Annafis. Cerpen lelaki yang juga tinggal di Kutub itu pada September lalu bahkan dimuat di salah satu media nasional. Dari situ, ia mendapat honor sebesar Rp 1.100.000.

"Bisa buat setengah bulan," kata Ais sambil tersenyum.

foto: Instagram/@komunitas_kutub

Namun, itu masih secuil cerita. Belum sempat bercerita banyak, obrolan kami terpotong sebab Komunitas Kutub hendak menggelar kegiatan rutinnya setiap Senin: Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags