1. Home
  2. ยป
  3. Jalan-Jalan
24 September 2022 08:25

Kandang Menjangan Yogyakarta, tempat para raja intai hewan buruan

Kini Kandang Menjangan dikenal sebagai Panggung Krapyak, tak jauh dari Alun-Alun Selatan dan Keraton Yogyakarta. Brilio.net
foto: dok. Feni Listiyani

Brilio.net - Bicara soal Yogyakarta tidak ada habisnya karena memiliki banyak sekali destinasi wisata, kuliner, hingga bangunan bersejarah. Seperti Kandang Menjangan atau biasa disebut Panggung Krapyak. Gimana sejarahnya? Berikut ulasannya yang dirangkum brilio.net dari berbagai sumber, Jumat (23/9).

Kandang Menjangan merupakan sebuah bangunan peninggalan raja kesultanan Yogyakarta yang digunakan untuk tempat berburu oleh raja-raja. Dilansir dari laman pariwisata.jogjakota.go.id, Panggung Krapyak dibangun pada tahun 1760. Kandang Menjangan berdiri di wilayah yang dulu dikenal dengan Hutan Krapyak. Di sinilah putra dari pendiri sekaligus raja pertama Mataram Islam Panembahan Senopati wafat, tepatnya terletak di Kampung Krapyak, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul.

BACA JUGA :
Virzha lengkapi deretan vokalis konser 3 dekade Dewa 19, spektakuler


dok. Feni Listiyani

Bangunan yang memiliki bentuk persegi empat dengan luas 17,6 m x 15 m dan tinggi 10 m ini berdiri gagah di tengah perempatan Jalan Krapyak. Setiap sisi dari bangunan ini terdapat pintu yang diapit oleh dua jendela. Pintu dan jendela berbentuk persegi dengan lengkungan di bagian atasnya.

BACA JUGA :
7 Spot kuliner malam Yogyakarta untuk buka bareng teman, nostalgia

"Sebelum direnovasi, bangunan Panggung Krapyak ini tidak berwarna atau menyerupai warna tembok. Setelah adanya gempa 2006, bangunan ini direnovasi karena ada beberapa bagian yang rusak. Tembok dicat dengan warna putih dan ada beberapa yang diperbaiki agar kelestarian dari bangunan terjaga tanpa mengganti bentuk dari bangunan aslinya," ungkap Haryono, penjaga Kandang Menjangan, saat diwawancarai brilio.net pada Jumat(23/9).

Terdapat dua lantai pada bangunan ini, lantai pertama memiliki 4 ruang dan lorong pendek yang menghubungkan pintu dari setiap sisi. Kalau matahari bersinar terang, cahayanya akan menembus ke dalam lantai pertama bangunan lewat pintu dan jendela. Adanya sinar matahari membuat nuansa tua yang tercipta dari kondisi bangunan, serta udara yang lebih lembap dan dingin akan langsung menyerap.

Jika menuju salah satu ruang di bagian tenggara dan barat daya bangunan dan menatap ke atas, kamu bisa melihat sebuah lubang yang cukup besar. Dari lubang itulah raja-raja yang hendak berburu menuju ke lantai dua dengan dibantu sebuah tangga kayu yang kini sudah tidak dapat dijumpai lagi. Dengan menatap ke atas pula, kamu bisa mengetahui bahwa terdapat sebuah atap untuk menaungi lubang yang kini telah ambruk, ditengarai berguna untuk mencegah air masuk.

Magang: Feni Listiyani

Dulunya hutan lebat.

Dahulu wilayah Krapyak ini merupakan hutan lebat. Berbagai hewan liar ada di sini, salah satunya adalah rusa atau dalam bahasa Jawa disebut menjangan. Raja-raja Kesultanan Yogyakarta akan memburu di lantai atas bangunan tanpa takut diserang oleh binatang buas.

Susuhunan (pemimpin) kedua dari Mataram yakni Prabu Hanyokrowati (Anyakrawati), putra dari Panembahan Senopati, adalah salah satu raja Yogyakarta yang memanfaatkan Hutan Krapyak sebagai tempat berburu. Pada tahun 1613, prabu yang memiliki nama asli Raden Mas Jolang itu mengalami kecelakaan saat berburu dan akhirnya meninggal di sini, kemudian dimakamkan di Kotagede dan diberi gelar Panembahan Seda Krapyak artinya raja yang meninggal di Hutan Krapyak.

Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) adalah raja yang juga gemar berburu di Hutan Krapyak. Sang Sultan pula yang mendirikan Panggung Krapyak lebih dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini. Kala itu fungsi Panggung Krapyak sebagai pos berburu sekaligus pos pertahanan.

Terletak di Sumbu Filosofi Yogyakarta.

Masyarakat Yogyakarta familiar dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Jogja atau Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig berada dalam satu garis lurus sumbu filosofi ini. Dilansir dari visitingjogja.jogjaprov.go.id, filosofi dari Panggung Krapyak ke utara menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi). Alun-alun Selatan menggambarkan manusia yang telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akhil baligh.

Sementara, Tugu Pal Putih ke arah selatan menggambarkan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq (paraning dumadi). Golong-gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatif).

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags