Brilio.net - Fenomena gaya hidup slow living kian marak diadopsi generasi Z atau Gen Z. Di tengah tekanan sosial, ekspektasi karier, hingga tuntutan digital, gaya hidup yang menekankan kesadaran, jeda, dan ketenangan ini dinilai sebagai cara untuk melindungi kesehatan mental. Namun, apakah slow living benar-benar cocok untuk karakter Gen Z yang dinamis dan multitasking?
Rafika Nur Kusumawati, S.Psi., M.A., dosen Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, menyampaikan bahwa slow living dapat menjadi pendekatan hidup yang positif. Namun, penerapannya tidak bisa dilakukan secara impulsif atau tanpa tujuan yang jelas.
foto: Instagram/@rafikasuntoro
"Sebenarnya menurut survei, ternyata tekanan yang paling besar ini untuk sekarang ini adalah burnout yang sering dialami oleh sebagian besar orang yang ada di Indonesia, termasuk tiga teratas. Dan salah satu penyebab burnout ini adalah karena ada beberapa kesejahteraan yang tidak terpenuhi, entah itu emotional well-being, entah itu financial well-being, dan juga mungkin social well-being dan work-life balance,” ujarnya dalam wawancara yang dilakukan oleh brilio.net, Selasa (21/5).
Tren slow living muncul bukan hanya karena gaya, tetapi sebagai respons terhadap meningkatnya gangguan kesehatan mental, termasuk burnout kronis yang banyak dialami generasi muda.
Burnout Marak di Kalangan Gen Z, Slow Living Jadi Bentuk Perlawanan
foto: Shutterstock.com
Slow living menjadi salah satu respons terhadap kelelahan psikis yang dialami generasi Z, yang saat ini memasuki dunia kerja dan pendidikan tinggi dengan berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan performa diri. Survei Gallup (2022) mencatat bahwa Gen Z menjadi kelompok usia yang paling rentan mengalami stres dan burnout akibat tuntutan multitasking dan ekspektasi hidup.
Rafika menjelaskan, slow living dapat menjadi alternatif positif dalam mengelola tekanan, namun tidak bisa dijadikan gaya hidup mutlak. Seseorang harus tahu kapan dirinya harus "melambat" sejenak dan kapan harus mencapai goals-nya kembali.
“Boleh kita melambat dalam suatu momen tapi mungkin tidak pada seluruh momen begitu. Dia harus juga tahu bahwa di mana saya harus mencapai tujuan saya, di mana saya harus mempercepat langkah saya untuk menuju goal saya dan di mana saya harus memperlambat dan slow living ini tadi,” tegasnya.
Hidup Lebih Lambat Bukan Berarti Antiproduktif
foto: Shutterstock.com
Meski menawarkan ketenangan, slow living menuntut kesadaran akan ritme hidup dan tujuan jangka panjang. Ppretanyaannya apakah gaya hidup ini cocok untuk Gen Z? Rafika mengungkapkan gaya hidup ini harus dibarengi dengan keterampilan manajemen waktu, perencanaan karier, dan pemahaman diri.
“Slow living ini kan muncul karena dia ini ingin untuk mengurangi stres, mengurangi burnout. Namun perlu adaptasi di dalamnya. Apakah selalu melulu harus melambat? Apakah selalu harus menikmati momen? Ya kan semuanya itu ada ritmenya, seperti ada jeda kita dalam menikmati proses.” jelas Rafika.
Namun, ia juga memberi catatan slow living tidak serta-merta berarti meninggalkan produktivitas atau hidup tanpa ambisi.
"Boleh kita melambat dalam suatu momen tapi mungkin tidak pada seluruh momen begitu," katanya.
Tekanan Hidup Perkotaan Dorong Munculnya Hasrat Slow Living
foto: Shutterstock.com
Gaya hidup ini terutama tumbuh di kalangan masyarakat urban yang menghadapi tekanan sosial tinggi. Menurut Rafika, slow living menjadi simbol resistensi terhadap budaya serba cepat dan ekspektasi sosial yang membebani.
“Slow living menjadi sesuatu hal yang sangat diidam-idamkan bagi orang-orang yang hidup di kota karena memang permasalahan hidup, lalu juga suatu tekanan yang begitu banyak, sehingga ketika seseorang ini bisa lebih aware dengan dirinya, dia lebih tidak tergesa-gesa dengan waktu, dia lebih paham dengan pekerjaannya tanpa harus memikirkan hidup pikuk dan lain sebagainya, itu akan menjadi sesuatu hal yang menarik,” katanya.
Fenomena ini diperkuat oleh hasil studi Pew Research Center yang menyebut media sosial memperkuat ekspektasi gaya hidup tertentu. Video bertema hidup tenang, healing, dan rutinitas pagi tanpa distraksi menjadi simbol aspirasi baru di kalangan Gen Z.
Tidak Bisa Asal Rehat, Harus Ada Perencanaan
foto: Shutterstock.com
Meski tampak menarik, slow living juga menuntut kesiapan secara emosional, sosial, dan finansial. Rafika mengingatkan, jika tidak dibarengi kesadaran dan perencanaan jangka panjang, gaya hidup ini justru berisiko menimbulkan krisis eksistensial.
“Jadi ketika dia memilih slow living, dia harus sudah memperhitungkan, oh saya setelah ini harus ngapain saja, saya memiliki aspek apa saja yang bisa saya gunakan sebagai sumber daya kehidupan saya ke depan,” jelasnya.
“Jadi tidak langsung, ah saya pengen slow living saja tapi gak ada next step-nya atau kedepannya mau ngapain, gak jelas, jangan sampai kayak gitu.”
Slow Living Bisa Jadi Solusi Jangka Panjang, Asalkan Tidak Kehilangan Arah
foto: Shutterstock.com
Jika dilakukan dengan tepat, slow living berpotensi menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga kesehatan mental. Perlunya jeda, waktu refleksi, dan rutinitas yang sadar menjadi bentuk perawatan diri yang esensial.
“Bisa menjadi solusi jangka panjang ketika dia sudah memiliki pandangan ke depan dia harus ngapain. Tapi ketika dia belum tahu harus ngapain, ketika burnout ya coping strateginya bisa dengan rehat sebentar dan mengatur pola kerja dan juga pola hidup yang jauh lebih baik,” tutur Rafika.
Laporan The Journal of Positive Psychology mencatat bahwa individu yang menerapkan prinsip slow living dan mindfulness memiliki skor well-being lebih tinggi, terutama dalam aspek kepuasan hidup dan pengelolaan stres.
Gaya hidup slow living dapat menjadi strategi hidup yang menenangkan bagi Gen Z, asal tidak dijadikan pelarian tanpa arah. Penerapannya perlu disesuaikan dengan kondisi individu, kapasitas sosial-ekonomi, dan kejelasan tujuan hidup.
Dengan adaptasi yang sehat dan strategi yang jelas, slow living bisa menjadi jawaban atas keresahan generasi muda terhadap ritme dunia yang terus berlari.
Recommended By Editor
- Tahu-tahu ngeblank dan melamun tanpa sebab? Fix lagi terkena "ngang ngong" yang lagi viral
- Anti hidup ribet meski jadi artis, begini cara santai Lulu Tobing terapkan gaya hidup slow living
- Pria lulusan UGM ajak istri hidup slow living jadi petani di pelosok gunung Jepang, begini kisahnya
- Tahu-tahu ngeblank dan melamun tanpa sebab? Fix lagi terkena "ngang ngong" yang lagi viral
- Kerja di 4 tempat demi tabungan Rp220 juta, begini kisah Gen Z membagi waktu dalam sehari
- Banyak Gen Z kena layoff, kurangnya skill dan motivasi kerja atau cuma stigma saja?
- Kisah Gen Z rela kerja di 4 tempat demi tabungan Rp220 juta, caranya membagi waktu bikin geleng kepala