Brilio.net - Fenomena meningkatnya perilaku menyimpang di kalangan remaja, seperti tawuran dan penyalahgunaan waktu, mendorong sejumlah pemerintah daerah menerapkan berbagai pendekatan untuk pembinaan. Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi mengusulkan pembinaan anak-anak bermasalah melalui program barak militer. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta memilih jalur literasi dengan membawa anak-anak tersebut ke perpustakaan. Ada pula yang memilih pendekatan agama dengan menempatkan anak-anak di pondok pesantren.

Ragam pendekatan ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat dan profesional. Apakah pendekatan militer efektif? Apakah literasi cukup menjadi solusi? Atau sebaiknya pendekatan spiritual yang dikedepankan? Di balik semua pilihan tersebut, suara dari para ahli dan masyarakat menjadi penting dalam menentukan arah kebijakan yang tepat, berkelanjutan, dan tidak merugikan perkembangan anak.

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Instagram/@mada.kartikasari

Mada Kartikasari M.Psi, seorang psikolog dari LUNA Psycare, mengingatkan bahwa istilah "anak bermasalah" kerap muncul dari pemahaman yang dangkal terhadap perkembangan remaja. Energi berlebih yang tidak tersalurkan sering kali dianggap sebagai kenakalan. Padahal, menurutnya, akar masalah justru terletak pada minimnya ruang ekspresi yang sehat bagi anak-anak tersebut.

Energi Berlebih dan Salah Kaprah tentang Anak Bermasalah

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Mada Kartikasari menyoroti bahwa remaja sering kali dicap sebagai "bermasalah" karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan norma sosial. Padahal, menurutnya, perilaku tersebut lahir dari kebutuhan perkembangan yang tidak terfasilitasi.

"Mereka ini memiliki energi yang berlebih namun tidak ada hal-hal yang bisa memfasilitasi mereka untuk mengekspresikan energi tersebut," jelas Mada saat diwawancarai brilio.net pada Selasa (20/5).

Ketika ruang untuk menyalurkan energi positif tidak tersedia, remaja cenderung mencari pelampiasan yang tidak produktif, seperti nongkrong hingga larut malam, bermain game berlebihan, atau bahkan mengkonsumsi alkohol. Oleh karena itu, sebelum melabeli anak sebagai bermasalah, penting untuk memahami konteks perkembangan mereka.

Barak Militer: Disiplin Ketat, Tapi Penuh Risiko

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Program pembinaan melalui barak militer memang menjanjikan kedisiplinan instan. Wanita asal Yogyakarta itu tidak sepenuhnya menolak pendekatan ini, asalkan ada jaminan perlindungan hak-hak anak.

"Kalau memang kemiliteran ini memiliki modul yang cukup baik, misalkan memang ada modul-modul untuk mendisiplinkan tanpa adanya kekerasan... itu tidak menjadi masalah," ujarnya.

Namun, ia menegaskan bahwa terdapat potensi bahaya jika pendekatan militer diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis anak. Tekanan verbal, fisik, atau psikis bisa berdampak buruk dan memperparah trauma.

Lebih jauh, perempuan 32 tahun ini menambahkan poin penting bahwa hak partisipasi dan pendidikan harus tetap dijamin selama anak dibina di barak militer. Anak-anak harus diberi ruang untuk menyuarakan pendapat dan mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak lain di luar program militer.

Literasi sebagai Jalur Alternatif Apabila Ada Assessment yang Tepat

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta memilih pendekatan yang lebih lembut: membawa anak-anak bermasalah ke perpustakaan. Mada menilai langkah ini bisa sangat positif jika didukung oleh hasil asesmen yang akurat.

"Kalau memang ternyata dilihat kebanyakan permasalahan remaja... disebabkan kurangnya literasi, maka hal ini menjadi sangat ideal," katanya.

Namun, jika akar masalah remaja tidak berhubungan langsung dengan literasi, maka kebijakan ini bisa tidak efektif dalam jangka panjang. Data dari PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa tingkat literasi siswa Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Maka, peningkatan minat baca memang penting, tapi tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk perilaku menyimpang.

Pondok Pesantren Sentuhan Religius yang Tidak Selalu Universal

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Pendekatan religius melalui pesantren juga menjadi opsi yang banyak dipilih. Mada menilai bahwa program ini bisa efektif jika sesuai dengan kebutuhan anak dan tidak eksklusif terhadap satu kelompok agama.

"Risikonya adalah mungkin yang terkena program ini hanya di agama tertentu saja... kenakalan remaja kan tidak hanya terjadi anak di salah satu agama."

Fasilitas seperti pesantren dinilai membantu membentuk nilai-nilai moral dan kedekatan spiritual. Namun inklusivitas tetap menjadi catatan penting agar tidak terjadi diskriminasi.

Pendekatan Emosional dan Keluarga sebagai Pilar Utama

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Dok. Pribadi Riha

Riha seorang ibu rumah tangga asal Bekasi yang turut diwawancarai menyatakan bahwa pendekatan emosional dan peran keluarga tidak bisa diabaikan. Ia menekankan pentingnya komunikasi, perhatian, dan pembinaan karakter di rumah.

"Orang tua lah yg lebih bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak. Sekolah dan pemerintah hanya lah sebagai pembuat program."

Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Mada yang menekankan pentingnya peran keluarga dalam keberlanjutan perubahan perilaku anak setelah program pembinaan.

"saya rasa idealnya juga bisa ditambahkan pendidikan yang dibangun di dalam keluarga. Jadi perubahan anak itu tidak akan menjadi sangat ideal apabila anak hanya berubah seorang diri."

Membuka Ruang Ekspresi Sebagai Pendekatan yang Lebih Humanis

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Wanita lulusan S2 Psikologi Universitas Islam Indonesia itu mengusulkan pendekatan yang lebih humanis dengan menyediakan ruang-ruang ekspresi yang positif bagi anak-anak. Fasilitas publik yang terawat seperti lapangan olahraga, tempat bermain musik, atau skate park bisa menjadi solusi jangka panjang.

"Itu bagus sekali menurut saya untuk bisa memperpanjang program-program yang ini tadi... mereka butuh didukung dalam perubahan positifnya."

Tak hanya itu, ia juga menyoroti perlunya pendidikan bagi orang tua agar perubahan yang dicapai anak-anak dapat didukung secara konsisten di rumah.

barak perpustakaan pesantren © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Meskipun pendekatan barak militer, perpustakaan, maupun pesantren memiliki kelebihan masing-masing, keberhasilan pembinaan anak-anak yang dianggap bermasalah tidak bisa bertumpu pada satu pendekatan saja. Kunci keberhasilan terletak pada pemahaman mendalam terhadap akar masalah, keterlibatan keluarga, serta komitmen terhadap hak-hak anak.

Pemerintah daerah diharapkan mampu melakukan asesmen mendalam sebelum menerapkan program pembinaan. Ketiga pendekatan bisa digunakan secara selektif dan adaptif, disertai dukungan infrastruktur dan peran aktif masyarakat. Yang tak kalah penting, anak-anak perlu didengarkan, bukan semata diubah.