Brilio.net - Kota Bantul sangat khas dengan industri rumahan dari berbagai macam sektor. Di sana ada perusahaan kerajinan tangan seperti pembuatan topeng, wayang hingga gamelan. Tak hanya itu, Bantul juga mempunyai industri kuliner mulai dari tradisional hingga modern. Salah satunya adalah mi lethek asal Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mi lethek dikenal sebagai mi tradisional khas Bantul sejak kehadirannya pertama kali pada 1940-an. Dicetuskan oleh pendakwah dari Yaman, mi lethek Cap Garuda menjadi mi lethek pertama di Bantul. Industri rumahan ini menganut azas dakwah pada zaman pra kemerdekaan. Mi lethek menjadi alat dakwah islam yang ampuh, melihat kondisi ekonomi masyarakat Dusun Bendo yang serba kekurangan. Masyarakat Bendo yang awalnya tak mengenal agama atau yang sering disebut dengan rakyat abangan, berangsur dekat dengan agama.

mi lethek © 2019 brilio.net

Yasir Ferry Ismatrada, pemilik mi lethek cap Garuda/foto: brilio.net/Faris Faizul

Ditemui di pabrik mi lethek Asli Bendo Cap Gadura, Yasir Ferry Ismatrada sang pemilik usaha menuturkan bahwa ia adalah pewaris usaha generasi ketiga. Pada awalnya, ada dua perusahaan dengan merek lain yang ada di sekitar Srandakan dan Bantul kota. Ketiga pabrik tersebut masih ada hubungan saudara satu sama lain.

Tahun 1985, mi lethek Garuda berhenti produksi dan sang pemilik memilih beralih ke profesi lain. Hal ini tak lain disebabkan oleh hadirnya mi instan. Namun, atas dorongan banyak pihak Yasir membuka kembali usaha turun-temurunnya pada 2002.

Awalnya Ferry hanya memproduksi 200-300 kilogram setiap harinya karena belum banyak peminat. Namun Ferry tetap konsisten membangun usaha tersebut. Seiring waktu berjalan, mi ini menjadi favorit warga Bantul dan Yogyakarta secara bertahap.

Kini, Ferry bisa memproduksi hingga 1 ton lebih perhari tanpa bisa menyisakan stok mi lethek kering. Pada 2010, satu perusahaan milik saudara Ferry juga mengakhiri pabrik mi lethek karena para anak tak ada yang meneruskan jejak usaha orangtua.

mi lethek © 2019 brilio.net

Proses pengadukan adonan mi di silinder tradisional/foto: brilio.net/Faris Faizul

Sesuai dengan namanya, mi lethek mempunyai tekstur cokelat dan terkesan dekil. Mi terbuat dari campuran tepung tapioka dan tepung gaplek atau tepung singkong. Tepung tapioka didatangkan dari Lampung, sementara tepung gaplek diambil dari daerah lokal sekitar Yogyakarta. Mi ini sama sekali tidak mengandung pengawet dan pemutih. Proses produksi mi ini pun dilakukan dengan metode tradisional yakni dengan menggunakan seekor sapi. Keterlibatan tenaga hewan masih diakukan sebab silinder tempat mengaduk adonan bahan masih tradisional.

mi lethek © 2019 brilio.net

Proses penguraian mi lethek/foto: brilio.net/Faris Faizul

Pengerjaan mi dari bahan mentah hingga proses pengepakan memakan wakt dua hari. Dimulai dari hari pertama pukul 07.30 pagi hingga pukul 10.00 mencampur tepung tapioka dengan tepung gaplek dengan munggunakan silinder. Alat tersebut terbuat dari bangunan berbentuk lingkaran dngan batu seberat 1 ton. Fungsi batu sebagai pengaduk adonan mi yang dijalankan oleh sapi siap kerja. Kemudian adonan dimasak hingga matang pukul 12.00. Total waktu bahan proses bahan masuk ke dalam silinder adalah 5-6 jam.

Mi yang setengah jadi dimasukkan mesin pengepresan pukul 13.00 dan dilanjutkan dengan proses pengukusan. Mi didinginkan satu malam dan proses pembuatan mi dilanjutkan esok hari. Proses selanjutnya adalah perendaman menggunakan air bersuhu normal di dalam ember. Setelah itu mi diurai dan dibentuk kotak untuk dijemur selama 9 jam di bawah terik matahari. Setelah proses pengeringan, mi didiamkan selama 2 jam sebelum dimasukkan ke dalam kemasan.

Satu pack wadah besar berisi 5 kilogram mi lethek kering dihargai Rp 82.000. Ferry menerangkan mi lethek Garuda tersebar di beberapa pasar di wilayah Bantul dan Yogyakarta. "Satu pasar itu ada sekitar dua (lapak), kalau Pasar Bantul ada satu. Sekali ngirim, kita ngirim bisa 100 bal gitu, itu berarti sekitar 500 kilo. Pasar Imogiri itu ada 3 titik, itu per orangnya ya 500 (kilogram)," Kata Ferry.

Sang pemilik juga menjelaskan waktu yang diperlukan untuk menghabiskan pasokan yang ia salurkan ke pasar. "Kira-kira satu orang paling sekitar nggak nyampai satu minggu udah habis," jawab Ferry dengan yakin.

Pada Bulan Ramadan, permintaan konsumen mi lethek Garuda melonjak 2-3 kali lipat. Mi organik ini hingga kini belum bisa memenuhi semua permintaan karena keterbatasan teknologi dan jumlah pekerja. Hasil audit lapangan yang dilakukan oleh Ferry, permintaan mencapai 2,5 ton mi perhari. Terlebih pada momen bulan puasa yang notabene konsumsi makanan meningkat. Pegawai yang berjumlah total 35 orang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Meski tak banyak, mi lethek Garuda eksis di antara pesaing-pesaing produk mi lethek baru. Ferry tetap percaya diri dengan kualitas dan rasa mi yang ia produksi. Ia pun masih konsisten meringankan beban 35 karyawan pabrik yang didominasi berusia 50 tahunan ke atas.