Brilio.net - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bertemu dengan Jokowi di Kompleks Istana beberapa waktu lalu. Pertemuan tersebut seolah menjadi tanda Partai Demokrat akan mengubah haluan koalisinya, dari Prabowo-Sandiaga menuju Jokowi-Ma'ruf. Bahkan partai Demokrat menyatakan akan bergabung dengan capres-cawapres nomor urut 01 jika mereka menang.

"Kalau Pak Prabowo menang, Partai Demokrat punya kewajiban moril dalam politik mengawal pemerintahan. Tapi kalau Pak Jokowi yang diputuskan menang, maka kerja sama koalisi berakhir, karena pilpres berakhir," ujar Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean.

Ferdinand menegaskan, partainya memiliki kedaulatan untuk menentukan sikap politik setelah penetapan pasangan calon presiden terpilih. Bisa tetap berada di luar pemerintahan, atau berada dalam pemerintahan.

Namun, masih perlukah Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, untuk memuluskan langkah koalisi?

sby mega © 2019 brilio.net berbagai sumber

foto: merdeka.com

 

Dilansir brilio.net dari Liputan6.com, Rabu (8/5), pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego, mengatakan memang perlu ada rekonsiliasi antara keduanya.

"Demokrasi kita itu patrimonial sifatnya. Peran pemimpin sangat menentukan di dalamnya. Jika kita sepakat dengan demokrasi dan kemajuan bangsa, tak ada kata lain yang paling pas untuk dilakukan semua tokoh selain rekonsiliasi," kata Indria.

Namun, rekannya di LIPI, Syamsuddin Haris, berpendapat berbeda. Menurutnya, faktor penentu Demokrat berada di koalisi bukan di Megawati lagi.

"Saya kira faktor kuncinya tidak sepenuhnya di Mega lagi, tapi di Jokowi. Jadi pertemuan SBY-Mega menurut saya bukan lagi satu-satunya faktor penentu," kata Syamsuddin.

Haris mengatakan, baik Megawati maupun PDIP tak rela putra mahkota SBY, AHY, masuk dalam kabinet. Tapi, jika dirasa Jokowi memerlukan mereka, maka peluang Demokrat besar berada di koalisi.

"Mega dan PDIP mungkin tidak rela AHY masuk kabinet Jokowi, tapi kalau Jokowi merasa membutuhkan Demokrat untuk meredam oposisi, maka Jokowi tidak perlu restu Mega lagi," jelas Syamsuddin.

Senada, peneliti departemen politik dan perubahan sosial dari lembaga CSIS, Arya Fernandes, juga berpandangan untuk koalisi semua kuncinya ada di Jokowi. Karena hak prerogatif menentukan siapa saja yang masuk di kabinet adalah Presiden.

"Penentuan koalisi itu sebenarnya atau penentuan posisi menteri, itu kan hak prerogatifnya Presiden, jadi sebenarnya, bolanya ada di tangan Presiden," kata Arya.

Dia tak menampik, jika Jokowi nanti tentu akan meminta masukan dari para Ketum parpol koalisi, termasuk Megawati, untuk melihat siapa saja yang berada di dalam kabinetnya nanti.

"Tentu dia (Jokowi) butuh komunikasi dengan Ketum-ketum partai koalisi, dan perlu tahu juga siapa yang diusulkan oleh partai-partai koalisi. Tapi dalam konteks Demokrat, end usernya Jokowi," tegas Arya.

Di lain kesempatan, ditemui 22 April 2019 lalu di Jakarta, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, mengatakan, seharusnya semua pihak bisa menjaga Demokrasi agar tetap sehat.

"Demokrasi yang sehat itu setia akan pilihannya. Ketika sejak awal mendukung Pak Jokowi, kemudian mendukung Pak Prabowo, konsistensi ini perlu dijaga. Demokrasi itu perlu kontrol," jelas Hasto.

Dia menegaskan, ini berbeda dengan 2014. Dimana total koalisi sekarang sudah mencapai 60 persen. Meskipun, Hasto tak menepis, kebijakan koalisi ada di tangan Presiden.

"Kebijakan koalisi Presiden yang menentukan. Tapi mekanisme yang kami bangun, ketika ada perubahan kebijakan koalisi, Presiden berkomunikasi dengan seluruh ketua umum partai politik," kata Hasto.

Dia menepis jika pihaknya akan membuka pintu koalisi selebar-lebarnya.

"Bukan selebar mungkin, kami bukan koalisi yang pragmatis, kami koalisi yang ingin mendorong pemerintah yang efektif, pemerintah yang solid. Untuk mereka yang bergabung bersama PDI Perjuangan, yang telah berkeringat, untuk dukung Pak Jokowi dan Pak Kiai Ma'ruf Amin, ini harus kita apresiasi juga dalam bekerja sama. Maka dalam demokrasi yang sehat, ini yang harus kia hormati, posisi politik yang sejak awal ini untuk bersama-sama mengelola pemerintahan itu," pungkas Hasto.