Brilio.net - Sebanyak 28 finalis Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis akhirnya berhasil meraih Djarum Beasiswa Bulutangkis 2016, menyisihkan 4.547 atlet dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka terdiri dari 14 pebulutangkis U-13 putra, 10 pebulutangkis U-13 putri, dan 4 pebulutangkis U-15 putri.

Pengumuman itu disampaikan Tim Pelatih PB Djarum yang diketuai Fung Permadi di GOR Djarum, Kudus, Selasa (13/9). Sebanyak 28 atlet itu berhak atas fasilitas pembinaan bulutangkis berstandar internasional di PB Djarum, Kudus, Jawa Tengah.

Tidak satu pun dari 28 atlet cilik itu yang berasal dari Kudus, semuanya dari luar kota bahkan luar pulau. Rinciannya, tiga atlet dari Kabupaten Banyumas; masing-masing dua atlet dari Kota Bandar Lampung, Kota Samarinda, Kabupaten Gresik, dan Kota Pekanbaru; sisanya masing-masing satu atlet dari Kota Tegal, Kabupaten Bandung, Kota Malang, Kota Kendari, Kota Solo, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Pamekasan, Kota Bandung, Kabupaten Klaten, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Tuban, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Sleman, Kabupaten Mojokerto, Nganjuk, Kabupaten Buleleng, dan Kota Sukabumi.

Sebelum terpilih sebagai penerima beasiswa, mereka lebih dulu menjalani karantina pada 5-13 September 2016 di PB Djarum Kudus. Ada 53 atlet dalam tahap karantina tersebut.

Di balik cerita membanggakan tentang lolosnya ke28 tunas bulutangkis Indonesia meraih beasiswa PB Djarum ini, ternyata banyak kisah perjuangan, pengorbanan hingga cerita lucu tersaji selama sembilan hari masa karantina. Apa saja cerita menarik itu? Berikut kisahnya yang berhasil dikulik brilio.net dari para peserta karantina yang sukses mendapat Djarum Beasiswa Bulutangkis 2016.

1. Menangis saat mau tidur.
Banyak dari peserta karantina Djarum Beasiswa Bulutangkis 2016 yang tidak terbiasa berjauhan dengan orangtuanya. Maklum, usia mereka masih sangat muda, di bawah 15 tahun, bahkan ada yang sekitar 10 tahun. Namun selama masa karantina selama sembilan hari, mereka harus berpisah dengan orang yang paling mereka sayangi. Tak jarang mereka menangis saat ingat orangtuanya.

Seperti yang dialami Dedad Alpasha Dinejad, siswa SD 005 Suryanata Samarinda. "Dia sempat down di dua hari pertama karantina karena memang tak terbiasa jauh dari orangtua. Setiap telepon pasti nangis, kangen katanya. Tapi setelah dikasih pengertian dikasih semangat, semua baik-baik saja," ungkap Indra Astuti, ibunda Dedad saat dihubungi brilio.net, Kamis (15/9).

Hal itu juga yang terjadi pada peserta karantina asal Gresik, Jawa Timur, Surya Adi Pambudi. Siswa kelas 5 SD Muhammadiyah 1 Gresik itu sering nangis saat kangen orangtuanya. "Biasanya nangis kalau mau tidur keingat ibu bapak, tapi aku siap untuk pindah ke Kudus," ujar Surya bersemangat.

2. Masih ada yang ngompol.
Bukan anak-anak namanya kalau dalam masa karantina yang selama sembilan hari itu tak ada cerita lucu. Salah satunya dikisahkan Rahma Novita Febi, peserta karantina asal Pekanbaru, Riau. "Jadi waktu itu ada yang tidurnya ngompol, tapi semua nggak ada yang mau ngaku malah saling salah menyalahkan," ujarnya sambil tertawa. Walaupun begitu, kekompakan dan persahabatan di antara mereka tetap terjalin baik.

3. Anak lain bermain, mereka berlatih keras.
Kamu pasti sering mendengar ungkapan tersebut. Tapi, mereka ini telah membuktikannya sendiri. Salah satu peserta penerima beasiswa, Dedad Alpasha Dinejad, mengaku harus berlatih dari pukul 08.00-11.00 setiap harinya demi meraih mimpi menjadi atlet bulutangkis. Selesai latihan, siswa SD 005 Suryanata Samarinda itu berangkat ke sekolah pukul 12.00. Saat anak-anak seusianya masih asyik bermain, ia sudah berkorban tenaga dan waktu mewujudkan mimpinya yang selangkah demi selangkah akan tercapai.

Peserta karantina lain juga punya program latihan yang berat dan ketat. Meski begitu mereka tetap semangat dalam menjalankan pola latihan yang diberikan pelatih. "Saya berlatih 6 hari seminggu, pagi untuk latihan fisik dan sore untuk teknik," ungkap Surya Adi Pambudi asal Gresik, Jawa Timur.

4. Berpisah dengan teman-teman tercintanya.
Di usia yang masih terbilang kecil, mereka tentu sering bermain dengan teman-teman sekitar rumah atau teman sekolahnya. Keakraban mereka mau tak mau harus terpisah oleh jarak karena para penerima Djarum Beasiswa Bulutangkis 2016 harus pindah ke Kudus, Jawa Tengah.

Meski begitu mereka mengaku siap. "Chiara sudah siap kalau harus pindah ke Kudus. Nggak ada keluhan tentang teman-teman di sini karena waktu karantina kemarin sudah akrab dan punya banyak teman di sana (Kudus)," tutur Chiara Marvella Handoyo, atlet asal Solo.

5. Orangtua membuat mereka kuat.
Bukan perkara mudah bagi anak-anak usia di bawah 13 dan 15 tahun untuk bekerja keras dan ditempa dalam latihan ketat demi menjadi atlet badminton andal. Rasa jenuh dan lelah pasti ada. Namun niat yang kuat untuk menjadi bintang bulutangkis masa depan dan dukungan orangtua membuat mereka bertahan.

"Meski akan berjauhan dengan putri saya, Insya Allah saya akan selalu mendukung langkah dan cita-cita putri saya. Sebagai orangtua saya saya pastinya mendukung penuh," ujar Evi Herlena, ibu dari Rahma Novita Febi, salah satu penerima Djarum Beasiswa Bulutangkis 2016 asal Pekanbaru, Riau.

 

Demi mimpi jadi atlet bulutangkis, 28 bocah tinggalkan kampung halaman