Brilio.net - Desa selalu menjadi topik yang menarik untuk menjadi bahan pembicaraan, diakui atau tidak, sesungguhnya warga kota-kota besar pun banyak yang berasal dari desa. Buktinya tiap tahun arus mudik dan arus balik selalu mempertontonkan jutaan orang yang bermigrasi dari desa ke kota-kota besar.

Dina Kusumawati, dari Pemerintahan Kabupaten Wonosobo, dalam acara Jambore Desa 2015 yang dilaksanakan di Wulungsari, Wonosobo, Rabu (16/12) mengatakan, banyaknya orang yang bermigrasi dari desa ke kota-kota besar merupakan indikasi bahwa pembangunan kesejahteraan di desa belum bisa diandalkan. Sehingga warga desa harus berhijrah dulu ke luar kota untuk membangun kesejahteraan hidup tersebut.

Setahun diberlakukannya undang-undang desa, menjadi berkah tersendiri dan momentum yang tepat bagi desa untuk menujukkan kemampuannya bahwa tanpa berpindah ke luar desa, warga desa tetap bisa sejahtera dengan memanfaatkan potensi-potensi desa yang ada. Warga desa dan pemerintah desa seperti diberi kesempatan oleh negara untuk membangun kesejahteraan sendiri, tanpa harus menginduk pada program-program pembangunan dari pemerintah kabupaten/kota seperti dulu lagi. Namun memang kesiapan sumber daya manusia di desa, acap kali belum siap dengan diberlakukannya undang-undang yang memberikan desa dana beratus-ratus juta untuk peningkatan kesejahteraan tersebut.

Dina yang setahun terakhir membantu pendampingan perancangan desa, membagi pengalamannya bagaimana membangun desa yang apresiatif. Metode ini adalah pembangunan desa yang benar-benar menempatkan seluruh komponen desa sebagai subjek pembangunan, bukan sebagai objek pembangunan seperti yang selama ini berlangsung di Indonesia.

Menempatkan warga desa sebagai subjek dan bukan objek pembangunan, artinya bagaimana cita-cita desa dalam lima tahun ke depan, 10 tahun ke depan, benar-benar berasal dari ide-ide dan harapan warga desa. Bukan lagi perancangan pembangunan desa yang hanya dibicarakan oleh perangkat-perangkat desa saja, tanpa melibatkan warga. Dina meyakini bahwa pembangunan desa yang apresiatif menjadi kunci agar pembangunan desa dan pengelolaan dana desa semata-mata diperuntukkan untuk warga desa.

Potret kesalahan pembangunan desa yang Dina alami selama pendampingan, biasanya terjadi dalam memanfaatkan dana desa yang jumlahnya mencapai Rp 1 miliar, warga selalu mengawali dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di desa. Mulai dari masalah jalan yang masih berlubang, gedung ibadah yang perlu diperlebar, hingga jalan-jalan desa yang masih becek dan berharap segera diaspal dengan dana tersebut. Padahal, menurut Dina, pembangunan yang berbasis infrastruktur semata seperti itu tidak akan menyejahterakan warga desa. Bukan tanpa alasan, infrastruktur lama kelamaan juga pasti akan rusak dan membutuhkan perbaikan.

Dina menjelaskan agar pembangunan desa yang apresiatif berhasil, ada tiga langkah inovatif yang harus dilakukan. "Pertama perencanaan pembangunan berbasis peningkatan potensi desa, penggalian gagasan berbasis kelompok, serta visualisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)," papar Dina dalam diskusi Jambore Desa 2015, Rabu, (16/12).

1. Perencanaan pembangunan berbasis peningkatan potensi desa
Titik awal perencanaan pembangunan desa saat musyawarah desa, harusnya bukan berpatok pada identifikasi masalah yang ada desa untuk dipecahkan. Melainkan harus lebih pada memetakan potensi desa yang ada untuk dikembangkan dan dapat lebih diharapkan peningkatan kesejahteraannya bagi warga desa. Bukan menggambarkan pohon masalah tapi memetakan potensi desa yang bisa dikembangkan.

"Dalam forum musyawarah warga desa, membuktikan membaca potensi desa untuk dikembangkan lebih menarik minat apresiasi warga dari pada identifikasi masalah desa tanpa ada tujuan eksplorasi potensi desa," kata Dina.

Potensi desa, bukan hanya jalan yang mulus atau tanah yang kosong semata, melainkan budaya khas desa, adat dan tradisi khas desa juga mejadi potensi desa yang menjadi ruh dan bisa dikembangkan untuk peningkatan kasejahteraan. Sebut saja jika ada desa yang memiliki mata air yang terus mengalir, harusnya bisa dikembangkan untuk dijadikan pengaliran PDAM atau air mineral mini yang dikelola warga desa.

2. Penggalian dan penjaringan gagasan berbasis kelompok
Sejauh ini, penggalian dan penjaringan gagasan untuk ide rancangan pembangunan desa, masih dilakukan dengan metode musyawarah desa di dusun-dusun. Faktanya, dalam forum tersebut hanya segelintir orang yang mau berbicara dan menyampaikan gagasannya untuk pembangunan desa. Misalnya saja kaum difabel, anak-anak dan lanisia, apakah dalam musyawarah desa mereka akan berusara? Besar kemungkinan tidak. Jangankan untuk mengusulkan ide, untuk hadir dalam musyawarah pembangunan desa (Muserbang) saja mereka enggan. Bukan tanpa alasan, karena mereka merasa percuma menyampaikan idenya karena merasa tidak ada ruang dalam musyawarah untuk mereka.

"Muserbang tidak lagi efektif dengan metode musyawarah di dusun-dusun atau RT. Harusnya penjaringan ide dilakukan di forum yang berbasis kelompok. Baik kelompok lansia, anak-anak maupun kaum difabel. Semakin banyak kelompok ide kesejahteraan desa akan lebih variatif programnya," tegas Dina.

3. Visualisasi RPJMDes
RPJMDes merupakan rencana pembangunan desa selama lima tahun ke depan, yang merupakan hasil dari musyawarah-musyawarah penjaringan ide pembangunan desa dari warga desa. Bentuknya yang tebal dan bahasa yang sangat kaku, membuat banyak orang bahkan pemerintah desa sendiri enggan membacanya. Dina membuktikan banyak kepala desa yang tidak tahu bagaimana potret desa yang dipimpinnya dalam lima tahun ke depan masa jabatannya.

"Kuncinya RPJMDes harus dirubah agar orang tidak bosan melihatnya termasuk warga desa. Sehingga warga bisa mengawal proses pembangunan desanya dengan senang dan paham," pungkas Dina dalam pemaparannya tentang perancangan pembangunan desa yang apresiatif.