Brilio.net - Bisa kuliah di luar negeri, tentu menjadi cita-cita banyak pelajar Indonesia. Akan tetapi keinginan tersebut tak jarang berhenti begitu saja dengan berbagai alasan. Padahal jika terus dikejar, cita-cita sangat bisa terwujud. Masalah ekonomi maupun kemampuan berbahasa asing, dengan sedikit kesabaran sebenarnya semua masalah itu bisa diselesaikan dengan baik.

Ini yang dialami oleh Febry Sebastian, lelaki asal Sukabumi yang sempat gagal kuliah di Indonesia. Namun kini Sebastianbisa menuntut ilmu di Jerman. Kepada brilio.net, Rabu (21/10) Sebastian menceritakan perjalanan hidupnya yang terjal untuk bisa seperti saat ini.

Sejak SMA Sebastian punya cita-cita melanjutkan kuliah jurusan Ilmu Komunikasi. Sama dengan lulusan SMA lainnya, Sebastian mengikuti ujian SNMPTN. Tentu saja dia punya harapan bisa lulus dan masuk di universitas negeri yang dia impikan. Selain kampus favorit, tentu saja biayanya jauh lebih murah dibanding kuliah di universitas swasta.

Sebastian dibesarkan di lingkungan keluarga berada. Itulah yang  membuatnya sering lupa bersyukur. Roda kehidupan yang berputar membalik keadaan Sebastian. Ketika duduk di bangku kelas 3 SMA orangtuanya mengalami  masalah ekonomi. "Saya tidak ingin membebani orang tua yang saat itu sedang sulit  dalam hal keuangan," tutur Sebastian.

Tetapi kehendak berkata lain, Sebastian belum diterima di Universitas yang ia tuju. Tidak patah semangat, Sebastian pun mencoba mengikuti ujian masuk kuliah D3 di Universitas negeri dan ia lolos dengan jurusan Pariwisata (D3).

"Satu mimpi saya pun terwujud. Saya pun langsung memberi tahu kabar baik ini kepada kedua orangtua saya. Setelah mendengar ini, orang tua saya bukannya senang tapi anehnya mereka terlihat sedih. Ternyata mereka sedih karena tidak bisa membayar uang masuk kuliah yang harus dibayarkan minggu depan sebesar 10 juta rupiah,"

Tak bisa menahan sedih, Sebastian pun menangis seorang diri di kamar. Keesokan harinya Sebastian mencari cari informasi di internet,  kuliah apa yang biaya masuknya di bawah 5 juta rupiah. Dengan budget hanya 4 juta, akhirnya Sebastian memutuskan untuk masuk di salah satu sekolah tinggi swasta di Ibu Kota dengan jurusan General English Communications (D1).
 
Sebastian berniat akan mengikuti kembali ujian SNMPTN tahun berikutnya. Namun setelah setahun menyelesaikan program D1 di sekolah tinggi swasta tersebut, Sebastian berubah pikiran. Dia ingin kuliah di luar negeri terutama di Jerman. Pasalnya secara tak sengaja Sebastian melihat program pertukaran budaya selama setahun. Peserta pertukaran pelajar akan hidup dan tinggal di tempat keluarga angkat.

Program yang dinamakan Aupair ini memiliki sistem kerja seperti baby sitter, yaitu mengurus anak orang Jerman, mengantar ke sekolah, dan mengajak anak bermain. Selain diberi uang jajan bulanan, peserta juga diberi kamar sendiri, makan gratis, sekolah bahasa gratis, dan keperluan lainnya seperti uang tambahan untuk liburan.

Tak lolos di Indonesia, Sebastian kini kuliah di Frankfurt Jerman Gigih. Tak menyerah dengan keadaan untuk wujudkan mimpi.

"Dengan rasa takut, saya bicara kepada kedua orang tua saya kalau saya ingin sekali ikut program ini, walaupun tahu saat itu mereka tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Tidak ingin mengecewakan saya untuk kedua kali, orang tua saya  akhirnya berniat meminjam uang sebesar 15 juta rupiah agar saya bisa ikut program ini, nantinya uang tersebut bisa dibayar dengan dicicil," kata Sebastian.

Seminggu kemudian, orangtua Sebastian mengatakan bahwa uang yang ia butuhkan sudah ada. Di situ Sebastian  merasa sangat senang sekali dan menjatuhkan pilihan untuk ikut program tersebut dan memulai les bahasa secara intensif selama 2 bulan.

Di bulan ke 11 Sebastian sudah mendapatkan visa student. Diapun melanjutkan les bahasa Jerman lebih intensif dan masuk ke sekolah penyetaraan (Studienkolleg) selama setahun. Uang jajan yang diberi keluarga angkatnya selama setahun ditabung dan dipakai untuk biaya hidup. Jika ada uang lebih, ayah Sebastian mengiriminya uang.  

Sebastian kini mahasiswa semester 5 jurusan Asia Tenggara dan Antropologi, Universität Frankfurt. Hidup di Jerman, kata Sebastian,  membuatnya semakin mandiri dan jauh dari rasa gengsi. Untuk membiayai kuliahnya, Sebastian harus bekerja paruh waktu. Beragam pekerjaan dia lakoni mulai dari tukang cuci piring, kerja buruh di pabrik rem, pelayan restoran, tukang bersih bersih, dan penjaga malam di KJRI Frankfurt.

"Tidak mudah memang menyelesaikan kuliah disini sambil bekerja, tapi perjuangan itulah yang nanti membuahkan hasil yang baik.  Doa dan support orang tua dan keluarga adalah yang bisa menjadikan saya semangat. Tanpa mereka saya tidak akan bisa seperti ini," pungkas Sebastian.