Brilio.net - Shoko Tendo merupakan anak seorang Yakuza. Sejak kecil dia sudah merasakan bagaimana kerasnya hidup dalam keluarga mafia Jepang ini. Dia sudah tak heran lagi dengan tato, judi, narkoba, minuman keras dan segala hal yang identik dengan kekerasan. Pemandangan itu dia tatap sehari-hari di rumah.

Shoko lahir pada musim dingin 1968. Anak ketiga dari empat bersaudara ini lahir dari pasangan suami istri Yasuhiro Tendo dan Satomi. Ayahnya pemimpin Yakuza yang terkait dengan Yamaguchi-gumi, kelompok Yakuza 'klasik' terbesar di Jepang.

Keluarga Shoko awalnya tinggal di Toyonaka, sebelah  utara Osaka. Kemudian pindah ke rumah baru di Sakai, masih di Osaka. Dalam pandangan Shoko kecil, rumah itu sangat indah, dengan gerbang besi ganda. Untuk masuk ke rumah itu dibuat jalan berliku dengan samping kanan dan kirinya ditumbuhi pepohonan.

Rumah yang didominasi bahan kayu itu relatif besar dibanding rumah di sekitarnya. Masing-masing anak Hiroyasu memiliki kamar sendiri. Terdapat ruang tamu, ruang makan, dua kamar tatami gaya Jepang, dan satu kamar di mana sang ayah menjalankan bisnis dan bertemu dengan kolega bisnis. Selain menjadi bos Yakuza lokal, ayah Shoko menjalankan tiga bisnis, perusahaan rekayasa teknik, firma konstruksi, dan bisnis real estate.

Sebagaimana layaknya Yakuza, kehidupan yang dirasakan Shoko sangat kejam walaupun bergelimang harta. Perilaku sang ayah yang sedang berkuasa bukan contoh yang baik di rumah. Bahkan bagi keluarganya, sang ayah berlaku kasar.

Saat Shoko berusia 6 tahun, dia sudah melihat darah menetes dari tangan anak buah ayahnya yang melakukan kesalahan. Sesuai tradisi Yakuza, siapa pun melakukan kesalahan harus memotong salah satu jari tangannya sebagai tanda penyesalan.

Tidak jarang Shoko diminta membawakan kotak untuk menyimpan jari para anggota Yakuza yang melakukan kesalahan itu. Ayahnya memegang sebuah kekuatan yang menakutkan. Tetapi, di mata Shoko, meski banyak perspektif negatif ditujukan kepada Yakuza, baginya tidak ada yang salah dengan hal itu. Meski sang ayah berlaku kasar, tetapi Shoko tak pernah membenci ayahnya yang meninggal pada 1997. Sementara sang ibu enam tahun lebih dulu meninggal dunia.

KLIK NEXT UNTUK MELIHAT KISAH YANG LEBIH KELAM!

2 dari 2 halaman

Saat usia sekolah dasar, Shoko dijauhi tetangga dan teman-temannya. Masa kecilnya sebagai anak Yakuza ternyata tidak menyenangkan. Tak jarang dia dikerjai habis-habisan, baik secara fisik maupun verbal. Shoko kerap mendapat intimidasi dari teman-temannya karena anak Yakuza. Perlakuan semacam itu membuat kepercayaannya kepada orang lain hilang. Dia pun tenggelam dalam kesendirian, tanpa peduli dengan kehidupan orang lain. Perang batin seorang Shoko telah hidup semenjak ia kecil.

Di usia 12 tahun dia drop out dari sekolah dan pertama kali masuk klub malam setelah diajak sang kakak, Maki yang usianya terpaut dua tahun. Di sini dia bertemu dunia barunya. Dia menemukan teman-teman yang peduli, yang tidak munafik bermuka dua. Dia mulai menghirup thinner sampai mabuk, hingga keperawanannya hilang. Ya, begitulah kisah hidup yang dialami Shoko.

Saat berusia 16 tahun, bagi Shoko dunia seakan runtuh. Bisnis ayahnya bangkrut dan meninggalkan banyak utang. Keluarganya berantakan dan ayahnya masuk penjara. Kondisi ini membuat Shoko terjerumus ke dalam kehidupan liar. Dia mulai menggunakan narkoba hingga melakukan seks bebas.

Selama Shoko tidak melepas diri dari kehidupan masa lalu, maka ia akan tetap menjadi anak seorang Yakuza. Hingga dengan kesadarannya ia berhasil keluar dari lingkaran kesesatan yang membelenggunya. Berbagai kisah hidupnya sebagai anak Yakuza kemudian dia tuangkan dalam novelnya Yakuza Moon, Memoirs of A Gangster’s Daughter  yang dirilis pada 2012 silam. Novel ini telah terjual lebih dari 100 ribu eksemplar. Membaca novel ini ibarat membaca kehidupan Shoko. Novel yang menggunakan perempuan bertato di seluruh tubuhnya sebagai cover ini merupakan ekspresi isi hatinya.

Kini Shoko meninggalkan loyalitas gangster, malah dia telah menjadi selebriti talk show di Jepang. Dia adalah wanita pertama yang mengungkapkan kehidupan perempuan di lingkungan Yakuza. Dalam novelnya Shoko berkisah tentang dominasi sang ayah dalam keluarga maupun organisasi Yakuza.

Ketika ditemui di Hotel Pullman Jakarta beberapa waktu lalu Shoko tak terlihat seperti Yakuza pada umumnya. Shoko sangat ramah. Senyum terus mengembang. Ucapan arigatou gozaimasu (terima kasih) sambil membungkukkan badan dilakukan beberapa kali untuk menyampaikan terima kasih khas Jepang.

Penampilan berbusananya juga terlihat sederhana. Menurut Shoko, Yakuza punya ciri khas sendiri. Bagi orang Jepang, penampilan Shoko akan terlihat khas Yakuza. Ketika bertemu, dia memakai baju lengan panjang berwarna biru dengan kaos merah muda yang terlihat karena baju tidak semua dikancing. Dia membawa topi coklat bertuliskan '85' dan sebuah gelang.

Rambut tipis Shoko yang sebahu dibiarkan terurai. Sementara di lengan di atas telapak tangan Shoko terlihat tato khas Yakuza. Menurut dia, tidak ada perbedaan antara tato Yakuza dengan tato pada umumnya. Namun anggota Yakuza umumnya menyembunyikan tato yang dimiliki. Sementara orang pada umumnya malah memperlihatkan tato yang menghiasi tubuh mereka.

Penampilan juga bukan satu-satunya yang membedakan Yakuza dengan orang umum. Dari segi berjalan dan gerak tubuh pun, masyarakat Jepang akan mudah mengetahui identitas Yakuza.

"Kami memang berbeda, namun itu tidak ada yang salah," katanya.

Shoko menjelaskan, meski ayahnya kerap berlaku kasar tetapi dia selalu menanamkan nilai-nilai Yakuza seperti disiplin, pantang menyerah dan nilai positif lain. Nilai-nilai tersebut hingga sekarang pun tetap melekat pada diri Shoko.

Menurut dia, secara resmi Yakuza sudah dibubarkan di Jepang, termasuk kelompok ayahnya. Bahkan ayahnya sendiri yang membubarkan kelompoknya, karena menjelang meninggal, dia sakit parah. Anak buahnya pun sudah disalurkan pada bidang-bidang lain.

Shoko yang kini menjadi orangtua tunggal dari putrinya yang berusia 10 tahun, tidak pernah berkeinginan memperkenalkan Yakuza pada putrinya.

"Namun jika suatu saat putri saya bertanya tentang Yakuza, saya akan menjelaskan, tapi dia sudah tahu ibunya seperti apa," tegasnya.

Penulis buku Yakuza na Tsuki yang diterbitkan dalam 16 bahasa ini berharap, apa yang dia rasakan di masa lalu tak terulang kepada putri kesayangannya. Dia hanya ingin kisah kelamnya di masa lalu menjadi kenangan pahit baginya semata, tak perlu melibatkan anaknya.