Brilio.net - Dapat menempuh pendidikan tinggi adalah impian banyak orang. Tidak semua dapat mewujudkannya. Pun yang telah berhasil mencatatkan diri sebagai mahasiswa tidak sedikit yang gugur di tengah jalan. Tetap ada nilai perjuangan yang diperbuat untuk dapat mencapai gelar sarjana.

Zulkifli (20), salah seorang mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu kepada brilio.net melalui nomor bebas pulsa 0-800-1-555-999, menceritakan kegigihan rekannya agar tetap dapat kuliah. Adalah Eko Purnairawan, mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)angkatan 2014, Eko harus berkali-kali berganti usaha  demi upaya membiayai sendiri kuliahnya.

Bukan tanpa alasan Eko berganti usaha, pasalnya usaha Eko kerap tutup karena persoalan modal.“Saat saya ingin kuliah tidak ada biaya sama sekali, lalu saya berfikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang menuju Palu untuk kuliah. Salah satu cara saya waktu itu dengan menjual ternak kambing yang pada waktu itu masih dipelihara dari saat sekolah,” tutur Zulkifli menirukan pekataan Eko.

Menurut Zulkifli, salah satu ganjalan bagi Eko adalah restu dari orangtua. Kedua orangtua Eko tak mengizinkan Eko melanjutkan kuliah karena persoalan biaya. Namun setelah selama satu bulan membujuk, Eko mampu meyakinkan dengan persyaratan biaya awal ditanggung sedangkan selanjutnya diupayakan sendiri.

Saat kuliah telah berjalan, sedangkan uang dari menjual kambing hampir habis, Eko meminjam uang dari seseoraang. Pengembaliannya dengan cara bekerja sebagai penjual batagor. Usaha tersebut ditutup oleh pemiliknya karena tak menandakan keuntungan. Selanjutnya, pemuda yang hobi musik ini memulai usaha batagor sendiri. Ternyata nasibnya tak beda dengan sebelumnya. Beralihlah Eko kepada usaha gorengan. Untuk yang ketiga kali usahanya belum menguntungkannya.

Beruntung pihak kampus memberinya subsidi sebesar Rp 600.000 sehingga dia hanya perlu mengumpulkan satu juta rupiah lagi untuk dibayarkan per semester. Untuk membiayai kebutuhannya, Eko akhirnya berjualan siomai sampai sekarang. “Pulang kampus baru jualan, biasanya pulang jam 3 sore langsung mempersiapkan terus kembali ke kampus untuk jualan. Uang pembayaran semester juga terkumpul dari situ kalau lagi rame jualannya kalau tidak ya tidak bisa paling untuk kebutuhan kecil-kecil,” terang Zul menirukan pernyataan Eko.

Berjualan siomai sebenarnya tak memberikan pemasukan besar bagi Eko. Namun mau tak mau dia harus menjalaninya demi memenuhi kebutuhan. Berhubung bukan usaha sendiri, maka dia harus berbagi keuntungan dengan sang pemilik. Dia hanya mendapat 20% dari penjualan.

Eko pun pernah mengalami kerugian akibat pelanggan yang tidak jujur. "Beberapa biasanya membayar tidak sesuai dengan yang dimakan, bahkan pernah ia mengalami kerugian seratus ribu lebih. Kalau hilang harus ganti rugi lagi. Kalau dapat sialnya hampir-hampir tidak ada untung atau bahkan rugi. Bisa jualan 2 hari untuk menutupi kerugian,” ungkap Zul meyampaikan keluhan Eko.

Eko berharap, baik pihak universitas, pemerintah, maupun pihak swasta memperhatikan orang-orang kecil yang tidak mampu secara finansial namun punya tekad besar untuk kuliah.