Brilio.net - Anak-anak dari Desa Begusung, Pulau Sebatik, Malaysia harus berjuang keras untuk sampai ke Sekolah Tapal Batas di Kecamatan Sebatik Tengah Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, tempat mereka menimba ilmu. Setiap hari anak-anak ini harus berangkat dari rumahnya di Begusung mulai pukul 06.00 waktu setempat dan tiba di sekolah pada pukul 07.00.
 
Itu pun dengan berjalan kaki sambil berlari. Jika berjalan normal dibutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Tidak jarang dalam perjalanan mereka meminta buah-buahan yang tumbuh di pekarangan rumah warga untuk bekal makan siang mereka. Begitulah nasib anak-anak yang sekolah di perbatasan.
 

Meski di kolong rumah, anak-anak Tapal Batas semangat menuntut ilmu

Tak ada bangku dan meja belajar, mereka duduk seadanya.

Sekolah Tapal Batas yang terletak di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, merupakan sekolah yang digagas Suraida, tenaga pengajar yang sekaligus Ketua Yayasan Ar-Rasyid yang menaungi sekolah tersebut.
 
“Saya miris melihat anak-anak buruh kebun sawit banyak yang tak sekolah. Kami lalu berinisiatif mendirikan PAUD dan berlanjut menjadi sekolah,” kata Suraida kepada brilio.net, Sabtu (12/9).
 
Sekolah yang berdiri sejak dua tahun lalu ini menempati kolong rumah warga yang berukuran 6 X 9 meter yang sebagian ruangnya hanya disekat dengan potongan tripleks sebagai tanda batas ruang satu dengan ruang lainnya. Satu ruang untuk Madrasah Diniyah dan satunya untuk Madrasah Ibtidaiyah.
 
Tak ada meja dan kursi seperti sekolah pada umumnya, yang terlihat hanya beberapa deret meja ala kadarnya dari tripleks setinggi 40 cm dan karpet plastik sebagai tempat lesehan. Pada dinding kayu yang dicat hijau tertempel ijazah, penghargaan yang berjajar dengan poster huruf abjad dan huruf Arab serta foto-foto kegiatan sekolah.

Meski di kolong rumah, anak-anak Tapal Batas semangat menuntut ilmu

Bukti kecintaan kepada Tanah Air.

Keberadaan sekolah yang berada persis di tapal batas dua negara ini memang untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak buruh kebun kelapa sawit milik perusahaan warga Malaysia yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan karena jauhnya perkampungan mereka.
 
Hebatnya, para tenaga pengajar di sekolah ini tidak mendapatkan gaji tetap. Mereka hanya menerima insentif antara Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu yang diterima setiap tiga bulan sekali.
 
Menurut Camat Sebatik Tengah, Harman, berkat Sekolah Tapal Batas, kini 100% warga Desa Sungai Limau sudah bisa membaca. Saat ini, program pendidikan juga sudah berkembang ke Paket A.

“Lembaga pendidikan yang dirintis Ibu Suraida ini awalnya berasal dari PAUD, kemudian berlanjut pada pemberantasan buta huruf. Tenaga pengajar kami pakai dari relawan staf kecamatan dan desa untuk mengajar,” papar Harman, yang merupakan alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar.

 

Meski di kolong rumah, anak-anak Tapal Batas semangat menuntut ilmu

Fasilitas perpustakaan.

Dalam mengelola sekolah seperti ini, diperlukan semangat juang dan berkorban serta jiwa sosial yang tinggi. Hanya mereka yang benar-benar ikhlas yang akan mampu bertahan demi kemajuan anak-anak di perbatasan yang terlupakan dari perhatian negara.