Brilio.net - Perubahan teknologi di era seperti sekarang ini memang berlangsung begitu deras. Sayangnya perubahan tersebut tak jarang membuat orang belum siap menghadapinya. Salah satu yang paling sering adalah dalam hal berkomunikasi. Semakin banyaknya sarana teknologi komunikasi terkadang juga membuat orang mudah mengucapkan kata-kata kasar dan kemudian dengan mudah meminta maaf.

Sama halnya yang dialami oleh salah seorang dosen Psikologi Barul Fuad. Melalui akun media sosialnya beberapa waktu lalu ia mengungkapkan kesedihannya melihat fenomena perubahan sosial yang terjadi pada mahasiswanya. Kegundahannya ini bermula saat ia mendapatkan SMS dari mahasiswanya yang ingin bertemu. Namun setelah diberikan balasan waktu luang, malah ia yang disuruh menentukan jam mahasiswa yang akan ditemuinya.

Dosen berkacamata ini mengaku tidak marah. Namun ia hanya sedih sembari kadang ingin tertawa membaca pesan mahasiswanya.

mahasiswa kekinian © 2016 brilio.net



"Ketika membaca SMS ini saya sedih dan sekaligus tertawa, SMS ini merupakan sedikit potret murid di era masa kini, dimana relasi antara murid (mahasiswa) dengan guru (dosen) seakan tiada batas. Kala masih kuliah S1 dulu,beberapa teman aktifis mengkritik bahwa Kitab Ta'lim Muta'alim (salah satu kitab ulama kuno yang mengajarkan tentang tata cara belajar yang baik dan santun) tidak relevan dengan sistem belajar-mengajar di era modern yang berlaku di Universitas. Mereka menuduh bahwa ajaran dalam Kitab tersebut berpotensi membelenggu kebebasan berfikir dan daya kritis mahasiswa, karena seorang murid (mahasiswa) diharuskan patuh dan tunduk kepada guru (dosen), sehingga mengkritik guru (dosen) dipandang sebagai tindakan melanggar etika kesopanan," ujar Fuad seperti dikutip brilio.net dari akun media sosialnya, Minggu (27/3).

Kendati demikian, Fuad mengaku masih tetap konsisten mengamalkan ajaran Kitab Ta'lim Muta'alim hingga sekarang, bahkan ketika ia belajar di Belanda sekali pun. Ia tetap menghormati dosen dan professor yang bule tersebut layaknya ia menghormati para ustaz dan gurunya saat Fuad belajar agama di Pesantren dulu.

Begitu halnya saat Fuad memasuki jenjang S3, terhadap para Professor dan promotor ia senantiasa menghormati dan menjunjung tinggi sikap santun. "Pernah suatu saat saya dikatakan 'bodoh kamu' dari seorang professor karena saya tidak cakap dalam menyampaikan teori. Alhamdulillah, saya tidak memiliki perasaan marah ataupun dendam kepada professor saya yang sepuh itu. Beberapa hari kemudian kami bertemu dan bercakap-cakap santai, dan puji Tuhan saat melihat hasil UAS saya mendapatkan nilai (A-) untuk mata kuliah beliau," kata Fuad menceritakan masa belajarnya dulu.

Kata 'bodoh" dari  profesor tersebut dijadikan Fuad bekal untuk mengevaluasi diri. Fuad sadar betul, mungkin dirinya memang produk dari pendidikan kuno (klasik) dari ayahnya yang seorang guru. Hal ini membuatnya ingat dengan pesan ayahnya yang sudah tiada bahwa siapapun orangnya, tidak peduli ia lebih tua atau lebih muda dari, tidak peduli agamanya apa, jika dia mengajarikan sebuah kebaikan, meskipun itu satu huruf, maka dia adalah guru dan dimuliakan'.

Menurut Fuad, ada satu hal yang tidak dimiliki oleh sistem belajar modern saat ini yaitu sugesti atau kepercayaan akan adanya 'keberkahan ilmu'. Dimana salah satu syarat mendapatkannya adalah dengan menghormati guru baik melalui sikap, prilaku maupun ucapan.

"Saya bingung, siapa yang butuh ketemu. Coba bayangkan jika istri saya baca SMS ini. Dia bisa berfikir saya rajin ke kantor dan berdandan necis hanya untuk ngobrol berduaan dengan mahasiswi-mahasiswi," pungkas Fuad dalam kisahnya tersebut.