Brilio.net - 26 Oktober 2010 adalah hari yang tidak terlupakan bagi Sumiarti (47). Ibu dua anak ini harus merasakan menjadi pahitnya kehidupan akibat bencana erupsi Gunung Merapi. Rumahnya yang terletak di kawasan Kaliadem ikut terkena imbas lahar Merapi.  

Dia harus rela kehilangan rumah dan lahan pertanian yang siap panen akibat letusan.  Kejadian lima tahun silam tersebut sangat membekas di benaknya. Tidak mudah bagi dia dan keluargamelewati hari-hari pascaerupsi. Rumahnya hancur dan suaminya kehilangan lahan  pekerjaan menjadi kesulitan yang harus dihadapi. Sumiarti dan suaminya yang sehari-hari menggantungkan hidup dari hasil pertanian

"Awalnya saya juga bingung apa yang harus saya lakukan setelah erupsi terjadi, rumah rusak, lahan tidak ada, tapi kebutuhan juga semakin banyak," cerita Sumiarti kepada brilio.net, Senin (14/9).

Lahan pertanian yang terkena erupsi masih belum bisa diolah. Padahal hampir seluruh warga desa setempat hanya mengandalkan kemampuan berkebun atau bertani."Sempat depresi juga tapi saya harus kuat buat anak-anak," jelasnya.

Terbersit dalam pikiran Sumiarti untuk menyerah, tapi pikiran tersebut dia tepis demi menopang kehidupan keluarga. Sumiarti pun mengikuti pelatihan menenun yang diadakan oleh para relawan. Butuh kerja keras lebih, namun pada akhirnya Sumiarti berhasil menguasai teknik menenun dengan baik.

Menenun merupakan hal baru bagi Sumiarti. Terlebih lagi diusia yang tidak lagi muda, belajar menenun cukup sulit. Orang-orang sekitarnya masih memandang sebelah mata bisa hidup dari hasil menenun."Tapi saya percaya selalu ada hasil untuk setiap usaha," lanjut Ibu dua orang anak tersebut.

Kini Sumiarti telah mahir menggunakan alat tenun. Bahkan di beberapa kesempatan dia juga sering mengikuti berbagai pameran baik yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun swasta. Dari menenun dia bisa membiayai sekolah anak-anaknya dan menopang kehidupan keluarga.

Banyak orang yang pesimis dan akhirnya memilih menyerah. Namun Sumiarti membuktikan kegigihannya untuk tetap bertahan menenun. Selain itu, menurut Sumiarti dengan menenun dia ingin berperan melestarikan kain lurik khas Yogyakarta.
 
Kini Sumiarti memproduksi dua jenis kain lurik. Yaitu kain lurik dengan pewarna sintetis dan kain lurik dengan pewarna alami. Untuk kain dengan pewarna alami dibanderol Rp 200.000. Sementara kain dengan pewarna sintesis dijual dengan harga Rp 100.000. Setiap kain memiliki panjang berkisar 2 meter.

Sumiarti bilang, kini menenun bukan hanya sebagai mata pencarian. "Tetapi sudah menjadi kehidupan saya," ujarnya.  Itulah cara yang dia lakoni untuk melestarikan keberadaan kain lurik yaitu dengan tetap menenun.

Cita-cita Sumiarti tak berhenti di situ saha. Dia punya keinginan mengajarkan cara menenun kepada anak muda khususnya perempuan."Supaya para perempuan tetap bisa bertahan hidup dengan keahlian yang dimiliki," ucapnya

Erupsi merapi juga mengubah pola pikirnya. Semula dia berpikir bahwa perempuan tak harus punya keahlian. Dengan kejadian tersebut dia tersadar bahwa perempuan juga harus punya keahlian.