Brilio.net - Dalam beberapa tahun terakhir industri musik Indonesia bisa dibilang punya 'warna' baru. Banyaknya musisi muda bermunculan di kanal YouTube mengubah cara orang menikmati musik menjadi berbeda.

Sebut saja yang paling dominan adalah musisi cover atau artis cover dan semacamnya. Mereka bermain musik dengan membawakan ulang lagu orang lain, lalu direkam dengan baik audio dan visualnya, kemudian mereka unggah di YouTube. Artis-artis cover itu pun kemudian bisa meraup untung banyak dari video cover mereka itu.

YouTube memang salah satu lahan bisnis yang menggiurkan saat ini. Pada awalnya YouTube hanya dikenal sebagai salah satu wadah untuk mempublikasikan video dari para kreator. Namun sekarang ini YouTube dimanfaatkan untuk beragam tujuan. Kegiatan berbisnis adalah salah satu yang ramai dilakukan melalui YouTube. Ya, sudah banyak orang terjun di YouTube dan mendapatkan keuntungan ekonomi dari fitur monetisasinya.

Namun fenomena kemunculan para artis cover ini bukan tak jadi masalah. Mereka yang gemar membawakan ulang lagu orang lain ternyata masih banyak yang tak memiliki izin hak cipta. Akibatnya banyak pencipta lagu merugi karena haknya sama saja 'dimaling' orang lain. Hal inilah yang disoroti oleh Pongki Barata, vokalis sekaligus salah satu pencipta lagu terbaik di Indonesia.

Pekan lalu, Pongki Barata menginisiasi acara seminar musik bertajuk 'Diskusi YouTube Cover'. Dalam acara itu, Pongki memberikan wawasan kepada masyarakat, terutama untuk para pegiat seni musik di Jogja tentang pentingnya copyright alias hak cipta karya musik. Mantan vokalis Jikustik itu tak sendirian. Dia mengajak Aldri (bassis Samsons yang kini bekerja di publishing Massive Music Entertainment), Momo Biru (eks vokalis Captain Jack), Kikipea (jurnalis-musisi), serta Felix Irwan dan Tami Aulia yang keduanya berprofesi sebagai artis cover YouTube asal Jogja.

foto: Instagram/@pongki_barata



Sejak awal acara, Pongki sudah membuka pernyataan paling mendasar tentang tujuan diadakannya diskusi musik tersebut. Bagi Pongki, meledaknya tren YouTube Cover di Indonesia sekarang ini sudah out of control. Dia pun merasa berkewajiban untuk melakukan sosialisasi tentang permasalahan tersebut. Karena menurutnya, bekal pengetahuannya selama ini tentang hak cipta sudah lebih dari cukup.

"Kenapa out of control? Karena saya sendiri sudah merasakan dari masalah dua hal yang mendasar, yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Jadi sekarang ini Hak Moralnya banyak yang melanggar, Hak Ekonominya juga banyak yang melanggar," ujar Pongki ketika membuka 'Diskusi YouTube Cover' di Kembang Seruni Resto Yogyakarta, Kamis (5/3).

Menurut Pongki, dalam konten YouTube Cover seharusnya orang-orang yang melakukannya mengerti dengan memberikan Hak Moral dan Hak Ekonomi. Hak Moral itu mencantumkan nama si pemilik karya cipta alias pencipta lagu, agar tidak mengubah lirik dan lain-lain. Sedangkan Hak Ekonomi bisa diartikan; apabila kegiatan si orang itu mendapatkan keuntungan secara ekonomi, maka wajib izin kepada si pencipta itu tadi.

"Wajib izin ini bukan berarti wajib bayar, tapi yang penting izin dulu. Bayar atau tidaknya itu nanti bisa belakangan. Nah, selama ini hal semacam ini kan missed di antara mereka yang rajin cover dan para pencipta lagu aslinya," ujarnya.

foto: brilio.net - agib tanjung



Pongki pun menceritakan pengalamannya. Contoh kasusnya adalah lagu ciptaannya yang berjudul 'Aku Milikmu (Malam Ini)'. Pada saat itu lagu tersebut di-cover Felix Irwan tanpa izin. Namun saat itu Felix berpikir dia sudah izin. Sebab di dalam YouTube ada fitur yang akan langsung membagi claim copyright dari YouTube langsung ke pencipta apabila si pencipta itu sudah ada publishing-nya.

Namun menurut Pongki, saat itu Felix dan manajemennya belum mengetahui bahwa itu ternyata bukan pemberian izin, melainkan itu hanya notifikasi dari YouTube. 'Hey, Felix.. Lagu ini yang punya Pongki lho', kira-kira seperti itu, menurut Pongki. Kalau pun nanti terjadi kegiatan ekonomi di situ, maka mekanisme royaltinya akan langsung ditransfer ke Pongki dan Felix. Sesuai aturan pembagian yang dipunyai oleh YouTube.

"Akhirnya saat itu saya kontak Felix dan manajemennya, 'Yuk, kita ketemuan, ngobrol, benerin bareng-bareng'. Dan ternyata mereka menyambut baik. Saling respect. Hak ekonomi dan hak moral saya akhirnya tidak dilanggar. Nah, contoh kasus ini kan bagus," papar suami Sophie Navita ini.

2 dari 4 halaman



Musisi Ori vs Musisi Cover

Fenomena musik cover di YouTube tersebut tentu membuat kesan bahwa 'musisi cover lebih terkenal dan kaya daripada musisi aslinya'. Hal tersebut menurut Pongki sangat mungkin terjadi. Sebab menurutnya sampai saat ini sosialisasi soal hak cipta karya belum dipahami semua musisi, terutama di Indonesia.

"Dalam sudut pandang bisnis saya sebagai pemilik lagu, ya jelas merasa dirugikan. Problemnya, action kita sebagai pencipta lagu apa?" ujarnya.

Bahkan menurut Pongki, merebaknya musisi-musisi cover ini bisa membuat ekosistem musik menjadi rusak. Sebab para artis cover sudah nyaman dengan membawakan lagu orang lain dan enggan membuat lagu sendiri.

"Ya betul, mereka (musisi cover) akhirnya jadi jarang bikin karyanya sendiri. Kalau sampai ekosistemnya rusak, yang salah siapa? Ya yang ada di ekosistem itu," kata Pongki.

foto: Instagram/@diana_musik



Kala itu Pongki bahkan sampai 'menantang' beberapa musisi cover untuk mencari jalan tengah. Bersama dengan timnya, Pongki dan musisi cover melakukan mediasi untuk menyelesaikan pemasalahan tersebut.

Uniknya berbagai respons diterima Pongki saat pihaknya ingin mendiskusikan hal itu. Mulai dari respons kooperatif sampai respons yang tidak terduga.

"Ya macam-macam tanggapannya, ada yang minta maaf terus memberikan tindakan langsung, misal menurunkan konten. Tapi ada juga yang malah galak sama saya," ujar Pongki sembari tertawa.

foto: brilio.net - agib tanjung



Sementara itu, Rizki Septiandi, di acara yang sama juga ikut angkat bicara soal fenomena musisi cover yang dianggap 'jahat' bagi beberapa musisi orisinal itu. Rizki merupakan konten kreator dari Brontox.AV yang mengelola video-video cover lagu dari Felix Irwan dan Tami Aulia sejak awal 2019.

Mewakili Felix dan Tami, Rizki bercerita saat awal membuat konten-konten video cover musik di YouTube memang pernah melakukan kesalahan. Dia mengakui jika kala itu dia belum paham soal teknis hak cipta karya secara digital. Namun kini semua pekerjaannya itu sudah legal dan taat hak cipta.

"Dibilang iseng ya memang iseng sih. Awalnya bermain YouTube juga baru Januari tahun kemarin (2019). Tujuannya satu sih aku, cari uang, pure business. Karena saya tahu dari YouTube bisa menghasilkan uang, dari monetasinya, berbagi hasil dengan si pencipta lagu," ujar Rizki menimpali pernyataan Pongki tadi.

Menurut Rizki, tujuan utama mengajak Felix dan Tami untuk membuat channel YouTube dan mengcover lagu sebanyak-banyak agar bisa mengumpulkan penggemar fanatik. Rizki menganalogikannya sebagai ikan-ikan yang ada di akuarium besar. Sekadar diketahui, saat ini Felix mempunyai 2.300.000-an subscriber, sedangkan Tami 2.100.000-an subscriber. Maka tak heran jika video-video cover mereka bisa ditonton hingga jutaan orang.

foto: Instagram/@diana_musik



"Mereka ini kan (Felix dan Tami Aulia) bakalan punya karya (sendiri) nih. Jadi istilahnya kami membangun akuarium, subscribers Felix dan Tami itu adalah ikan-ikannya. Kita bikin akuarium besar dan ketika ikannya semakin banyak, saat Felix atau Tami rilis karya sendiri, otomatis ikan-ikan itu akan datang," papar Rizki yang akrab disapa Kikek ini.

Pernyataan tersebut juga diamini oleh Felix Irwan dan Tami Aulia yang duduk di samping Rizki. Felix pun sebenarnya merasa keberatan jika selalu dicap sebagai musisi cover, padahal sebenarnya dia sudah punya karya sendiri dan dalam waktu dekat akan merilis album dengan karya sendiri. Meski memang, menurut Felix sampai saat ini dia masih terus manggung off air dengan membawakan lagu-lagu cover.

"Sebenarnya sudah dua bulan ini aku udah nggak bikin cover, terakhir itu juga karena paid promote (kepentingan bisnis cover lagu), ada kewajiban dari label rekaman. Karena memang selama ini banyak band meminta tolong kita untuk cover lagu mereka dan kita dibayar, ada skenario bisnis di sana, tapi aku nggak akan sebut detailnya bagaimana," papar Felix.

"Emang kita sebenarnya fokus paid promote aja kalau masalah cover. Selebihnya karya sendiri," ujar Tami menimpali Felix.

foto: Instagram/@diana_musik



Rizki pun menggaransi jika Felix dan Tami ini tak akan selamanya menjadi musisi cover. Rizki bersama timnya juga sedang menggarap album Felix yang rencananya akan rilis dalam waktu dekat. "Pertengahan tahun ini (Felix dan Tami rilis karya sendiri). Mungkin Agustus," pungkas Rizki.

3 dari 4 halaman



Musisi Cover, Jogja, dan karya orisinal yang hilang

Serupa dengan Pongki, Momo Biru yang duduk tak jauh dengan Pongki juga membahas masalah ekosistem musik, terutama di Jogja. Mantan vokalis grup band Captain Jack itu tak menyoroti soal aturan hukum hak cipta, namun dia lebih menelisik soal moral musisi untuk berkarya yang sesungguhnya.

Momo beranggapan bahwa Jogja yang sekarang sudah sangat berbeda dengan Jogja belasan bahkan puluhan tahun lalu. Di mana Jogja yang seharusnya adalah penerus Sheila On 7, Jikustik, Shaggydog, Letto dan lainnya untuk bangga mengeluarkan karya sendiri dan bisa mengharumkan nama kota asal mereka.

"Jogja dulu identik dengan orisinal karyanya. Jogja juga dianggap sebagai kota kritis. Tapi skena musik Jogja sekarang hampir seragam, yang dilakukan itu-itu saja. Ya latah cover lagu salah satunya," ujar Momo menyayangkan.

Namun menurut Momo, dia tak menyalahkan sepenuhnya para musisi cover yang ada sekarang. Bahkan jika harus membahas luas apakah musisi cover itu sebenarnya berkarya atau tidak. Bagi Momo pribadi, musisi cover juga bisa dibilang berkarya. Meski dengan karya orang lain.

"Pertanyaannya, apakah teman-teman yang meng-cover lagu bisa dikatakan berkarya atau tidak? Ya bagi aku memang bisa disebut berkarya. Karena di situ mereka mengerjakan sesuatu," kata Momo.

foto: Instagram/@diana_musik



Momo pun mencontohkan musik tradisional, misalnya karawitan. Di karawitan dari dulu sampai sekarang rata-rata apa yang sudah ada karyanya dibawakan ulang dengan lebih baik. Bagi Momo, itu sudah termasuk ranah cover karya lagu. "Tapi kalau misalnya itu (karawitan) disebut 'tidak berkarya', kan kurang ajar?" tutup Momo.

Sementara itu, pernyataan Momo tersebut juga ditambahkan oleh Kikipea. Narasumber yang berprofesi sebagai jurnalis lepas sekaligus musisi itu juga mengatakan cover lagu sebenarnya sah-sah saja. Namun bagaimana pun, karya sendiri tetap harus ada.

Kikipea menjelaskan bahwa musik bisa diartikan dua macam, yakni musik sebagai kebudayaan dan musik sebagai barang dagangan. Kikipea pun juga memberi contoh bahwa band legenda sekelas The Beatles dan Elvis Presley saja juga memulai kariernya meng-cover lagu. Pada akhirnya mereka juga terkenal dengan karya-karyanya sendiri.

"Intinya, semua musisi seharusnya paham bahwa berkarya itu jangan sampai berhenti di cover lagu saja," ujar Kikipea yang juga vokalis band punk ROKET itu.

"Cover sesekali tidak masalah. Tapi bagaimana pun karya sendiri adalah pemikiran kalian sendiri, bukan pemikiran orang lain. Kalian harus bisa dan bangga atas itu. Kalau kalian tetap nggak bisa bikin karya sendiri, kalian bisa jadi generasi yang gampang disetir ke mana-mana," tutup Momo.

4 dari 4 halaman



Membahas hak cipta karya yang ada di Indonesia

Diskusi YouTube Cover ini diakhiri dengan penjelasan Aldri. Pria yang juga bassis dari Samsons itu merupakan perwakilan dari publishing Massive Entertainment Music. Selama ini Aldri lebih banyak mempelajari dan mengurusi soal peraturan, hukum yang ada di Indonesia terkait hak cipta karya.

Aldri menjelaskan, bahwa di UU Hak Cipta di negara Indonesia memiliki dua elemen penting, yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Hak Moral itu misalnya si pencipta lagu itu harus selalu ditulis dengan baik dan benar. Sedangkan Hak Ekonomi itu manfaat yang seharusnya didapat dari si pencipta lagu.

Hak Moral dan Hak Ekonomi itu sudah tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 di Pasal 9 Ayat 2, yang menjelaskan bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebuah karya cipta wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.

"Itu yang berlaku di Indonesia sampai saat ini," ujar Aldri membuka penjelasannya.

foto: Instagram/@diana_musik



Tak cuma soal YouTube saja, bahkan menurut Aldri, seharusnya musisi yang manggung off air dan membawakan lagu-lagu orang lain pun sudah kena hak cipta karya. Aldri mencontohkan grup band seperti Top40 atau grup wedding misalnya.

Lalu pertanyaannya, apa kabar musisi, band cafe top40 dan sejenisnya yang membawakan lagu orang lain dari panggung ke panggung lainnya?

Menurut Aldri, yang seharusnya membayar ke si pencipta lagu seharusnya adalah si pemilik acaranya, karena yang diuntungkan adalah pemilik acaranya.

"Jadi bukan band yang main, bukan artisnya, tapi bisa pemilik acaranya atau malah pemilik tempatnya (yang seharusnya membayar royalti). Karena atas lagu yang disiarkan, orang-orang jadi datang ke tempat acara itu, atau acaranya jadi laku jadi punya value kan?" papar Aldri.

Jadi apakah artis atau musisi harus takut atau nggak boleh membawakan lagu orang lain di panggung musik?

Aldri menjawab boleh. Sebab sistem seperti itu belum berjalan di Indonesia dan sosialisasinya bakal panjang banget. "Tapi beberapa pencipta lagu kita yang sudah merasakan waktu mereka main di luar negeri, promotornya atau EO di sana pasti menanyakan, lagu yang akan kamu mainkan itu apa saja? Karena untuk mereka mau bikin acara harus dapet izin performing rights dulu," tambah Aldri.

Terakhir, Pongki menambahkan lagi bahwa dia juga punya cerita menarik tentang musisi luar negeri terkait hak cipta lagu di sebuah pertunjukan musik. Slash ketika dulu masih keluar dari Guns N'Roses (GNR), dia hanya mau membawakan lagu GNR yang dia dulu ikut nulis atau bikin lagu itu.

"Kenapa? Ya karena dia juga tetap kecipratan performing rightsnya. Jadi songlist waktu manggung nggak bisa dadakan lagu ini itu, karena yang tanggung jawab nanti si penyelenggara acaranya, dia yang harus bayar ke si pencipta lagu," kata Pongki.

Selain kasus Slash tersebut, Pongki juga mencontohkan mekanisme pembayaran hak cipta karya lagu di Indonesia. Pongki menceritakan pengalaman Anas Syahrul Alimi, CEO Rajawali Indonesia. Seperti diketahui Anas dan Rajawali pernah sukses membuat event musik besar di Indonesia dengan mengundang artis luar negeri. Event tersebut misalnya Jogjarockarta dan Prambanan Jazz.

"Mas Anas Rajawali juga pernah cerita ke saya, dia selalu bayar performing rights itu sebelum artis-artis itu tampil di acaranya," papar Pongki.

"Jadi buat teman-teman yang profesinya penyelenggara acara, EO musik, yuk mari kita bicara ekosistem yang semakin baik. Salah satu caranya ya kalian memberikan sumbangsih (performing rights). Bukan sekadar bayar sound dan teknis acaranya, tapi soal hak ciptanya juga," imbuh Pongki.