1. Home
  2. ยป
  3. Wow!
8 Oktober 2023 23:00

Menilik Sanggar Anak Alam, ketika sekolah tak harus berseragam, aturan ketat, dan PR yang bikin pusing

Anak-anak di SALAM diberikan kebebasan untuk berekspresi agar memacu daya imajinasi, rasa penasaran, serta minat sang anak. Muhamad Ikhlas Alfaridzi
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi

Brilio.net - Riuh kegembiraan anak-anak terasa ketika menjejakkan kaki di bangunan sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM), letaknya di tengah kampung Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY. Bangunan ini lebih mirip seperti sebuah rumah dengan lapangan luas untuk teman bermain anak-anak.

Bangunan dua lantai ini penuh coretan grafiti di tembok. Terpampang tulisan 'Sekolah Apa Ini' menyapa siapa pun yang akan masuk ke dalam bangunan ini. Gedung sekolah dibangun di atas lahan yang kanan kirinya merupakan perkebunan dan sawah warga. Jadi bisa dibayangkan ketika akan mendatangi sekolah ini, bakal melewati hamparan sawah dan kebun.

BACA JUGA :
Hal-hal ini hanya bisa dinikmati anak-anak di sekolah alam


Melihat desainnya saja, sekolah ini berbeda dengan sekolah mestinya. Ya, SALAM memang didesain sebagai tempat menuntut ilmu yang beda dengan lazimnya sekolah. Baju bebas, alas kaki sandal, rambut gondrong, jadi penampilan kebanyakan dari para siswa ini. Sesampainya di sekolah, yang mereka lakukan adalah bertegur sapa dengan teman-temannya, dan lanjut bermain.

foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi

BACA JUGA :
Belajar bahasa Inggris di sini bayarnya pakai sampah, kok bisa?

Adalah Sri Wahyaningsih, sosok yang mendirikan sekolah 'antimainstream' ini. Wahya begitu sapaan akrabnya, bercerita jika membangun SALAM penuh dengan lika-liku. Awalnya pada 1988, Wahya dan sang suami, Toto Rahardjo membuat sebuah kelompok belajar di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum Banjarnegara, Jawa Tengah.

Wahya mengaku bahwa ia bersama suaminya memang memiliki kepedulian tinggi soalpendidikan di level akar rumput.Ketika mendapati di desanya terdapat permasalahan seperti anak putus sekolah dan tingginya jumlah pernikahan dini, Toto Rahardjo dan Sri Wahyaningsih berinisiatif untuk menjadi fasilitator anak-anak di desa tersebut dengan membuat kelompok belajar.

"Jadi SALAM itu awalnya tidak di Jogja, tapi saya mengawalinya di Lawen, Banjarnegara. Jadi setelah sempat mengikuti Romo Mangun (YB Mangunwijaya) mendampingi masyarakat Code (bantaran Kali Code Jogja), saya mulai membulatkan tekad pulang ke rumah mertua (Desa Lawen)," tutur Sri Wahyaningsih saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu.

Awal mula didirikannya SALAM

foto: brilio/Ikhlas Alfaridzi

Wahya menuturkan, ia dan sang mertua kala itu punya kesamaan berupa punya keinginan melakukan perubahan pada masyarakat sekitarnya. Keadaan desanya saat itu yang serba keterbatasan membuatnya segera berinisiatif untuk membuat kelompok belajar.

"Kebetulan bapak (mertua) pas ketemu saya kayaknya cocok, nggatuk gitu. Akhirnya semangat, okelah, pendopo saya pakai, terus tanah-tanahnya bapak juga boleh di pakai, silahkan yang penting untuk kemajuan desa ini," ucap perempuan 62 tahun itu.

Ketika SALAM didirikan, Wahya mengaku jumlah murid yang bergabung mencapai sekitar 160-an anak yang terdiri dari anak-anak yang putus sekolah, maupun yang masih sekolah di lembaga formal, serta para balita.

Setelah berjalan intens selama 6 tahun, Bu Wahya bercerita kalau SALAM di Desa Lawen ini kemudian bermetamorfosa menjadi komunitas pemuda "ANANE29". Sementara itu, sejak tahun 2000 Sanggar Anak Alam mulai didirikan di Yogyakarta, tepatnya di kampung Nitiprayan, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags