1. Home
  2. ยป
  3. Serius
28 November 2025 20:30

Penyebab banjir parah di Sumatera, curah hujan ekstrem dan kerusakan lingkungan

Banjir di Sumatera disebabkan oleh curah hujan ekstrem dan kerusakan lingkungan. Editor
Liputan6.com/istimewa

Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 24 November 2025 bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang ekstrem. Menurut para ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), bencana ini merupakan hasil interaksi dari tiga faktor utama: kondisi atmosfer yang sangat aktif, kerusakan lingkungan yang mengurangi daya serap tanah, dan melemahnya kapasitas tampung wilayah.

Data dari Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD Padang menunjukkan bahwa Kecamatan Koto Tangah menjadi wilayah dengan jumlah terdampak terbesar, yaitu 20.983 warga. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per 27 November, terdapat 34 korban meninggal dunia dan 52 orang hilang, dengan ribuan warga terpaksa mengungsi. Angka ini berpotensi bertambah seiring dengan proses pencarian dan verifikasi di lapangan.

BACA JUGA :
Gempa susulan guncang Bogor dan Sukabumi, warga resah dan pilih mengungsi di tenda darurat


Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah, menjelaskan bahwa wilayah Sumatera bagian utara saat ini berada pada puncak musim hujan yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. "Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya," ujarnya.

Curah hujan di wilayah ini mencapai lebih dari 150 milimeter, bahkan ada stasiun BMKG yang mencatat lebih dari 300 milimeter dalam satu hari, mendekati curah hujan ekstrem yang menyebabkan banjir besar di Jakarta pada tahun 2020. Selain itu, fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem juga turut berperan. Pada 24 November, pusaran atau vortex dari Semenanjung Malaysia berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka, yang meskipun tidak sekuat siklon Samudra Hindia, cukup untuk meningkatkan suplai uap air dan memperkuat pembentukan awan hujan.

Dari sisi geospasial, penurunan tutupan vegetasi dan perubahan fungsi lahan memperburuk kondisi banjir. Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menegaskan bahwa besar kecilnya kerusakan akibat hujan tidak hanya ditentukan oleh intensitas curah hujan. "Banjir bukan hanya soal hujan. Ini soal bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi," ujarnya. Kawasan berhutan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi, namun ketika area tersebut berubah menjadi permukiman atau lahan terbuka, kemampuan menyerap air berkurang, sehingga hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir.

BACA JUGA :
Jumlah korban tewas longsor tambang Cirebon bertambah, kini capai 10 orang

Para pakar ITB mengusulkan dua rekomendasi mitigasi banjir. Pertama, jalur struktural seperti pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul dan kolam retensi. Kedua, jalur non-struktural yaitu penataan ruang berbasis risiko dan peningkatan literasi kebencanaan. "Prediksi cuaca dan potensi bencana harus diterjemahkan menjadi informasi praktis yang mudah dipahami masyarakat," ujar Rais. Heri juga menekankan pentingnya pemutakhiran data geospasial secara nasional untuk mencegah bencana serupa terulang. Dengan kolaborasi antara pemerintah, lembaga ilmiah, dan perguruan tinggi, diharapkan pendekatan terpadu ini dapat memperkuat ketahanan masyarakat di wilayah rawan bencana, terutama di Sumatera bagian utara yang memiliki risiko tinggi.

Source: liputan6.com / Lia Harahap
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang dengan bantuan Artificial Intelligence dengan pemeriksaan dan kurasi oleh Editorial.

SHARE NOW
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags