1. Home
  2. ยป
  3. News
7 Juni 2015 12:15

Tragis, wayang perpaduan China-Jawa punah karena kehabisan dalang

Tidak seperti kebanyakan orang China, Thwan Sing menolak berdagang dan memilih lebih memperdalam seni perdalangan serta karawitan. Janne Hillary

Brilio.net - Tidak seperti kebanyakan orang China, Thwan Sing menolak berdagang dan memilih lebih memperdalam seni perdalangan serta karawitan.

Siapa sangka pencetus munculnya wayang Thithi yang dipentaskan dengan nuansa Jawa adalah seorang Tionghoa. Adalah Gan Thwan Sing, seseorang yang sudah digariskan menjadi Dalang yang sangat piawai. Gan Thwan Sing lahir di Jatinom, Klaten pada tahun 1885.

Sejak muda dia hidup bersama kakeknya, Gan Ing Kwat. Kakeknya ini masih memegang utuh tradisi Tionghoa. Bahasa, aksara China, serta berbagai legenda klasik Tiongkok sangat dikuasai sang kakek. Hal ini sangat mempengaruhi pengetahuan Gan Thwan Sing akan bentuk dan wajah tokoh legenda Tiongkok.

Tradisi China yang kental dalam keluarganya tak menghalangi Gan Thwan Sing tak mampu bersosialisasi dengan penduduk pribumi. Gan Thwan Sing justru lebih akrab dengan kehidupan masyarakat kampungnya. Keakraban ini membuatnya sangat suka menonton wayang kulit semalam suntuk.

Pada awal abad ke-20, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta. Budaya Jawa yang turut mewarnai hidupnya, membuatnya tidak memilih dunia dagang, seperti orang China pada umumnya. Gan Thwan Sing lebih memilih memperdalam dunia seni perdalangan dan karawitan.

Saat dia merasa cukup menguasai seni perdalangan, muncullah suatu ide untuk menciptakan bentuk baru wayang kulit. Idenya adalah memadukan dua budaya yang berbeda, yaitu Tiongkok dan Jawa dengan serasi. Legenda Tiongkok digunakan sebagai materi cerita, sementara tata cara pementasannya menggunakan cara pertunjukan wayang kulit Jawa.

Kerennya lagi, Gan Thwan Sing menulis sendiri lakon cerita wayangnya, sekaligus memainkannya. Buku-buku lakon tidak ditulis dalam bahasa dan aksara China, melainkan dalam bahasa dan aksara Jawa. Salah satu lakon yang sangat disukai masyarakat Jogja saat itu adalah Thig Jing Nga Ha Ping Se: Rabenipun Raja Thig Jing (artinya dalam Bahasa Indonesia adalah Pernikahan Raja Tig Jing).

Guna melestarikan wayang Thithi, Gan Thwan Sing mendidik 4 orang murid, yaitu Mbah Menang, Raden Mas Gondosuli, Mergasemu dan Pawiro Buwang. Keempat muridnya itu mampu mewarisi ilmu mendalangnya. Sayangnya keempat muridnya itu meninggal lebih dulu sebelum Gan Thwan Sing meninggal.

Dalam usianya yang renta, Gan Thwan Sing tak mampu mengkader Dhalang lagi. Sementara itu anak Gan Thwan Sing satu-satunya, Gani Lukito tidak memiliki kemampuan mendalang seperti ayahnya. Akibatnya, sepeninggal Gan Thwan Sing tak ada lagi yang mewarisi keahliannya mendalang wayang Thithi. Pagelaran wayang Thithi pun tutup setelah tahun 1967.

Saat ini, rumah Gan Thwan Sing dihuni oleh cucu perempuannya, Dwi Woro Retno Mastuti. Merasa terpanggil untuk menghidupkan kembali wayang Thithi, Dwi Woro memperdalam ilmu di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Kemudian bersama peneliti ISI Jogja dan staf Museum Sonobudoyo, Dwi Woro membangunkan wayang Thithi dalam pameran Silang Budaya Cina Jawa di Jogja Gallery, 3-10 Oktober 2014.

Menyajikan kembali wayang Thithi tidaklah mudah. Banyak wayang yang tidak disertai keterangan nama. Sementara itu, naskah-naskah lakon yang mungkin bisa membantu pengidentifikasian telah habis dibakar, akibat keterbatasan pengetahuan dari anak Gan Thwan Sing. Saksi sejarah juga sudah tak ada yang hidup. Akhirnya Dwi Woro mengidentifikasi wayang Thithi dengan cara membandingkannya dengan lakon yang ada di komik Sie Jin Kui, yang dibuat tahun 1983.

Setelah berhasil menghidupkan kembali wayang Thithi di tahun 2014, Dwi Woro terus mengupayakan diselenggarakannya pagelaran Wayang Thithi. Secara konsisten wayang ini akan dipentaskan saat Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta setiap tahunnya. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menyelenggarakan pentas wayang unik ini sewaktu-waktu.


SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags