1. Home
  2. »
  3. News
3 Desember 2015 11:00

Hardjosoewarno, tukang becak pewaris milik Go Tik Swan (5)

"Kami sendiri tidak tahu kenapa kami yang dipilih.” Nur Romdlon

Brilio.net - Awal November lalu, terik panas matahari begitu menyengat di Kota Solo. Tapi terik panas siang itu sama sekali tak menyurutkan aktivitas warga. Hilir mudik kendaraan berbagai kendaraan bermotor di Jalan Slamet Riyadi yang menjadi jalan utama di Solo menandakan ramainya aktivitas. Di antara banyak kendaraan bermotor itu, masih sangat mudah untuk menemui becak di sekitaran Keraton Surakarta maupun di daerah Stasiun Balapan.

Becak masih eksis di Solo lantaran masih sering digunakan sebagai moda transportasi untuk memanjakan wisatawan berkeliling Kota Solo, utamanya sekitaran Keraton, Pasar Klewer, hingga Alun-alun Kidul.


Beratnya mengayuh becak, apalagi disengat terik matahari masih terkenang lekat di pikiran Kanjeng Raden Arya Hardjosoewarno. Meski hal itu sudah berlalu puluhan tahun lalu, tapi ia tak akan pernah lupa masa-masa sulitnya saat itu, menunggu penumpang setiap malam di depan Stasiun Balapan atau di dekat perempatan jalan besar. Karena berkat becak, ia bisa bertemu dengan Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro hingga bisa disegani seperti sekarang ini.

Supiyah saat menjelaskan tentang batik Go Tik Swan.

KRA Hardjosoewarno saat ini tinggal di Ndalem Hardjonagaran bersama istri dan anaknya. Ia menempati rumah mendiang Panembahan Hardjonagoro, majikan yang telah menganggapnya sebagai adik sendiri. Sepeninggal Panembahan Hardjonagoro, rumah seluas 2.030 meter persegi itu diserahkan ke Hardjosoewarno. Telah lama sekali Hardjonagoro menyiapkan Hardjosoewarno dan istrinya Supiyah Anggriani sebagai ahli warisnya. Sejak puluhan tahun lalu, Hardjosoewarno selalu mengikuti ke manapun perjalanan Hardjonagoro. Dari mengikuti perjalanan itulah Hardjosoewarno dapat menyerap berbagai ilmu dari Hardjonagoro hingga akhirnya siap untuk meneruskan ilmu Hardjonagoro dalam urusan tosan aji atau benda pusaka.

Sementara Supiyah yang juga telah puluhan tahun menyertai Hardjonagoro berkewajiban meneruskan dan melestarikan Batik Hardjonagaran yang merupakan terusan dari Batik Indonesia buatan Hardjonagoro atas permintaan Presiden Soekarno. Sudah sejak puluhan tahun lalu pula ia dididik Hardjonagoro dalam urusannya dengan batik.

Hardjosoewarno mempunyai nama asli Soewarno. Ia mengenang, ketika sedang menarik becak melewati Jalan Keratonan, tiba-tiba ada orang yang menyetop dari rumah bernomor 101 (sekarang menjadi Jalan Yos Sudarso 176). Tak disangka, ternyata yang menyetop dan menunggangi becak Soewarno adalah seorang pecinta budaya Jawa sekaligus orang yang punya hubungan yang dekat dengan Keraton Surakarta. Sejak saat itu becak Soewarno menjadi becak langganan Hardjonagoro, rutenya tak terbatas dari rumah ke Keraton Surakarta, melainkan juga ke berbagai tempat lain yang dikunjungi Hardjonagoro.

Hardjosoewarno dan keris yang baru dibuatnya

Suatu hari pada tahun 1969, Soewarno dikejutkan dengan pertanyaan Hardjonagoro. Saat itu Hardjonagoro menawarinya untuk ikut di rumah membantunya. Tentu saja Soewarno tak menolak tawaran baik itu.

"Entah, mungkin beliau kasihan memandang saya, merasa kalau saya orang yang mudah dididik atau bagaimana. Atau bisa jadi karena setiran becak saya enak bagi orang tua. Padahal asistennya juga banyak, kok saya ditawari juga," cerita Soewarno yang kini bernama KRA Hardjosoewarno kepada Brilio.net, Selasa (24/11).

Soewarno mulai bekerja kepada Hardjonagoro sebagai pekerja kasaran, misal memperbaiki atau mengecat rumah hingga pekerjaan kasar lainnya. Tentu Soewarno harus menerapkan sikap disiplin karena bekerja dengan Hardjonagoro yang selalu menerapkan sikap disiplin.

Selama lebih dari 30 tahun bekerja mengabdi kepada Hardjonagoro, telah banyak pelajaran yang dipetik Soewarno dari mengikuti berbagai aktivitas Hardjonagoro. Soewarno yang tak lulus Sekolah Dasar itu bahkan pengetahuan dan keahliannya tentang kebudayaan Jawa seperti adat istiadat, bahasa, batik, keris, dan kebudayaan Jawa lainnya tak kalah dengan sarjana budaya.

Dari waktu ke waktu, sikap Hardjonagoro terhadap Soewarno pun berubah, mula-mula dianggap sebagai abdi, kemudian menjadi mitra, hingga akhirnya dianggap adik sendiri oleh Hardjonagoro. Panggilan Soewarno kepada Hardjonagoro pun lambat laun berubah, mulai dari Ndoro Nggung, Ndoro kanjeng, Mas kanjeng, Mas Pangeran, hingga Mas Panembahan mengikuti perubahan gelar Hardjonagoro yang didapatkan dari Keraton Surakarta.

Ke manapun Hardjonagoro pergi, di sampingnya pasti ada Soewarno yang berpakaian necis, menyetir mobil, membawa tas, dan menyangklong kamera. Perubahan status Soewarno dari tukang becak menjadi priyayi semakin komplit dengan diberikannya gelar dari Keraton Surakarta. Gelarnya pun semakin naik, mulai dari Mas Lurah, Mas Ngabehi, Raden Ngabehi, Raden Tumenggung, Kanjeng Raden Tumenggung, Kanjeng Raden Haryo Tumenggung, hingga Kanjeng Raden Aryo Hardjosoewarno pada tahun 2000. Meskipun memperoleh derajat dari keraton yang cukup tinggi, tapi Hardjosoewarno tetap ingat masa lalunya ketika setia menunggu penumpang.

Kegiatan membatik di rumah Hardjosoewarno.

Pada 1987, Hardjosoewarno menikah dengan Supiyah Anggriyani, janda muda berputra satu yang juga merupakan pembantu dekat Hardjonagoro. Saat menikah, Hardjosoewarno mempunyai tanggungan empat anak dari pernikahan sebelumnya. Perkawinan Hardjosoewarno dengan Supiyah dikaruniai satu anak.

Bagi Supiyah, Hardjonagoro adalah sosok tak lelah untuk mendidik. Tak pernah terpikir olehnya bisa mewarisi keahlian membatik sang maestro. "Saya kalau nggak beliau yang nyuruh tidak akan berani meminta diajari membatik. Tapi saat itu tiba-tiba saya diminta untuk belajar membatik. Mungkin karena beliau bingung siapa yang akan meneruskan ilmunya," kata Supiyah dalam perbincangan dengan Brilio.net, Selasa (24/11).

Kebaikan Hardjonagoro tak hanya berhenti pada Hardjosoewarno dengan Supiyah, tapi juga kepada anak-anak mereka. Empat dari enam anak mereka diangkat menjadi anak Hardjonagoro karena Hardjonagoro tak mempunyai anak dari pernikahan yang pernah dilakukan. Bahkan saat anak-anak Hardjosoewarno dan Supiyah menikah, Hardjonagoro lah yang ngunduh mantu. Hardjosoewarno dan Supiyah ditetapkan sebagai ahli waris Hardjonagoro yang berkewajiban merawat dan melestarikan peninggalan Hardjonagoro, termasuk batik dan besalen tosan aji yang telah dibangun Hardjonagoro.

"Kami sendiri tidak tahu kenapa kami yang dipilih, barangkali dipandang kalau kami bisa menjaga amanah beliau," kata Hardjosoewarno.

BACA JUGA:

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Go Tik Swan dan persahabatan erat dengan Bung Karno (3)

Mimpi Go Tik Swan ke Mekkah dan Madinah yang akhirnya terkabul (4)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags