Brilio.net - Rumah kuno di Jalan Yos Sudarso 176 itu tampak lengang. Pagar yang menutup tinggi membuat orang di jalanan sulit melihat teras rumahnya. Hanya terlihat dari luar kalau rumah itu tak terlalu luas. Tapi jika masuk ke dalam rumah yang disebut Ndalem Hardjonagaran, maka baru terlihat jika rumah itu cukup luas.

Di belakang rumah itu, terdapat puluhan pekerja batik yang terbagi di beberapa tempat berdasarkan tugasnya. Di bagian belakang rumah tersebut, tak kurang terdapat 10 bangunan lain dengan berbagai fungsi yang berdiri di atas tanah seluas 2.030 meter persegi. Selain rumah utama, ada pula ruang gamelan, Pendapa Pugeran, bangsal pameran, los pembatikan, kandang derkuku, perpustakaan, hingga besalen tempat membuat keris. Tapi yang menarik, ada puluhan patung purbakala di sana. Ada sekitar 40 patung yang tertata rapi di setiap sisi bangunan yang ada.

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Infografis: MT Ardynata

"Ya, itu patung-patung paninggalan Panembahan Hardjonagoro yang pada 11 Agustus 1985 lalu diserahkan kepada pemerintah. Tapi hingga saat ini masih tersimpan di sini," terang KRA Hardjosoewarno, ahli waris Hardjonagoro kepada Brilio.net, Selasa (10/11).

Panembahan Hardjonagoro yang mempunyai nama asli Hardjono Go Tik Swan adalah salah seorang keturunan Tionghoa yang sangat memahami budaya Jawa. Nama maupun wajah Go Tik Swan yang jika didengar maka lebih identik dengan etnis Tionghoa ini menggeluti dunia tari, batik, patung purbakala, dan keris. Kedekatan dengan budaya Jawa ini sudah dipupuknya sejak kecil. Kecintaannya terhadap seni tradisi Jawa ini bukan merupakan suatu kebetulan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan bukan atas dasar tekanan maupun perintah siapapun.

Pada 1953 Go Tik Swan kuliah di Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa Universitas Indonesia (UI), membelot dari keinginan orangtua yang memintanya kuliah di Fakultas Ekonomi. Cerita tentang keluarganya yang masih memiliki hubungan dengan Sunan Bayat mendorongnya untuk memahami hikayat-hikayat Jawa. Atas kecintaannya dengan dunia Jawa ini dia menjadi marjinal di keluarganya. Bahkan maminya pernah menyebutnya sebagai orang yang tidak waras.

Dari Bung Karno, Go Tik Swan mendapat 'perintah' untuk membuat batik yang beda dengan batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, yang oleh Bung Karno dinamai 'Batik Indonesia'. Akhir 1955 Batik Indonesia lahir.

Perjalanan kehidupan Go Tik Swan tahun 1975-1990 dihabiskan untuk mengabdi di museum tertua Indonesia, Radyapustaka yang berada di Jalan Slamet Riyadi, Surakarta. Go Tik Swan merupakan ketua kelima. Di Karaton Kasunanan Surakartan, Go Tik Swan merupakan salah satu pendiri Art Gallery Karaton Surakarta (Museum Karaton) pada tahun 1963.

Dari abdi dalem, pada 1972 Go Tik Swan diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung (RT) Hardjonagoro. Tahun 1984 diangkat sebagai Bupati dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonagoro. Tahun 1994 diangkat Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Haryo Tumenggung (KRHT) Hardjonagoro. Pada 1998 Go Tik Swan diangkat menjadi Kangjeng Pangeran Tumenggung (KPT) Hardjonagoro.

Pada 1979 Go Tik Swan diberi hadiah umroh selepas menjadi pembicara dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Irene Emery Roundtable on Textiles Museum di New York.

Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi (PLKJ) juga menghadiahi Bintang Bhakti Budaya pada Go Tik Swan pada 1993 karena dinilai telah memajukan kebudayaan Jawa. Satyalencana Kebudayaan juga diterimanya dari Presiden RI melalui Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2001. Namanya diabadikan di pasar rakyat paling legendaris di Solo, Pasar Gede Hardjonagoro.

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Luwesnya Go Tik Swan menari Jawa (Repro buku Jawa Sejati)

Selain sebagai maestro batik Indonesia, Go Tik Swan juga pandai menari. Pengetahuannya juga sangat luas mengenai tosan aji atau benda pusaka Jawa. Tak hanya itu, ia juga gemar sekali menyusuri gang-gang sempit di pelosok desa untuk mencari patung purbakala yang tak pernah terjamah oleh pemerintah. Kegemarannya itu membuat keturunan etnis Tionghoa ini menjadi Jawa sejati, melebihi orang Jawa asli. Karena tak memiliki keturunan, sepeninggal Go Tik Swan pada 2008 lalu, maka rumah dan seisinya diwariskan kepada KRA Hardjosoewarno sekeluarga yang telah lama mengabdi kepadanya. Bersama istrinya, Supiyah Anggriyani, Hardjosoewarno berkewajiban menjaga dan melestarikan batik Hardjonagoro dan besalen keris yang ada di rumah tersebut.

Bagi Hardjosoewarno, meskipun berdarah Tionghoa, Go Tik Swan lebih Jawa dibandingkan orang Jawa pada umumnya. Sejak kecil Go Tik Swan telah terdidik di lingkungan yang sangat memjunjung tinggi budaya Jawa. Ia hidup di tengah-tengah ribuan pebatik yang bekerja dengan kakeknya.

Hardjosoewarno mencontohkan, jika orang kaya zaman dulu pada umumnya menyusuri desa-desa untuk berburu burung, maka hal lain dilakukan oleh Go Tik Swan. Ia menyusuri kampung-kampung untuk mencari batu-batu yang mempunyai nilai sejarah. Saat mengetahui kabar ada patung purbakala, maka dengan secepatnya dia akan meluncur ke tempat itu. Ia pernah menemukan patung purbakala di tengah sawah, di antara pepohonan bambu, di tengah parit, hingga di bawah jembatan karena patung itu digunakan untuk menyangga jembatan.

"Pada saat itu belum ada undang-undang dari pemerintah, hingga semua orang bisa dengan leluasa mengoleksi benda cagar budaya," kata Hardjosoewarno.

Dalam buku 'Jawa Sejati, Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro' tulisan Rustopo diceritakan bahwa kegemaran Go Tik Swan berburu benda purbakala itu muncul sejak ia menemani KGPH Hadiwijaya mengelola Museum Radyapustaka Solo. Go Tik Swan sangat prihatin dengan potongan-potongan batu patung purbakala yang berserakan di mana-mana seperti benda tak berharga. Rasa keprihatinan itu medorongnya untuk berburu patung purbakala itu sendiri sejak tahun 1956, seiring dengan kesibukannya mengelola batik di Solo.

Setiap melakukan perburuan, Go Tik Swan selalu ditemani dengan kawan karibnya bernama Diarto. Selama melakukan perburuan, bukti bahwa patung perbakala itu dianggap tak penting semakin nyata. Banyak patung yang bersejarah itu dijadikan penopang jembatan bahkan dijadikan tumpuan orang buang hajat di pinggir kali. Anggapan masyarakat pedesaan bahwa benda itu tak bernilai membuat tak sulit bagi Go Tik Swan untuk memiliki benda tersebut. Ia biasa menukar benda tersebut dengan pengganti yang lebih dibutuhkan oleh warga, misalnya dengan membangun jembatan, membuatkan WC umum, atau memberikan pengganti uang.

Kegemarannya memburu patung di perkampungan itu banyak dianggap sebagai kebiasaan yang aneh oleh banyak orang. Bahkan orang yang menganggap Go Tik Swan tak waras karena terus mengumpulkan puing-puing batu itu adalah maminya sendiri, Tjan Ging Nio. "Setiap hari kok ngurusi reca-reca tugel (arca-arca patah), ngebak-ngebaki (menuh-menuhin) rumah saja," kata Go Tik Swan kepada Rustopo menirukan omongan maminya.

Kalimat itu muncul dari maminya karena di halaman rumahnya dipenuhi dengan potongan-potongan patung batu. Tapi Go Tik Swan bergeming dan tak pernah menghentikan perburuannya, ia berkeyakinan bahwa benda-benda tersebut suatu saat akan berharga. Tak hanya dikumpulkan, oleh Go Tik Swan potongan patung itu juga dipelajari dan dibentuk kembali sehingga menghasilkan patung yang kelihatan relatif utuh.

Patung yang dikumpulkan Go Tik Swan bisa dikatakan sangat berharga, seperti patung Syiwa, Nandi, Kuwera, Durga, Wishnu, Budha, Bima, Makara, Dwarapala, Brahma, Agastya, Ganesa, dan masih banyak lagi yang lainnya. Patung yang dikumpulkan Go Tik Swan hampir semuanya istimewa, baik dari segi bentuk, estetika, nilai historis, hingga makna simbolik yang terkandung. Di antara patung istimewa itu, ada patung Bima yang dibuat sekitar abad ke-14 dan berasal dari Candi Sukuh Karanganyar.

Pada zaman Mangkunegara IV Solo, patung Bima itu dibawa ke Solo atas perintah seorang pangeran. Kemudian saat zaman Mangkunegara VII, patung itu terlihat menghiasi Taman Balekambang milik Istana Mangkunegaran. Pada saat Go Tik Swan menemukan patung itu, kondisinya sudah memprihatinkan, patung itu hanya tergeletak di tanah dan terbagi menjadi tiga potongan. Lalu atas izin Mangkunegara VIII, patung itu diselamatkan Go Tik Swan, dibentuk kembali seperti aslinya dan dirawat hingga sekarang.

Go Tik Swan mengoleksi patung itu bukan seperti kolektor lainnya yang hendak menjualnya ke luar negeri dengan harga tinggi. Niat Go Tik Swan hanyalah ingin menyelamatkan benda itu. Maka tak heran jika kemudian Go Tik Swan mengembalikan patung-patung itu kepada masyarakat melalui pemerintah. Ia buat surat wasiat yang berisi tentang penyerahan patung-patung itu kepada pemerintah untuk masyarakat. Dalam lampiran surat wasiat itu, ia sebutkan juga daftar 44 patung yang ditemukan dan dirawatnya. Acara serah terima dilaksanakan pada tanggal 11 Agustus 1985 di Ndalem Hardjonagaran, rumah Go Tik Swan. Pada saat itu disebutkan oleh perwakilan pemerintah bahwa apa yang dilakukan Go Tik Swan merupakan yang pertama kali terjadi, seorang warga negara dengan sukarela menyerahkan benda-benda koleksinya yang punya nilai sejarah.

"Tahun 1985 karena kesadaran dan ketajaman beliau, patung-patung ini dihibahkan pada negara. Saya salah satu yang menandatangani surat serah terima sebagai ahli waris," terang KRA Hardjosoewarno kepada brilio.net, (25/11)

Meskipun telah diserahterimakan kepada negara, hal itu tak lantas membuat patung itu diusung dari Ndalem Hardjonagaran. Go Tik Swan memberikan syarat jika patung itu harus tetap ada di Ndalem Hardjonagaran selama ia masih hidup. kemudian setelah ia wafat, patung itu bisa diambil ketika pemerintah telah menyiapkan tempat yang layak bagi puluhan patung berharga tersebut.

"Tapi sampai saat ini pemerintah belum siap untuk mengambil patung-patung ini karena belum ada tempat yang representatif. Tapi dulu beliau berpesan, meskipun diambil tapi patung-patung ini tetap ada di Solo," kata KRA Hardjosoewarno.

***

Tak hanya menggemari patung purbakala, Go Tik Swan yang bergelar panembahan Hardjonagoro juga menggemari tosan aji atau benda pusaka seperti keris. Tak puas hanya mendengarkan cerita kehebatan keris zaman dulu, Go Tik Swan bersama KGPH Hadiwijaya yang merupakan putra Paku Buwana X mendirikan paguyuban pecinta keris bernama Bawarasa Tosan Aji (BTA) pada tahun 1959. Go Tik Swan bersama Hadiwijaya dan Sumodiningrat selalu menjadi penceramah dalam sarasehan BTA.

Hubungan Go Tik Swan dengan Hadiwijaya memang bisa dibilang sangat dekat. Saat kecil, Hadiwijaya lah yang membuat Go Tik Swan menggemari keris. Go Tik Swan yang sejak kecil tinggal dengan neneknya banyak belajar tentang tosan aji, tari, gamelan, dan budaya Jawa dari KGPH Hadiwijaya.

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Patung purbakala memenuhi sudut kediaman Go Tik Swan.

Kedekatan itu berlanjut hingga dewasa. Go Tik Swan juga yang membantu KGPH Hadiwijaya dalam mengurus Museum Radyapustaka. Sepeninggal KGPH Hadiwijaya, jabatan yang pernah diembannya seperti ketua yayasan dan pimpinan Museum Radyapustaka, ketua yayasan Saraswati, ketua BTA, semua diserahkan kepada Go Tik Swan Hardjonagoro.

Pokok bahasan yang biasa didiskusikan dalam BTA antara lain tentang ilmu tosan aji atau krisologi, lingkungan atau pusat pembuatan keris, jenis, kegunaan, dan kedudukan sosial, dan segala macam masalah yang berhubungan dengan tosan aji kecuali masalah jual beli. Sayangnya, meskipun pengetahuan anggota BTA sudah mumpuni, tak ada satupun yang berani turun tangan memulai pembuatan keris setelah lama mati.

Hingga akhirnya datanglah Dietrich Drescher, pelaut Jerman yang menggemari keris Jawa. Saat datang ke Museum Radyapustaka, ia mengungkapkan kepada Hardjonagoro bahwa ia telah menemukan sisa-sisa besalen atau tempat membuat keris di Jitar Yogyakarta yang legendaris itu. Bersama Dietrich Drescher, Hardjonagoro lalu mendatangi Yasa dan Jeno, keturunan mpu keris di Jitar Yogyakarta. Mereka meminta dua keturunan mpu tersebut untuk membangkitkan lagi besalen yang ada dan membuat keris seperti yang ditunjukkan dalam manuskrip Mpu Djojosoekatgo.

Setelah berhasil membangkitkan kembali besalen keris di Yogyakarta, Hardjonagoro bersama anggota BTA lainnya bertekad untuk membangkitkan besalen yang ada di Solo. Berjalannya waktu, besalen yang berhasil dibangkitkan maupun dibuat adalah Besalen Suparman, Besalen Fauzan, Besalen ASKI (sekarang menjadi ISI Surakarta). Dari besalen-besalen itu, dihasilkan keris-keris baru.

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Koleksi keris Go Tik Swan

Pada 1988, Go Tik Swan juga membangun besalen di kediamannya yang diberi nama Besalen Surolayan, karena sebelumnya rumah itu diberi nama Ndalem Surolayan. Besalen itu dipasrahkan kepada Hardjosoewarno, pembantu kepercayaan Hardjonagoro sekaligus calon pewaris.

Bagi Rustopo, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Go Tik Swan Hardjonagoro punya peran besar bagi bangkitnya besalen-besalen yang membuat keris. Tak hanya mempunyai pengetahuan tentang keris, Hardjonagoro bisa mendesain dan mengarahkan pembuatan keris.

"Dia memang tidak membuat sendiri, tapi dia itu perancang dan sangat tahu sekali dengan keris lewat Bawarasa Tosan Aji yang dibangun oleh Hadiwijaya yang kemudian diteruskan oleh dia sampai wafat," kata Rustopo yang juga menganggap Hardjonagoro adalah orang yang paling teliti masalah keris.

BACA JUGA:

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Go Tik Swan dan persahabatan erat dengan Bung Karno (3)

Mimpi Go Tik Swan ke Mekkah dan Madinah yang akhirnya terkabul (4)

Hardjosoewarno, tukang becak pewaris milik Go Tik Swan (5)