Brilio.net - Menjadi pendamping bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan hal yang ringan. Tak jarang stigma sebagai pengidap HIV/AIDS tertuju pada mereka. Hal itu diceritakan oleh Christina Siahaan (46), salah satu pendamping ODHA asal Jakarta Timur yang telah mencurahkan dirinya untuk para ODHA sejak akhir tahun 2011.

Chrissy, panggilan akrab Christina Siahaan, menceritakan jika keinginan untuk aktif menjadi pendamping ODHA muncul ketika tiba-tiba teman terdekatnya meninggal karena HIV/AIDS. Padahal dia tahu bahwa teman dekatnya itu merupakan orang baik-baik yang menurutnya tidak akan mungkin terjangkit HIV/AIDS. Saat itu Chrissy berpikiran jika HIV/AIDS hanya menjangkit orang 'nakal'.

Chrissy lalu tergerak untuk tahu lebih jauh tentang HIV/AIDS. Ia kemudian mendatangi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) untuk diberi penjelasan tentang HIV/AIDS. "Karena saya berpikiran kalau pengetahuan setengah-setengah itu malah berbahaya, makanya saya memang cari tahu dari A sampai Z tentang HIV/AIDS," kata Chrissy kepada brilio.net, Selasa (1/12).

Akhir tahun 2011, Chrissy mulai mengabdikan dirinya sebagai relawan PKBI yang mendampingi ODHA. Mendampingi ODHA yang kadang tak mau terbuka karena takut disepelekan atau dibuang dari lingkungan menjadi aktivitas harian Chrissy. Chrissy membantu, menguatkan, dan menemani para ODHA. Tak jarang bahkan Chrissy menjadi penyambung lidah antara ODHA dengan keluarganya.

Chrissy sudah menjadikan orang yang ia dampingi sebagai sahabat bahkan saudara sendiri. "Anak-anak saya juga sudah terbiasa berinteraksi dengan ODHA ataupun LGBT," kata orangtua tunggal dari empat anak ini.

Cerita Chrissy, abdikan hidupnya untuk jadi pendamping pengidap HIV

Chrissy bercerita jika stigma buruk terhadap ODHA sampai saat ini masih sangat melekat bagi masyarakat Indonesia. Padahal belum tentu mereka yang terkena HIV/AIDS adalah orang yang melakukan seks bebas. Bahkan menurut data yang ada, kata Chrissy, mereka yang terkena HIV/AIDS lebih banyak merupakan ibu rumah tangga yang tak tahu apa-apa. Bisa jadi mereka menjadi ODHA karena terlalu percaya dengan suami yang tidak melakukan seks aman di luar.

Karena stigma yang begitu tajam dari masyarakat, banyak ODHA yang tak siap untuk mengambil obat bulanan yang harus mereka minum di klinik yang menyediakan obat. Di situlah peran pendamping ODHA yang membantu mengambilkan obat bagi ODHA. Tak hanya itu, mereka juga berperan memberikan pendampingan saat periksa maupun pendampingan-pendampingan lainnya.

Menurut Chrissy, stigma bagi ODHA tak hanya muncul dari masyarakat umum, orang-orang medis yang harusnya sudah tahu tentang HIV/AIDS pun masih banyak yang takut dan belum memberikan penerimaan terhadap ODHA. "Dulu saat awal mendampingi, saya sering membawa hasil tes terbaru yang menunjukkan kalau saya negatif HIV, tapi lama-kelamaan saya cuek saja mau dianggap seperti apa," kata Wakil Ketua Pelaksana Harian PKBI Cabang Jakarta Timur ini.

Untuk melakukan sosialisasi terhadap HIV/AIDS, Chrissy bahkan sampai blusukan ke RT dan RW daerah tempat tinggalnya dengan membawa dokter. Ia mengajak mereka untuk lebih tahu tentang HIV/AIDS dan tidak takut untuk melakukan tes HIV/AIDS. Chrissy bahkan juga pernah melakukan sosialisasi ke klub malam dan tempat para pekerja seks. Semua itu dilakukan agar mereka dapat mendeteksi secara dini jika terjangkit HIV/AIDS dan bisa segera ditangani.

"Tapi itu tidak mudah, mereka kadang mau tes setelah muncul tanda-tanda demam atau diare. Dan itu yang saya sesalkan," kata wanita kelahiran 26 April 1969 ini.

Sampai saat ini sudah banyak sekali ODHA yang Chrissy dampingi. Ia bahkan secara khusus tak mau mencatat karena ia akan merasa sangat sedih ketika harus mencoret daftar dampingannya yang meninggal. Chrissy berharap, masyarakat tak hanya tahu tentang HIV/AIDS, melainkan juga bisa menerima keberadaan mereka dan tidak memberikan stigma yang tajam. Bagi Chrissy, obat utama ODHA adalah dukungan dari orang terdekat, karena itu yang akan membuat mereka lebih kuat menjalani hidup.