Brilio.net - Resensi merupakan tulisan kritis terhadap suatu karya, menyajikan pandangan pribadi yang mencerminkan pemahaman dan penilaian pembaca. Resensi bukan hanya sekadar rangkuman, melainkan pandangan atau analisa terhadap suatu karya. Pada prinsipnya meresensi merupakan kegiatan penilaian seseorang terhadap karya, seperti karya sastra maupun film.

Adapun ciri khas resensi yaitu kritis, objektif, dan informatif. Hal itulah yang membedakan resensi dengan berbagai ulasan lainnya. Seorang penulis resensi tidak hanya memberikan opini subjektif, tetapi juga menyajikan argumentasi yang kokoh untuk mendukung pandangannya. Kemampuan memahami konteks karya dan menyajikannya secara objektif memperkuat kualitas sebuah resensi.

Sementara, struktur resensi biasanya mengikuti pola tertentu, yang pada dasarnya memastikan kejelasan dan keterkaitan tulisan dalam satu resensi. Di mana menulis resensi dimulai dari pengenalan dan gambaran awal, lalu diikuti oleh analisis mendalam tentang berbagai aspek karya seperti kelebihan dan kekurangan, dan diakhiri dengan kesimpulan yang merangkum pandangan penulis.

Nah, supaya lebih paham mengenai teks resensi, kamu harus membaca contoh-contoh teks resensi. Nah, berikut brilio.net rangkum dari berbagai sumber, Jumat (1/11), inilah contoh teks resensi yang bisa kamu baca.

1. Contoh resensi buku pelajaran.

Contoh teks resensi © 2021 brilio.net

foto: pexels.com

Resensi Buku Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX
Identitas karya

- Judul Buku: Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX
- Pengarang: Atikah Anindiya Rini, Suwono, Suhartanto
- Penerbit: Pusat Pembukuan Departemen Pendidikan Nasional
- Tahun Terbit: Juli, 2008
- Jumlah Halaman: 194 halaman

Intisari karya

Buku pelajaran ini berisi informasi seputar bahasa Indonesia yang bisa dipelajari khusus untuk anak SMP kelas IX. Di dalamnya ada berbagai bentuk kegiatan, seperti memahami dialog interaktif, memahami wacana tulis, menulis iklan, dan meresensi.
Penulis pun juga menambahkan beberapa tugas untuk siswa berupa memusikalisasi puisi, menulis cerpen, pidato, karya ilmiah, surat, memahami novel, serta menanggapi pementasan drama dan membuat teks drama.

Buku ini dikemas sebagai sarana pembagian ilmu oleh guru pada murid dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa SMP. Buku ini cocok untuk memenuhi kebutuhan belajar dan terampil bahasa Indonesia. Isi materinya pun sudah disesuaikan dengan kurikulum terbaru.

Kelebihan Buku

Buku ini disajikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, sehingga siswa bisa belajar sendiri di rumah dengan mudah. Topik-topiknya yang ditulis pun berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga lebih mudah dipahami oleh para siswa. Selain itu, kegiatan yang dianjurkan dalam buku ini sangat menarik sehingga pelajaran bahasa Indonesia menjadi tidak membosankan.

Kekurangan Buku

Buku ini hanya mengajarkan sedikit teori dan lebih banyak menggunakan metode praktik seperti pelatihan dan apresiasi sastra. Alangkah lebih baiknya apabila di dalam buku diberikan sedikit teori, hanya sebagai dasar pengetahuan saja.

Sumber: m.merdeka.com

2. Contoh resensi novel fiksi.

Contoh teks resensi © 2021 brilio.net

foto: pexels.com

Resensi Novel Laskar Pelangi

Identitas karya

- Judul Buku: Laskar Pelangi
- Pengarang: Andrea Hirata
- Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
- Tahun Terbit: 2005
- Jumlah Halaman: 529 halaman

Intisari karya

Laskar pelangi merupakan novel fiksi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan 10 anak di Pulau Belitung yang saling bersahabat. Orang tua mereka memiliki profesi yang sama, yaitu penambang timah. Meskipun hidup di tengah kemiskinan, namun mereka memiliki semangat bersekolah yang tinggi.

Keadaan sekolah mereka cukup memprihatinkan dan tidak layak huni. Sempat mendapat teguran dari pemerintah untuk menutup sekolah tersebut karena jumlah muridnya yang sedikit, yaitu hanya 10 orang siswa. Ketika sekolah nyaris ditutup karena pada saat penerimaan peserta didik baru hanya ada 9 orang siswa, Harun datang sehingga sekolah tidak jadi ditutup.

Dalam novel ini, karakter guru yang bernama Ibu Muslimah digambarkan merupakan sosok guru yang penyabar dalam mendidik para siswa. Meskipun beliau hanyalah lulusan SMP, namun beliau memiliki tekad yang kuat untuk mendedikasikan diri di dunia pendidikan.

Kelebihan

Cerita ini mempunyai gaya bahasa yang baik sehingga menjadikan alur ceritanya menarik untuk dibaca. Selain itu, banyak pelajaran hidup yang bisa diambil berdasarkan cerita di dalam novel ini.

Kekurangan

Latar belakang cerita berasal dari daerah terpencil sehingga ada beberapa bahasa yang tidak dimengerti oleh orang awam.

Sumber: m.merdeka.com

3. Contoh resensi buku non fiksi.

Contoh teks resensi © 2021 brilio.net

foto: pexels.com

Resensi Buku Indonesia Rumah Kita: Potret Keberagaman di Rumah Indonesia

Informasi karya

Judul : Indonesia Rumah Kita

Penulis : Ahmad Syafi’i Maarif, Mahfud MD, Benny Susetyo, Alissa Wahid, Faisal Oddang, dkk.

Penerbit : Liputan Enam

Edisi : Pertama, 2019

Tebal : 255 halaman

Intisari karya

Dalam buku ini dihimpun buah pemikiran dari banyak tokoh di negeri ini. Nama-nama pemikir itu juga tidak asing, seperti Buya Syafi’i Maarif, Alissa Wahid, Mahfud MD, Butet Kertaradjasa, dan lain lain. Juga muncul nama-nama sastrawan yang seperti Faisal Oddang dan Linda Christanty. Semuanya ibarat sebuah parlemen sidang, sedang menguatkan keragaman Republik ini dari sudut kepakaran masing-masing.

Boleh disimpulkan bahwa keberagaman yang dipotret dalam banyak tulisan buku ini adalah keelokan ragam budaya dan anomali gesekan akibat keelokan tersebut.

Fokus yang dibahas Agni Malagina adalah potret keberagaman Indonesia dari sepotong kain batik Tiga Negeri. Batik tiga warna yang memadukan pola batik dari Lasem, Pekalongan, dan Solo. Pun tiga warga: merah, biru, dan cokelat sogan. Perpaduan tiga kawasan ini juga yang dijadikan potret betapa cair budaya Indonesia, khususnya batik. Sepotong wastra tersebut mampu mengadopsi khazanah masing-masing daerah. Lebih dari itu Batik Tiga Negeri juga menjadi cawan peleburan atas budaya Nusantara, Tiongkok, dan Belanda.

Tiga ciri warna dipercaya memiliki arti merah getih pitik (merah darah) cerminan tradisi Tionghoa dari Lasem, biru indigo Belanda Pekalongan, dan cokelat sogan yang sarat makna filosofi Jawa (hlm 20).

Selain wastra, negara kita juga kaya akan bahasa daerah. Ini yang dipotret oleh Joni Endardi. Kepala Bidang Pengembangan Strategi Kebahasaan, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kemedikbud ini mengutarakan perihal betapa kayanya bahasa daerah kita.

Sumpah Pemuda memang memproklamirkan bahwa rumpun-rumpun bahasa itu akan menjungjung hormat pada bahasa kesatuan Bahasa Indonesia. Tampak bahwa itu kelak akan menafikan bahasa-bahasa daerah demi unggulnya bahasa persatuan. Namun ternyata, peristiwa paling sastrawi dalam sejarah Indonesia itu--meminjam kalimat Butet Kartarejasa--menyediakan ruang netral untuk saling berinteraksi, tanpa melukai, dan merasa bahasanya lebih tinggi dari bahasa lain.

Endardi membuktikan dengan kosakata malam dan mata saja bisa memunculkan banyak sekali lema dari bahasa daerah. Keberagamaan ini adalah kekayaan linguistik yang bila tidak dirawat dapat musnah dan digerus bahasa-bahasa prokem dan bahasa asing.

Kelebihan
Kebudayaan Indonesia beragam bukan hanya dalam perkara wastra dan bahasa. Beberapa esai dalam buku ini memaparkan pundi-pundi kebudayaan yang harus diterima beragam. Mulai dari kesenian daerah, teater, atau ritual-ritual kebudayaan dari penjuru Indonesia. Namun, bila boleh yang sepertinya belum banyak dibahas adalah hal kuliner. Hanya satu esai membahas makna toleransi agama Islam dan Hindu dari semangkuk soto Kudus.

Urusan soto, sambal, satai, misalnya, memiliki ragam dan wujud asimilasi budaya di setiap daerah. Keberagaman racikan tidak kemudian memunculkan pertikaian antarpenggemar masing-masing soto. Pelajaran menghargai perbedaan dari ragam kuliner akan membuat pembicaraan dalam buku semakin komprehensif. Dan ketidakhabisan kekayaan Indonesia untuk dibahas dalam kerangka keberagaman justru menguatkan klausa di awal bahwa Indonesia memang lahir untuk heterogen.

Menarik adalah mencermati dua esai milik Faisal Oddang dan Linda Christanty. Dua esai cukup panjang ini tidak berusaha membeberkan keberagaman lewat data maupun jawaban-jawaban sekadar formalitas dan normatif. Keduanya justru mengambil sisi lain dari indahnya keragaman: bahwa muncul konflik yang entah sengaja atau tidak dibiarkan begitu saja.

Di balik kebudayaan bissu di Toraja, muncul persoalan lain, yaitu musnahnya bissu sebab muncul kecenderungan homogen dalam masyarakat juga soal kepentingan ekonomi. Eksistensi bissu sebagai produk kebudayaan Toraja dewasa mulai terkikis oleh budaya lain yang tampil lebih dominan.

Gesekan-gesekan lain akibat perbedaan juga ditengarai menjadi sebab banyak peristiwa berdarah. Linda Christanty mencoba membalik fakta di balik keragamaan bernama Indonesia ada banyak kasus berdarah yang sengaja disimpan di bawah permadani zamrud khatulistiwa. Perbedaan bila diperlakukan keliru terbukti menjadi bahan bakar konflik horizontal, hingga berdarah.

Topik-topik pembahasan dalam buku sejatinya adalah tamparan halus kepada kelompok-kelompok yang berusaha membuat wajah Indonesia homogen. Fakta-fakta lapangan yang diejawantahkan penulis dalam buku ini bukti telak hal tersebut. Hingga tidak sekadar menjadi bangsa besar yang menghargai sejarah, juga memberikan perbedaan.

Kesimpulan

Jelas di luar buku ini, masih banyak unsur-unsur di tengah masyarakat yang menyuratkan keragaman Indonesia. Buku ini sekelumit dari lautan perbedaan dalam kehidupan bangsa kita. Mengutip kalimat Gus Dur dalam tulisan Alissa Wahid: yang sama, jangan dibeda-bedakan. Yang beda, jangan disama-samakan. Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan (hlm. 39).

Namun, menjaga kemajukan bukan sekadar dengan peneriman. Gus Dur mengajukan syarat utama penopang hal tersebut, yakni kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Bangsa kita mau tidak mau harus diakui belum sepenuhnya memenuhi tiga syarat tersebut. Bangsa kita masih terus mengupayakan. Oleh sebab itu, buku ini hadir tatkala bangsa ini diuji kekuatan dalam menjaga kesatuan di tengah perbedaan.

Sumber: Liputan6.com

4. Contoh teks resensi film.

Contoh teks resensi © 2021 brilio.net

foto: pexels.com

Rentang Kisah: Cerita Gado-gado, Kurang Fokus, Namun Hangatkan Hati

Identitas karya:

- Pemain: Beby Tsabina, Bio One, Junior Roberts, Cut Mini, dan Donny Damara, Ali Asegaf (Putra), Debo Andryos (Afif), Rigen Rakelna (Angling), Putera Wicak (Sakti)

- Produser: Frederica

- Sutradara: Danial Rifki

- Penulis: Danial Rifki

- Produksi: Falcon Pictures

- Durasi: 1 jam, 38 menit

Intisari Karya

Gita (Beby Tsabina) tinggal dalam keluarga yang bahagia bersama ayah (Donny Damara), ibu (Cut Mini), dan adiknya, Rizka (Jihan Fairuz). Pukulan ekonomi memaksa sang ayah mengadu nasib ke Amerika Serikat. Lulus SMA, Gita kuliah ke Jerman.

Di sana, ia mengenal Putra (Ali Asegaf), Afif (Debo Andryos), Rigen (Angling), Sakti (Putera Wicak), dan Paul (Bio One) yang menjajal peruntungan sebagai pembuat konten YouTube. Kehadiran mereka membuat hidup Gita yang sepi dan kelabu kembali cerah.

Gita sendiri berjuang melawan patah hati akibat diselingkuhi pacar, Robi (Junior Roberts) yang mengaku tak mampu menjalin hubungan jarak jauh. Gelagat perselingkuhan sudah terasa sejak Robi memblok akun Instagram Gita. Nyaris bunuh diri di dapur dan putus asa karena kesusahan mencerna mata kuliah, kehadiran Paul yang tengah mencari Tuhan memberi perspektif unik dalam hidup Gita.

Kelebihan

Menilik garis besar cerita, kita melihat keluarga dan hidup Gita yang berdimensi sekaligus kompleks. Gita yang galau tentang masa depan, gaya busana, dan kegagalan menjalin hubungan dibawakan Beby dengan apik.

Konflik membuat hidupnya bergelombang namun emosi tak harus meledak-ledak. Natural dan tampak manusiawi meski di satu adegan tampak ekstrem. Robi di tangan Junior terlihat punya karisma. Bio One di awal kurang bertenaga lalu menemukan momentum di kamarnya yang sempit.

Di rumah Gita, kita melihat Cut Mini dengan air muka tenang lalu bergradasi menampilkan beban berat di raut seiring tanjakan konflik. Puncak film ini pertemuan Gita dan ayahnya di negeri orang di mana Donny yang tampak tua mulai bingung mencerna masalah hidupnya sendiri.

Kekurangan

Tergambar jelas tekanan hidup dan kesepian di mukanya. Dengan karakter yang kaya, grafik konflik di film ini sejujurnya terasa kurang tajam. Apa yang sebenarnya terjadi? Itulah yang kami pikirkan usai menonton.

Pertama, bisa jadi arah naskah yang merembes ke banyak aspek. Di awal, Rentang Kisah mengusung pengkhianatan. Memasuki pertengahan, berubah warna menjadi pencarian akan Tuhan yang solusinya lagi-lagi ganti keyakinan. Di babak final, pengkhianatan dan pencarian dianggap berakhir.

Problem diganti menjadi “pulang” sebagai tema besar. Babak-babak awal yang kurang tuntas mau tak mau selesai di ujung kisah. Akhirnya ada beberapa puncak konflik yang sepintas terasa berakhir begitu saja. Atau entah ke mana perginya.

Rentang Kisah jadi cerita gado-gado. Banyak tema dan tampak enggan menitikberatkan ke topik yang mana. Ini mengundang konsekuensi lain, yakni karakter-karakter pendukung di Rentang Kisah terasa kurang berdampak. Toh, pada akhirnya Gita pulang, titik.

Begitulah Rentang Kisah memulai dan mengakhiri cerita. Para pemain menunjukkan effort namun untaian naskah membuat mereka tampak kurang cerlang. Meski demikian, masih ada ruang-ruang dalam dialog yang membuat hati kita hangat.

Kesimpulan

Percakapan ibunda Gita dengan asisten katering soal sedekah Jumat, misalnya. “Bu, kalau telurnya dibagi empat?” tanya asisten. “Kalau kita mau bersedekah, walaupun kita susah kita harus istikamah,” jawab ibunda Gita, dibawakan dengan eskpresi tingkat dewa oleh Cut Mini.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, Rentang Kisah mampu menjadi film keluarga penghangat hati. Simpel dan menyentuh. Tidak tayang di bioskop mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir, Anda bisa menyaksikannya di platform digital Disney+ Hotstar mulai September 2020.

Sumber: Liputan6.com

5. Contoh teks resensi film.

Contoh teks resensi © 2021 brilio.net

foto: pexels.com

Halloween, Pertarungan Nenek Jagoan vs Pembunuh Sadis yang Menegangkan

Identitas karya

- Judul film: Halloween
- Sutradara: David Gordon Green
- Tanggal rilis: 17 Oktober 2018
- Pemain: Jamie Lee Curtis, Andi Matichak, Nick Castle, Judy Greer

Intisari Karya

Empat puluh tahun sejak pembantaian yang dilakukan oleh Michael Myers, Laurie Strode masih belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Ia hidup mengasingkan diri, melatih diri menggunakan beragam senjata api, dan tetap hidup bersama rasa paranoid bahwa suatu saat Michael Myers akan kembali.

Obsesinya ini, membuat hubungan Laurie dan putrinya, Karen Strode (Judy Greer), memburuk. Laurie bahkan tak diizinkan untuk berhubungan dengan cucunya, Allyson (Andi Matichak)

Michael Myers sendiri, selama empat dekade terakhir dikurung di rumah sakit jiwa dengan pengamanan maksimum. Selama dirawat di sana oleh dr Ranbir Sartain (Haluk Bilginer), ia sama sekali tak pernah bersuara.

Hingga suatu saat, diputuskan bahwa Michael akan dipindahkan ke rumah sakit lain. Dalam perjalanan, ia berhasil kabur. Bertepatan dengan malam Halloween, Michael kembali bergentayangan, memburu korbannya.

Terutama mangsa yang istimewa untuknya: Laurie Strode dan keluarganya.

Kelebihan karya
Tak perlu takut kebingungan menonton Halloween edisi 2018 ini. Latar belakang Michael Myers dan Laurie Strode diterangkan secara cukup ringkas dan tak terlalu bertele-tele di awal film. Penonton bisa langsung menikmati film, meski sama sekali tak tahu siapa Michael Myers sebelumnya.

Kekuatan utama film ini, adalah sosok Michael Myers itu sendiri. Karakternya yang berdarah dingin dan tanpa sepatah kata menghabisi korbannya dengan cara sadis, membentuk Michael sebagai seorang tokoh menakutkan.

Tak hanya para tokoh di atas layar yang bakal ketakutan dengan kehadiran sosok ini. Para penonton pun ikut terteror dan deg-degan, mengira-ngira hal keji apa lagi yang bakal dilakukan Michael.

Sejumlah adegan pembunuhan ditampilkan secara terselubung, ada juga yang 'hanya' memperlihatkan kondisi mengenaskan para korban. Hal ini, secara efektif ikut membuat imajinasi penonton terhadap kekejian Michael, berkembang semakin liar.

Sosok lain yang patut diberi jempol adalah Jamie Lee Curtis, yang kini menghidupan sosok Laurie sebagai nenek-nenek jagoan. Sisi rapuh maupun tangguh dari karakter ini, berhasil ia sampaikan dengan sama apiknya.

Kesimpulan

Pertarungan puncak antara Laurie dan Michael di ujung film, menjadi klimaks yang penuh gereget untuk Halloween.

Mungkin tidak berlebihan untuk menyebut bahwa Halloween edisi 2018 ini tak hanya menjadi ajang nostalgia bagi penggemar lama, tapi juga pintu gerbang bagi fans baru waralaba ini.

Sumber: Liputan6.com