Bagi Nur Anisa Rahmadani dan teman sekolah dasar di Desa Muara Gembong, Kota Bekasi ini, sekolah bukan hanya soal belajar membaca dan menulis saja. Melainkan juga tentang menjaga kaki mereka tetap kering dari genangan air yang tiap hari mereka rasakan.

Hampir setiap hari, laut yang terletak sekitar 3 kilometer dari kampung menjadi malapetaka. Pantai Bahagia dan ruang kelas serta rumah penduduk menjadi rawa yang sebenarnya tak layak huni. Setiap hari mereka harus berkubang di air. Bahkan dalam keseharian mereka tak bisa lepas dari banjir.

Pantai Bahagia berada sekitar 93 kilometer sebelah timur ibu kota Jakarta. Desa Muara Gembong dan sejumlah desa lain di sepanjang garis pantai tenggelam karena kerusakan lingkungan yang parah.

Pantai Bahagia sepanjang tahun mengalami pasang surut banjir dari air laut yang pasang di bulan purnama. Kepala desa Muara Gembong, Darman mengatakan bahwa mereka melihat banjir pasang besar sejak tahun 2000 namun situasinya sekarang menjadi sangat serius sehingga air banjir kira-kira sekitar ketinggian 20 sentimeter.

Lahan bakau bakau yang berfungsi seperti tanggul alami untuk membantu mencegah air pasang dan mencegah erosi pantai sudah rusak. Dalam beberapa dekade, masyarakat setempat telah menebang hutan bakau yang luas untuk memberi ruang bagi tambak ikan dan udang yang tidak berkelanjutan dan sawah.

"Inilah tanah kita, inilah yang kita miliki, jadi kita terpaksa tinggal di sini apakah banjir atau tidak," kata Wartim, salah satu warga Muara Gembong, Wartim mengeluh.

Meskipun hampir setiap hari banjir di sekolah, Rahmadani (10) dan teman-teman sekelasnya tetap tidak terpengaruh. "Saya tetap di sekolah dan tetap semangat saya karena saya ingin mengejar impian saya," katanya seraya menambahkan bahwa dia berharap bisa menjadi guru suatu hari nanti.