Brilio.net - Hari itu, Rabu (14/3), seperti biasanya jalanan Malioboro riuh dengan lalu lalang wisatawan, maupun para tukang becak yang menunggu ibu-ibu pulang dari Pasar Beringharjo. Menyusuri jalanan legendaris ini memang tak pernah ada sepinya. Hampir setiap meter disuguhi berbagai macam jenis belanjaan yang menggoda hasrat belanja.

Berjarak sekitar 500 meter dari Malioboro, kamu akan menjumpai kawasan berbeda dari destinasi belanja terkenal di Jogja itu. Yakni, Notoyudan. Secara populasi, memang tak jauh beda ramainya. Tapi, kawasan ini lebih banyak menjadi tempat hunian ketimbang pusat belanja.

Di antara rumah-rumah penduduk di Notoyudan itu, terdapat sebuah rumah mencuri perhatian. Setiap sore rumah itu penuh kesibukan anak-anak belajar dan bermain musik. Nada demi nada mereka mainkan dengan penuh semangat. Ekspresi mereka seketika berubah sedikit malu-malu jika melakukan kesalahan.

 Sanggar seni Notoyudan © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Ya, rumah tersebut adalah tempat belajar musik yang dinamai Sanggar Seni Notoyudan. Sebuah rumah sederhana yang berkonsep tradisional dan dikelilingi pepohonan yang rindang. Di rumah berwarna putih tersebut ada belasan anak berusia 7-15 tahun yang menyimak pelajaran musik dari gurunya.

Pendiri Sanggar Seni Notoyudan, Alvon, bercerita, sanggar seni itu dia dirikan karena kegelisahannya melihat banyak anak-anak yang ingin belajar musik tapi terkendala biaya kursus. "Terus bikin ini supaya anak-anak bisa belajar gratis," ucap Alvon ditemui brilio.net, Rabu (14/3).

 Sanggar seni Notoyudan © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Alvon yang sehari-hari merupakan pekerja seni itu mengaku, keinginanya membangun sanggar secara gratis ini sudah ada sejak lama. Namun, baru dapat terealisasi tiga bulan terakhir dengan dukungan teman-temannya.

Untuk membiayai sanggar ini, seperti membeli alat musik untuk belajar, pemain biola itu harus patungan dengan teman-temannya. Bahkan, para guru yang mengajar juga tidak diberi honor.

Awalnya, tenaga pengajarnya hanya empat orang, yakni dua guru biola, dan masing-masing satu guru piano dan keroncong. "Dulu kita buat kayak klinik gitu. Siapa aja boleh datang ke sini termasuk yang sudah bisa," kenangnya.

Info tentang keberadaan sanggar ini mereka sampaikan lewat media sosial. Anak-anak yang mau belajar secara gratis, bisa datang tapi daftar dulu. Rupanya sambutan masyarakat luar biasa. Orang-orang datang dari berbagai daerah, bahkan dari Bantul hingga Solo.

 Sanggar seni Notoyudan © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Awalnya, yang mendaftar untuk belajar berasal dari beragam usia, dari yang paling kecil 5 tahun hingga yang paling dewasa berusia 30 tahun. Sayangnya, sementara ini anak-anak lingkungan sekitar sanggar sendiri malah belum ada yang bergabung. "Untuk biola seminggu satu kali, untuk piano seminggu dua kali," tutur pria berusia 40 tahun itu.

Alvon juga membuat tata tertib yang harus ditaati para siswa, yaitu siswa hanya diperbolehkan bolos pelajaran maksimal dua kali. Sebab, jika membolos lebih dari itu, otomatis akan ketinggalan pelajaran yang cukup jauh, sehingga harus ikut belajar dari awal.

"Nanti kalau kita buka kelas lagi baru boleh daftar lagi. Supaya ini lebih tertib, kan kasihan gurunya ngejar-ngejar. Yang lain udah jauh, yang itu malah ketinggalan di belakang," tutur pria yang tinggal di Pogung tersebut.

 Sanggar seni Notoyudan © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Alat musik sumbangan warga

Walaupun seluruh siswa tidak dipungut biaya, namun sanggar ini tetap eksis. Rupanya kekuatan media sosial memang sangat berpengaruh untuk perkembangan sanggar ini. Informasi tentang sanggar ini di media sosial disambut warganet dengan sukarela menyumbangkan alat-alat musik.

Misalnya ada yang membelikan keyboard, piano, beberapa buah biola, dan gitar. "Mungkin juga karena beberapa teman-teman tahu kita ini non profit untuk sosial, jadi banyak yang perhatian juga sih," tutur pria yang berambut gondrong ini.

 Sanggar seni Notoyudan © 2018 brilio.net

foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon

Penyuka motor gede ini melanjutkan, sejauh ini pihaknya tidak terfikirkan untuk memungut biaya dari peserta didik. "Sekuat tenaga kita memperatahankan ini, " ucapnya.

Bulan depan sanggar ini akan kembali membuka kelas musik baru untuk siswanya yang berkeinginan belajar gitar. Terlebih sudah ada pengajar yang berkenan mengajar dengan sukarela. Pihaknya juga berencana membuka kelas drum.

Alvon berkeinginan untuk dua bulan mendatang sudah ada anak didiknya yang bisa tampil di pertunjukkan. "Kalau yang keroncong udah beberapa kali tampil, salah satunya waktu ngamen amal di acara bencana kemarin. Ada ikut festival juga kebetulan juara dua untuk anak-anak," tutupnya.