Brilio.net - Bagam cara untuk merintis bisnis. Supaya bisa masuk dalam sebuah pasar jual-beli di dalam masyarakat, banyak cara dan strategi yang diperlukan. Salah satunya adalah rasa keingintahuan dalam mencoba sebuah bisnis.

Bagi Dika Nur Annisa, peluang kadang tidak hanya bisa didapatkan ketika ide harus dipikirkan dengan keras. Ia memulai usaha kain lilit tanpa melalui ide yang rumit. "Waktu itu seorang temen perempuan datang ke aku, dia nanya gitu, 'eh aku mau ke kondangan mantan pacar ku nih, tapi aku nggak tau mau pakai pakaian apa, kamu ada ide nggak?'," cerita Dika saat ditemui brilio.net di kediamannya di Sleman, belum lama ini.

Dika Nur Annisa liputan © 2018 brilio.net

Perempuan 23 tahun ini pun memberi rekomendasi secara asal-asalan. "Ya udah, aku bilang ke temen ku ini gimana kalau pake kain lilit aja," ujarnya.

Saat itu dirinya sama sekali nggak kepikiran kain lilit ini bakalan menjadi peluang uasa. "Tapi ternyata sampai hari ini kain lilit adalah usaha dan jadi sumber pemasukan," ujar gadis kelahiran 16 Juni 1994 itu. Menurut Dika, peminat kain bermotif batik dengan metode pemakaian dililit ini ternyata cukup besar di Indonesia.

Dia mengaku mulai merintis usaha ini dengan modal Rp 300.000 pinjaman ayahnya dan uang pribadi Rp 50.000. "Aku beraniin diri buat nyari kain meteran, keliling pasar," jelas wanita kelahiran Sleman, D.I Yogyakarta.

Dika Nur Annisa liputan © 2018 brilio.net

Sebelumnya, Dika sempat memulai usaha dengan berjualan hijab yang bertahan hanya hingga 6 bulan. "Di situ aku mulai hopeless, apa aku nggak cocok memulai usaha, atau mungkin ternyata rezeki ku nggak di sini. Tetapi aku senang waktu pembeli mulai suka sama produk aku ini," ujar wanita berhijab ini sambil tersenyum.

Dika yang mengaku awalnya sulit mencari penjahit yang memang bener-bener mengerti dengan kemauannya, akhirnya dibantu sang ibunda. "Mamah yang ngejahitin untuk jadi sebuah kain yang kemudian siap pakai. Mamah juga yang bantu ngecek produk kain ini ada kecacatan atau nggak," ungkap dia.

Dika Nur Annisa liputan © 2018 brilio.net

Lebih lanjut dia menuturkan, saat ini untuk bahan-bahannya ia cari dari berbagai wilayah di Jawa. "Mulai dari survei harga, terus kualitas bahan itu semua jadi tanggung jawabku," tegas perempuan yang menamai usahanya dengan Chandani yang berasal dari bahasa Sansekerta.

Untuk mempromosikan karyanya, anak sulung dari tiga bersaudara ini harus melewati masa-masa yang tidak mudah. Awalnya kain lilit itu masih dikemas sederhana hanya dengan dibungkus plastik. Dika sendiri yang mempromosikannya.

Setelah usahanya berjalan dua tahun, produknya bahkan sudah dikirim hingga Belanda, Belgia, dan Jerman. "Aku juga bangga ini adalah karya buah tanganku yang ternyata menarik minat orang Indonesia yang tinggal di luar negeri," jelas perempuan dengan kawat gigi ini dengan bangga. Ia pun bisa mencapai omzet penjualan sekitar Rp 40 juta per bulan.

Dika Nur Annisa liputan © 2018 brilio.net

Meski sudah manapaki keberhasilan, namun mahasiswa jurusan Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta mengaku masih terus belajar mengembangkan produknya. Dia juga terus melebarkan usahanya dan membuka toko sendiri.

"Aku di sini masih pengen kain lilit khas dan asal Indonesia ini tetap bisa disandingkan dengan produk fashion lainnya. Yang pasti aku harus punya mesin jahit juga, jadi ya ini pure aku kerjakan semuanya secara pribadi dengan kerabat ku yang lain," tandasnya.