Brilio.net - Dunia buku terus bergeliat. Nama Buldanul Khuri tak bisa dilepaskan dari gerak perbukuan nasional, khususnya Jogja. Dia adalah pendiri Yayasan Bentang Budaya tahun 1992. Lalu masih sempat gabung saat Bentang berubah menjadi Bentang Pustaka di bawaha payung Mizan.

Sentuhan seni pada sampul buku terbitan Bentang membuat sosoknya juga dikenal sebagai desainer sampul buku yang mempunyai ciri khas. Melihat sebuah sampul buku Bentang lawas akan mudah mengenali apakah sampul itu garapan Buldan atau tidak.

Beberapa waktu lalu, brilio.net mewawancarainya di kediamannya di daerah Wedomartani, Sleman, Yogyakarta. Membincang tentang dunia buku, penerbit komersil yang pakai sistem ATM (amati, teliti, modifikasi), juga tentang buku yang baik dan tidak. Berikut wawancara lengkapnya.

 

Buldanul Khuri (kiri) saat di acara Kampung Buku Djogja (KBJ) #2

buldan © 2016 brilio.net

foto: koleksi Pocer

 

Bagaimana anda melihat kondisi dunia perbukuan, khususnya di jogja saat ini?

Melihat dunia perbukuan Indonesia saya lihat dewasa ini agak kurang menggembirakan. Dari penerbit kurang muncul buku-buku ynag saya istilahkan sebagai social change, yang bisa memberikan perubahan sosial. Saya nggak ngerti apakah sekarang ini tidak butuh buku-buku seperti itu.

Kita ingat tahun 80-90 an masih banyak penerbit yang menerbitkan buku bagus yang bisa memberikan social canghe. Itu dibaca mahasiswa yang kemudian punya kesadaran baru. Misalnya dulu LP3ES, Grafiti, yang masih produktif mungkin Obor, Sinar Harapan (yang) sudah mati. Juga ada Pustaka Jaya yang kini mati suri.

Di Jogja, memang banyak penerbit. Tapi yang bisa disebut sebagai penerbit betulan, yang saya katakan tadi sebagai social change, hanya sedikit. Kebanyakan sekarang ini penerbit di Jogja mayoritas yang menguasai pasar adalah penerbit komersial. Kalau sekarang muncul penerbit indie lebih karena miskin. Ciri-ciri penerbit indie itu pasti miskin.

Sekarang bicara penerbit indie dulu. Kenapa disebut indie. Ini kan seolah-olah penerbit indie itu bukunya idealis, tidak tunduk pada pasar. Memang iya seperti itu? Anda tahu, 75% pasar buku itu diisi Gramedia. Dan kalau kita memasukkan buku di Gramedia diseleksi dulu. Itu kan mengikuti pasar. Buku kita diseleksi dulu baru kalau lolos bisa masuk (toko buku) Gramedia. Artinya buku yang tidak disukai oleh toko buku Gramedia tidak bisa masuk. Artinya tidak ada kemerdekaan di sini.

Ciri-ciri penerbit indi itu pasti miskin. Nggak punya duit untuk mencetak buku secara massal: 2.000 atau 3.000 eks. Tapi ini berkah juga. Mereka jadi merdeka untuk bikin buku dengan tema apa saja. Memasarkan bukunya bisa lewat internet. Tidak melewati toko buku Gramedia yang harus melewati seleksi yang ukuran diterima tidaknya sangat "absurd".

Karena isinya kurang berbobot atau bagaimana?

Kalau soal itu bisa panjang. Bisa karena pilihan, kapasitas dan sebagainya. Karena banyak juga orang-orang pintar yang menerbitkan buku ringan. Kemudian mendapatkan hasil dari situ dan nikmat dari situ. Dan lupa dengan apa yang dinamakan social change, fungsi sebuah buku untuk apa. Dapat duit, dibelikan tanah, membangun properti dan lain-lain.

Jadi menurut Anda sebuah buku yang ideal itu yang bagaimana?

Menurut saya, buku itu harus punya dua fungsi. Memperkaya otak kita dan memperkaya jiwa kita. Saya kira buku-buku seni dan sastra itu bagian dari memperkaya jiwa kita. Buku-buku yang non fiksi bisa memperkaya otak kita. Selain ini, itu bukan buku. Itu hanya leaflet atau brosur yang dibending. Banyak buku-buku motivasi yang berkualitas yang harus kita apresiasi. Tapi sebagian besar yang beredar adalah yang dibuat secara ATM. Amati-teliti-modofikasi. Penulisnya tidak jelas siapa. Kok bisa menulis begitu? Ya dia melakukan ATM itu. Cari aja buku yang senada dengan itu, kemudian dia modifikasi, selesai. Nah penerbit kita kebanyakan seperti itu. Dan laku juga.

Maka saya menaruh hormat kepada teman-teman yang bisa membuat yang (ringan) seperti itu tetapi memilih membuat buku-buku yang sesuai dengan hati nuraninya. Berarti orang ini sudah menolak tunduk kepada pasar.
Melihat geliat penerbit Jogja sekarang, apa sudah bisa dikatakan sedang tumbuh subur?

Menurut saya belum. Harus lebih banyak lagi. Ini teman-teman baru belajar bikin buku. Ini mereka baru belajar ke jalan yang benar (tertawa). Tapi kalau disebutkan sebagai sebuah kesuburan, belum. Ini tarafnya baru belajar. Mereka, ya teman-teman indie itu telah menempuh jalan yang benar. Anda tidak akan bisa ngobrol seperti ini dengan penerbit buku komersial. Ciri-ciri dari penerbit komersial, itu mayoritas orangnya tidak suka membaca, tapi lebih suka uang. Kalau ngobrol lebih banyak di kafe. Yang diobrolkan bukan tentang buku tapi tentang cewek, tentang bisnis apa, dan lain sebagainya.

 

Buldan saat di kediamannya

buldan © 2016 brilio.net

foto: Ahada Ramadhana

 

Kembali ke masa lalu sebentar. Bagaimana anda pertama kali mencintai buku?

Wah sudah sejak kecil. Rumah saya dekat Pasar Kotagede waktu itu. Nah setiap pasaran Legi ada jualan majalah, buku lama. Saya pasti merindukan datangnya Legi itu untuk mencari bacaan. Sampai kelas 3 SMP saya sudah membuat buku juga, antologi puisi. Terus ketika masuk ISI (dulu STSRI) saya membayangkan wah kalau saya punya percetakan, saya bisa membuat buku sesuai yang saya ingini. Nah kebetulan di era SMP saya banyak membaca buku yang agak berat. Dan setelah saya bisa bekerja, mencari buku yang dulu pernah saya baca itu sulit. Seandainya saya bisa menerbitkan buku-buku itu lagi. Karena waktu dulu saya baca tidak paham. (Tertawa).

Apa kecintaan buku muncul dari diri anda pribadi?

Lingkungan dan keluarga juga. Biasanya saya tidur di kamar kakak saya, ada buku-buku, ada majalah. Artinya sudah ada tradisi literasi di rumah saya. Di rumah saya sudah ada percetakan sejak SD itu. Terus di Kotagede itu ada penerbitan brosur tiap tahun oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. Isinya tentang ulasan Kotagede aktual. Nah brosur ini oleh anak-anak Kotagede digunakan untuk belajar menulis, belajar grafis. Nah saya termasuk di situ juga. Itu sekitar SMP-SMA. Kemudian waktu saya SMP juga kebetulan saya tumbuh di lingkungan kampung yang menurut saya lumayan bagus. Ada mahasiswa waktu itu Arsitektur UGM. Dia penulis. Setiap hari saya lewat rumahnya kalau habis main-main gitu. Kok setiap kali saya lewat dia mengetik. Saya diajak masuk rumahnya dan ternyata di kamarnya itu banyak buku. Ya kemudian saya baca. Sampai mendirikan perpustakaan anak-anak di rumah dia, kemudian kita diajari menulis.

Sekarang, bagaimana kisah anda bersama Bentang Budaya yang kemudian menjadi Bentang Pustaka?

Haidar Baqir tahu Bentang kalau tidak dikelola dengan baik maka akan bangkrut. Dia ngomong "nanti kalau sudah ngerasa butuh hubungii saya ya". Tahun 2004 saya butuh, saya ngomong beliau. Bentang tidak bisa dibeli, karena tidak bisa diaudit. Saya dan Haidar lalu sepakat membentuk perusahaan baru, namanya Bentang Pustaka. Saya jadi direkturnya tapi tidak berkuasa. Karena ada CEO dari Mizan.

Saya kan terbiasa kerja single fighter ya. Dan terbiasa kerja. Kalau cuma jadi direktur yang tidak fungsional, kerjanya cuma membantu bikin perancangan dan evaluasi. Saya diwajibkan cuma datang Senin dan Jumat. Senin perancangan Jumat evaluasai. Parahnya lagi kalau sudah di Bentang Pustaka saya tidak bisa membuat penerbitan lain. Pada titik ini saya sulit. Akhirnya tahun 2007 saya keluar dan bikin apa yang saya suka sekarang. Maksudnya saya yang nggak tahan sama sistemnya. Jadi bukan Bentang dibeli oleh Mizan. Seandainya saya bertahan kan berarti nggak dibeli.

Ini soal desain sampul? Apa rahasianya?

Nggak ada rahasianya ya. Jadi saya hanya menjalankan apa yang saya bisa. Kalau kemudian saya banyak menggunakan karya seni rupa, itu karena kebetulan saya dekat dengan para perupa. Dipengarhui oleh situasi dan teman pergaulan. Seakarang ini banyak sampul buku bagus. Tapi bedanya, kalau dulu itu bisa diidentifikasi, pasti yang membuat Buldan, atau yang membuat Ong (Ong Hary Wahyu). Tapi kalau sekarang nggak jelas yang membuat siapa. Karena antara satu dengan yang lain mirip. Belum punya ciri khas. Nafasnya sama. Kalau saya sama Ong mungkin lebih personal sehingga lebih mudah ditebak.

Menurut Anda apa yang membuat suatu kover tampak menarik?

Kalau saya sejak dulu mengatakan buku adalah karya seni rupa dan karya intelektual. Jadi isinya harus bagus, kavernya harus bagus. Kenapa begitu? Mungkin karena saya menyukai sesuatu yang bagus ya. Buku kok jelek, waduh. Jadi sebagai karya seni rupa ya harus tampil mearik. Menghargai pembaca, yang membeli buku. Kita sajikan menu yang rasanya enak, kira-kira begitu. Sekarang ini hampir sulit kita nyari sebuah penerbit yang punya karakater kover khas. Kita mengira apa ternyata bukan. Identitas visualnya yang kurang menurut saya. Dan mungkin tidak berniat membentuk identitas visualnya. Yang penting bagus.

Lantas, seberapa pentingkah sebuah identitas visual di buku?

Saya nggak mengerti ya. Kalau kita melihat Penguin dari jauh saja sudah ketahuan. Mungkin saja juga nggak penting ya karakter seperti itu. Apakah ada pengaruhnya terhadap pasar ya nggak juga. Itu soal pribadi saja. Kesenangan saja. Dan saya tidak berniat membentuk karakter visual untuk penerbitan saya. Ini mengalir saja. Karena yang bikin kover saya terus akhirnya terbentuklah. Kalau buku-buku Bentang saya percayakan cuma sama Ong. Dia kan bisa bikin kover buku apa saja. Profesinya memang perancang grafis.

Sekarang, apa target anda di perbukuan?

Kalau hari-hari biasa saya menerbitkan buku seperti biasa. Tapi saya obsesif sekali membuat buku ensiklopedia daerah, karena ensiklopedi itu kan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Untuk apa? Supaya kita tidak jadi bangsa budak. Supaya masyarakat kita tahu identitasnya sendiri: Budaya kita seperti apa, flora dan fauna di lingkungan kita, filsafat hidup atau lokal knowledge masyarakat kita, artefak-artefak atau situs-situs di sekitar kita, dll. Kalau jadi bangsa budak kan jadi bangsa penghancur diri sendiri. Bangunan-bangunan bernilai sejarah enak saja dihancurkan untuk dibangun mall; hutan ditebang, dibakar, dan ditanami pohon sawit; satwa-satwa langka diburu dan dibunuh... Ya, karena kita nggak mengenal diri sendiri, kita tidak pernah merawat hal-hal yang berharga dari diri kita. Kita menjadi bangsa "kosong". Nah, kalau sudah begini, bersiaplah untuk menjadi bangsa budak, dari apa dan dari siapapun.

Tentang buku-buku yang dinilai membahayakan ideologi Pancasila belakangan ini, apa tanggapan Anda?

Itu menandakan kita tidqk siap menjadi bangsa besar, bangsa yang bisa bertarung dengan ideologi manapun. Waktu saya masih muda, ketika revolusi Iran baru muncul, yang namanya Murtadha Muthahari itu mengundang intelektual marxis untuk berdebat.

Ideologi kami adalah Islam. Kami tidak takut dengan ideologi apapun karena kami yakin inilah yang paling benar. Berani nggak kita begitu. Ideologi kami adalah Pancasila. Pancasila adalah ideologi yang besar. Kami tidak takut berdebat dengan marxisme, kapitalisme. Kita ini gaya saja (menyatakan) "Pancasila adalah ideologi kami". Tapi sebenarnya kita sudah digerus oleh kapitalisme yang sangat akut.

Tentang buku sebagai produk industri, apa pendapat Anda?

Saya dari dulu tidak pernah menyebut buku sebagai produk industri. Karena produk industri itu hitung-hitungannya adalah untung dan rugi. Kalau rugi harus dimatikan. Buku itu tidak boleh mati. Buku tetap harus diterbitkan, dengan jalan apapun. Buku-buku idealis yang secara pasar mungkin tidak menarik itu, harus ada yang mendanai.

Katakanlah begini, Badan Ekonomi Kreatif dananya berapa? Mungkin 1 triliun. Misal 25 miliar saja dihibahkan kepada naskah yang bagus. Bukan kepada penerbitanya, kemudian diterbitkan oleh penerbit. Ford Fondation kan dulu begitu. Silakan semua penerbit mengajukan naskah nanti akan ada tim penilai. Sekarang sudah saatnya dibutuhkan. Saya membayangkan dari 25 miliar itu akan muncul seribu buku berkualitas dalam setahun wah itu oke banget.