Brilio.net - Terungkapnya kasus bisnis pesan hoax yang dilakukan oleh tim Saracen oleh Polri membuka mata banyak orang tentang fakta yang tak banyak diduga. Kasus ini seperti gunung es yang akan membuka kasus-kasus lainnya.

Di Amerika, ada sebuah fenomena menarik terkait bisnis hoax. Karena ada sebuah kota yang dikenal sebagai kota produksi hoax. Bagaimana bisa terjadi?

Saat Pemilihan Presiden tahun lalu dihiasi oleh pro-kontra para pendukungnya. Dua kandidat yang bersaing yakni Donald Trump dan Hillary Clinton saling serang di media sosial.

Panasnya suasana menuju pemilihan presiden Amerika tersebut didukung oleh beredarnya berita simpang siur di kalangan netizen. Pernah beredar berita di laman Facebook, bahwa Trump telah merilis dokumen rahasia yang akan menghancurkan Obama pada November tahun lalu. Lalu disusul berita bahwa Paus Fransiskus mendukung Trump. Parahnya lagi bahkan ada berita bahwa Bill Clinton dan Megan Kelly telah berhubungan seksual. Berita ini tentu menjadi topik perbincangan dan mempengaruhi proses pemilihan presiden.

 

kota hoax © 2017 brilio.net berbagai sumber
foto:huffingtonpost

 

Yang menjadi pertanyaan, dari mana asal berita hoax yang meresahkan warga Amerika tersebut? Bbc.com menulis sebuah laporan bahwa berita-berita hoax selama pemilihan Presiden Amerika berasal dari sebuah kota kecil di Macedonia yakni Veles. Dan yang mengejutkan lagi, berita-berita tersebut ditulis oleh anak-anak remaja.

Di kota ini, ratusan remaja menjadi kontributor berita hoax. Tujuannya ialah untuk mendapatkan pendapatan iklan dari artikel yang ia sebar di sosial media.

Lalu bagaimana cara para remaja tersebut menyebarkan berita hoax?

Awalnya mereka akan melihat situs berita Amerika, sebagai bahan tulisan sensasional yang dilempar di media sosial. Beberapa isu tersebut didapatkan melalui kegiatan menyalin dan menempel dari situs-situs tertentu, lalu dilakukanlah modifikasi pada berita. Berita hoax yang telah ditulis selanjutnya dibagikan melalui laman Facebook.

Taktik mereka cukup cerdas. Remaja tersebut juga memberi keterangan bahwa ia membayar Facebook untuk membagikan artikelanya dengan target audiens masyarakat Amerika. Kelompok masyarakat yang tengah menghadapi situasi panas akan menyukai berita tersebut dan melakukan aktivitas like dan share.

Para remaja ini tak begitu mempedulikan dampak dari perbuatan mereka. "Orang Amerika suka cerita kami dan kami mendapatkan uang darinya. Siapa peduli bahwa itu (berita) benar atau salah?" jelasnya pada bbc.com sebagaimana dikutip brilio.net.

Besaran uang yang didapatkan dari kegiatan membuat berita hoax tidaklah main-main. Nilainya mencapai kurang lebih ribuan euro atau sekitar Rp 25 juta per hari. "Remaja di kota kami tidak peduli bagaimana pilihan orang Amerika, mereka haya puas dengan uang yang diperoleh (dari berita hoax) dan bisa membeli baju mahal dan minuman" jelas remaja lainnya.

Melihat kotanya mendapatkan uang melimpah dari hasil berita hoax, Walikota Velves, Slavco Chediv, memberikan klarifikasi. "Tidak ada uang kotor di Velves," jelasnya.

Ia justru bangga bahwa pengusaha dari kota kecilnya yang jauh dari US, dapat memberikan pengaruh pada warga Amerika.

Fenomena ini tentu terlihat janggal. Jurnalis senior, Ubavka Janevska memberikan tanggapan akan hal ini. "Saya khawatir megenai moralitas remaja di kota Velves," jelasnya. Menurutnya, terdapat tujuh tim remaja yang membuat berita palsu. Namun ada juga yang mengerjakannya sendiri.

Lalu bagaimana tanggapan orang tua dari para remaja tersebut?

Orang tua justru tidak mempermasalahkan hal ini. Ketika ditanyai mengenai aktivitas penulisan berita hoax yang dilakukan anak-anak mereka, para orangtua berkomentar "Kamu pikir jika anakmu mendapat uang 472 juta per bulan merupakan sebuah masalah? Ayolah, kau harusnya senang, harusnya.." tuturnya.

Fenomena ini sungguh sulit dimengerti karena melibatkan suatu hubungan kompleks baik dari birokrat, pelaku, atau para orang tua. Dan di Indonesia saat ini, bisnis berita hoax juga sedang terjadi.